Menantu Baru

Cerpen: Damhuri Muhammad

(Kompas, 09 Juli 2006)

Sudah lama Irham tak menerima kiriman oleh-oleh. Rendang Ikan Pawas Bertelur. Gurih dan sedapnya seolah sudah terasa di ujung lidah. Apa Mak sedang susah? Hingga tak mampu lagi beli Ikan Pawas Bertelur dan bumbu-bumbu masaknya? Tak mungkin! Kiriman wesel dari anak-anak Mak, rasanya tak kurang-kurang. Lebih dari cukup. Jangankan Rendang Ikan Pawas Bertelur, bikin Rendang Hati Sapi pun Mak tentu mampu. Tapi, kenapa Mak tak berkirim oleh-oleh lagi? Mak sedang sakit? Kenapa pula tak ada yang berkabar? "Bukan kau saja, saya juga sudah lama tak dikirimi Krupuk Cincang," keluh Ijal, kakak sulung Irham yang tinggal di Cibinong.

Sejak kecil, mereka memang punya selera berbeda-beda. Kepala boleh sama-sama hitam, tapi tabi’at lidah tak serupa. Mak hafal makanan kesukaan masing-masing mereka, anak-anak kesayangannya. Ijal suka Krupuk Cincang. Dulu, hampir tiap pekan ia minta dibuatkan makanan itu. Pernah Ijal mengancam tidak mau ke surau bila Mak belum penuhi permintaannya. Jangan dibayangkan cemilan kampung itu dapat diperoleh di Jakarta. Meski ada satu dua toko yang menjual, tapi tak serenyah bikinan Mak. Entah bumbu apa yang dipakai Mak, hingga bunyi Krupuk Cincang itu berderuk-deruk dalam mulut Ijal. Tapi kini, Mak tak berkirim oleh-oleh lagi. Ketek, kakak laki-laki Irham yang satu lagi (tinggalnya di Ciputat) juga mengeluh. Katanya sudah kepingin sekali makan Lemang Tapai. Memang mudah dicari di Jakarta. Tapi baginya, tak ada Lemang Tapai yang mampu tandingi buatan Mak.

"Payah! Ndak ada kiriman Lemang Tapai lagi," ketusnya suatu kali, saat bertamu ke rumah Irham.

"Bukan uwan saja, semua sudah tak dapat," balas Irham.

"Basa bagaimana? Masih sering dikirimi Goreng Belut?"

"Ndak ada. Ndak ada lagi oleh-oleh!"

"Apa kalian ndak kirim uang lagi buat Mak? Mak sedang susah barangkali?"

Tanya-tanya nyinyir mereka terjawab setelah mendengar pengakuan si bungsu, Alida. Adik perempuan mereka satu-satunya. Ternyata, ia masih sering dapat oleh-oleh. Bahkan lebih sering dari biasanya. Berarti Mak masih rajin mengirim oleh-oleh. Cuma saja, datangnya bukan lagi ke rumah keluarga mereka; Ijal, Ketek, Basa dan Irham. Oleh-oleh hanya dikirim Mak ke alamat rumah kontrakan Alida, di daerah Pasar Minggu. Anehnya, kiriman Mak bukan Sambalado Tanak kesukaan Alida, tapi Dendeng Lambok, khusus buat menantu Mak. Suami Alida.

"Kenapa kau saja yang dapat oleh-oleh, Alida?"

"Bukan saya wan!"

"Iya, suamimu itu. Mestinya kami juga dikirimi bukan?"

