f
Kekerasan Atas Nama Kehormatan

(Kompas, 30 Juli 2006)

Judul: Burned Alive (edisi terjemahan)
Penulis: Souad
Penerjemah: Khairil Azhar
Penerbit: Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan: Pertama, April 2006Tebal: 290 halaman

Oleh : Damhuri Muhammad

Perempuan hamil tua itu duduk dalam posisi membungkuk sambil membilas tumpukan cucian. Sayup-sayup terdengar pintu berderit. Saat menoleh ke belakang, lelaki bertubuh besar sudah berdiri di hadapannya. Orang itu, Hussein, suami kakak perempuannya, Noura. "Jadi, perutmu sudah besar, ya?" tanya Hussein, beringas.

Pucat pasi rona mukanya, ngeri membayangkan apa yang bakal diperbuat lelaki itu. "Aku akan mengurusmu!" ulang Hussein. Perempuan itu kembali menunduk, membilas tumpukan pakaian kotor. Sejurus kemudian, ia merasakan cairan dingin mengalir di kepalanya, menetes ke pipi, leher, kuduk, bahu hingga pergelangan tangan. Secepat kilat Hussein melemparkan korek api ke tubuh perempuan yang baru saja tersiram bensin itu. Api menyala, melalap tubuh itu. Terbirit-birit ia lari dalam keadaan terpanggang, mengerang kesakitan, berteriak minta tolong.
Selesai sudah tugas Hussein "mengurus" Souad, adik iparnya itu. Souad sedang sekarat, sebentar lagi bakal mati. Souad harus dilenyapkan. Ia aib yang telah merusak kehormatan keluarga. Hamil sebelum menikah. Maka, ia harus dirajam. Bukan dengan cara diarak keliling kampung lalu dilempari batu sampai mati. Itu sama saja dengan mempertontonkan aib di hadapan orang banyak. Hukuman bagi perempuan itu adalah rajam terselubung. Direncanakan ayah, ibu, saudara laki-laki dan ipar-iparnya. Pembunuhan yang rapi, cepat, dan tak berbekas. Tubuhnya disiram bensin, lalu disulut korek api. Hussein terpilih sebagai eksekutornya.

Inilah kesaksian tentang perempuan malang yang tinggal di sebuah desa kecil kawasan Tepi Barat, Palestina. Kisah nyata perihal kejahatan atas nama kehormatan. Dituturkan dengan cara amat rapi dan tertata oleh seorang korban yang selamat, Souad, lewat novelnya Burned Alive. Nestapa Firdausi sejak bersitumbuh jadi gadis remaja hingga dijebloskan ke penjara perempuan (Mesir) seperti dikisahkan Nawwal El-Saadawi (Perempuan di Bawah Titik Nol) atau duka lara Mirfat akibat tangan besi laki-laki seperti dituturkan Ihsan Abdel Quddous (An Evening in Cairo) memang pedih, tetapi petaka yang menimpa Souad jauh lebih pedih. Nasib dan peruntungannya nyaris sama dengan perempuan muda asal Jawa Timur, pasien bedah plastik setelah kulit mukanya meleleh dan hancur tak berbentuk akibat siraman air keras. Souad memang selamat, tetapi 24 kali operasi kulit yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Swiss tak mampu mengembalikan tubuhnya utuh seperti semula. Kulit wajahnya penuh luka bakar, kuping sebelah kirinya tinggal separuh. Leher, kuduk, punggung, dan kedua pergelangan tangannya membekaskan sisa kejahatan yang sukar terlupakan. Setiap hari, Souad harus mengenakan baju leher panjang, menutupi bekas-bekas luka panggang itu.