Irham coba menghitung-hitung berapa lama Mak tak mengirim oleh-oleh. Ternyata, persis sejak Alida menikah. Sejak Mak punya menantu baru; Yung. Suami Alida. Ya, sejak itu Mak tak pernah lagi bikin Rendang Ikan Pawas Bertelur, Krupuk Cincang, Lemang Tapai dan Goreng Belut. Mak hanya kirim Dendeng Lambok buat Yung. Menantu kesayangannya.
Setahu Irham, sejak menikah dengan Alida, belum sepeser pun Yung kirim uang buat Mak. Lagi pula, apa yang bisa diharapkan dari lelaki yang tak jelas pekerjaannya itu? Sejak awal, Irham tidak setuju Alida menikah dengan Yung. Ia sudah carikan jodoh buat Alida. Firman, namanya. Sarjana teknik. Kini, bekerja di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Bakal senang hidup Alida bila menikah dengan laki-laki pilihan Irham itu. Ijal juga sudah pilihkan Andra, putera tunggal pemilik perusahaan garmen di Jakarta. Ketek dan Basa memang tak pilihkan siapa-siapa. Alida boleh saja menikah dengan lelaki idamannya. Tapi dengan catatan; tidak dengan Yung.

Mereka tak mungkin merelakan Alida dipersunting Yung. Lelaki yang sudah pernah beristri. Sementara Alida masih gadis. Lagi pula, (kabarnya) perkawinan Yung yang pertama bubar karena ulah menggelapkan dana investasi di perusahaan yang dikelolanya. Yung sedang terlibat masalah besar. Perusahaannya bangkrut. Semua asetnya disita. Ia lari dari masalah. Mereka curiga, jangan-jangan Yung sedang dikejar-kejar banyak orang. Setidaknya, dikejar para penagih utang. Ah, jangan-jangan Yung berniat nikahi Alida hanya untuk berlindung, selamatkan diri. Ia terlilit utang. Bukan tak mungkin, kelak mereka juga yang turun tangan selesaikan masalah Yung. Tapi, entah ilmu apa yang dipakai Yung. Mak langsung saja menerima lamarannya. Tanpa pertimbangkan baik buruknya lebih dulu. Mak tak peduli pada keberatan kakak-kakak Alida.

"Ndak apa-apa, kalau kalian tak setuju. Mak tetap akan nikahkan Alida dengan Yung," begitu tekad Mak waktu itu.

"Pikir dulu masak-masak, baru ambil keputusan! Mak belum kenal siapa Yung itu."

"Sejak dari nenek moyangnya Mak tahu silsilah dia. Dia dari keluarga baik-baik. Kalian yang belum kenal Yung."

"Sudahlah! Tanpa kalian, pernikahan Alida tetap akan berlangsung. Mereka berjodoh, jangan kalian halangi!"

Bila sudah begitu, mereka tak bisa membantah. Suka tak suka, mesti hormati keputusan Mak. Meski berat hati, Ijal, Ketek, Basa dan Irham tetap harus pulang dan bantu penyelenggaraan pesta perkawinan Alida dan Yung. Mereka pun menyumbang sesuai kemampuan masing-masing.

Sudahlah! Tak usah kita menganggap Mak pilih kasih! Mak memang sering berkirim oleh-oleh buat Yung. Dendeng Lambok, masakan kesukaan menantunya itu. Barangkali, bukan karena Mak tak ingat lagi makanan kesukaan kita. Adik ipar kita itu baru saja memulai hidup di Jakarta. Pekerjaannya masih serabutan. Luntang-lantung. Belum ada penghasilan tetap. Masih susah. Mungkin jarang ia makan enak-enak seperti kita. Jadi, tak usahlah kita dengki!

"Ah, Mak terlalu memanjakan menantu."

"Uang Mak bisa habis karena selalu kirim oleh-oleh buat Yung."

"Makin dimanja, makin malas dia!"