Terlahir sebagai perempuan adalah kutukan. Begitu keyakinan yang kokoh dipegang gadis-gadis belia di tanah kelahiran Souad. Seorang gadis mesti berjalan cepat, kepala menunduk seperti menghitung jumlah langkah yang diayunkan. Tak boleh tengadah, dilarang menoleh ke kiri, ke kanan. Jangan coba-coba menantang sorot mata laki-laki karena akan dituduh charmuta (perempuan jalang). Bila keluar rumah, dilarang jalan sendiri, mesti ditemani ibu atau saudara perempuan. Bila tak ada mereka, keluarlah dengan sekawanan domba peliharaan sambil memikul seikat rumput atau sekeranjang buah ara. Itu lebih aman sebab semua perempuan harus bekerja, bahkan hanya perempuanlah yang bekerja. Mencukur bulu domba, memerah susu kambing, membuat keju, memetik buah tomat, dan panen gandum. Anak laki-laki adalah raja. Saudara-saudara perempuan harus melayani semua kebutuhannya. Mencuci pakaian, menyediakan air panas sebelum mandi, menyuguhkan teh, dan menyiapkan kuda sebelum ditunggangi. Assad, satu-satunya saudara laki-laki Souad, bebas keluar rumah. Bersekolah di kota.

Perempuan dilarang bersekolah. Mereka hanya menggembala domba, sesekali harus tidur di kandang bila ada kambing melahirkan. Mesti ditunggu, sambil tidur di tumpukan jerami. Tidur di kandang kambing, tetapi tak lebih berharga dari kambing-kambing itu. Binatang hasilkan susu, sementara anak-anak perempuan hanya beban, aib keluarga yang harus segera disingkirkan. Pernah Souad tak sengaja memetik tomat mengkal, semestinya ia hanya memetik tomat-tomat matang saja. Berkali-kali ikat pinggang ayah mendarat di punggungnya. Souad merintih kesakitan, tetapi lelaki itu makin kencang mencambuki tubuh gadis kecil itu hingga punggungnya penuh luka memar, sukar ia tidur telentang.

Satu-satunya kebebasan yang dapat diimpikan Souad adalah perkawinan. Pergi dari rumah, tinggal di rumah suami dan tak pernah kembali. Meski di rumah baru itu tiada jaminan tak akan ditampar dan dihajar suami. Terbebas dari mulut harimau, masuk ke mulut singa.
Jika seorang perempuan pulang ke rumah orangtua (mengadu karena sering dipukuli suami), itu aib! Maka, keluarga akan mengembalikannya ke rumah suami. Tak apa-apa dihajar lagi, asal jangan pulang membawa aib. Meski begitu, Souad tetap ingin menikah. Celakanya, saat laki-laki datang melamar, ia terhalang sebab, Kainat, saudara perempuan yang lebih tua, belum bersuami. Melangkahinya juga aib. Itu sebabnya Souad nekat menjalin hubungan dengan Faiez, lelaki idamannya. Sembunyi-sembunyi mereka bertemu di balik rimbun ilalang saat Souad menggembala domba. Bercumbu, bermesraan hingga datanglah petaka itu: Souad hamil. Kesalahannya tak terampuni. Ayah, ibu, Assad, dan Hussein menyusun siasat untuk segera melenyapkan Souad.

Berkat Jaqueline, Souad yang sekarat di sebuah rumah sakit (Jerussalem) berhasil diselamatkan. Ia dan Marwan (bayi yang lahir prematur) diboyong ke Swiss, menjalani 24 kali operasi hingga dapat bertahan hidup. Semula, kesaksian ini hanyalah cara Souad menjelaskan status Marwan kepada Laetitia dan Nadia, dua putri dari perkawinannya dengan Antonio. Hasilnya tak sesederhana yang dibayangkan Souad. Burned Alive telah diterjemahkan ke dalam 28 bahasa di 29 negara. Diam-diam Souad berharap buku ini tersebar sampai ke desa kecil di Tepi Barat, Palestina. Ia ingin dunia tahu, pembunuhan-pembunuhan atas nama kehormatan itu masih terus berlangsung hingga kini.

Comments

Admin Blog said…
Mampir aja bos. Siapa tahu dapat inspirasi. Salam kreatif.
Anonymous said…
dah telat buat komen yach...tapi lebih baik telat daripada tidak samasekali bukan?

mengenai buku "Burned Alive", terlepas apakah kisahnya mengharu-biru dan prosanya menggelora, saya kira sebelum kita terhanyut dalam arus cerita pengarang, ada baiknya menyimak artikel berikut ini:

http://www.antiwar.com/orig/ttaylor.php?articleid=5801#
http://www.smh.com.au/news/Books/Historian-challenges-Palestinian-bestseller/2005/04/12/1113251628102.html

Popular Posts