Dulu, Yung memang anak baik-baik. Sekolahnya di pesantren. Sering ia memberi pengajian di mesjid kampung. Mak, salah satu jamaah yang suka dengan gayanya berceramah. Menyentuh sekali kata-katanya, begitu puji Mak. Tak jarang, jamaah ibu-ibu yang mendengar wiridannya menangis sesenggukan. Yung amat lihai bersilat lidah. Merangkai kalimat-kalimat jitu menggugah perasaan jamaah. Sejak itu, Mak ingin mengambil Yung jadi menantu. Kelak, setelah sekolahnya tamat. Tapi, harapan Mak tak kesampaian. Sebab, Yung merantau ke Jawa. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Inilah yang Mak belum tahu. Selama di Jawa, Yung bukan lagi mubaligh hebat seperti di kampung dulu. Ia sudah tanggalkan jubah ustadznya. Mungkin, Yung sudah lupa cara menyentuh perasaan jamaah, hingga menangis terisak-isak seperti Mak. Konon, Mak pernah datang ke rumah orang tua Yung. Melamar lelaki itu untuk Alida. Tentunya nanti setelah kuliahnya rampung. Tapi, setelah saatnya tiba, Yung tak pulang. Kabarnya, Yung menikah dengan gadis lain di Jawa. Mak juga dengar kabar buruk itu. Tapi, Mak tak kecewa.

Berselang beberapa tahun, Yung pulang. Sudah duda. Meski belum punya anak. Orangtuanya datang menemui Mak, hendak menyambung cerita lama. Melamar Alida. Bila telapak tangan kurang lebar, dengan niru saya tampung niat baik itu, jawab Mak. Gayung bersambut, hingga akhirnya Yung menjadi menantu kesayangan Mak. Dan, selalu saja dikirimi oleh-oleh.

"Gara-gara menantu Mak itu, kita tak pernah dapat oleh-oleh lagi."

"Mak lebih sayang pada menantu daripada anak-anaknya sendiri."

"Apa yang sudah diberikan Yung pada Mak? Sementara kita tiap bulan kasih jatah buat Mak."

****
Percuma saja Suarni dan Said menyekolahkan mereka tinggi-tinggi. Setelah semuanya jadi orang, bukan makin dekat, malah makin jauh dari kampung. Jauh dari orangtua. Itulah susahnya punya anak laki-laki. Bila sudah besar, mereka akan tinggal di rumah orang. Di rumah anak-bini. Sibuk mengurus keluarga sendiri-sendiri. Wesel kiriman Ijal, Ketek, Basa dan Irham (yang sudah terbang-hambur dari kampung) memang selalu datang tiap bulan. Tapi sebenarnya, Suarni dan Said tak butuh uang. Untuk apa? Tanpa kiriman wesel pun, mereka tidak akan kekurangan. Hasil sawah dan ladang sudah cukup menghidupi mereka berdua.
Di usia yang tersisa, Suarni dan Said ingin berkumpul kembali dengan anak-anak. Merasakan kehangatan di tengah-tengah mereka. Seperti dulu, saat mereka masih di kampung. Keduanya tak henti-henti berharap. Mudah-mudahan, ada di antara anak-anak yang mengajak tinggal di Jakarta, menghabiskan hari tua di sana. Aih, betapa menyenangkan bila Suarni masih dapat membuatkan makanan kesukaan Ijal, Ketek, Basa atau Irham. Tapi, setelah sekian lama menunggu dan berharap, ajakan itu tak kunjung tiba. Kalaupun sekali waktu Suarni dan Said datang berkunjung, itu hanya sekedar menjenguk cucu-cucu, sepekan dua pekan. Setelah itu, kembali pulang ke kampung. Tidak untuk tinggal berlama-lama, sebagaimana keinginan mereka.

Harapan Suarni dan Said kini beralih pada Alida. Anak perempuan semata wayang, yang juga memilih hidup di Jakarta sejak menikah dengan Yung.

"Pandai-pandailah mengambil hati menantu! Sering-seringlah berkirim oleh-oleh!" saran Said pada Suarni.

"Oleh-oleh?"

"Ya, agar lidah menantu baru kita terbiasa dengan masakanmu!"

Mungkin, itu sebabnya Suarni selalu memasak Dendeng Lambok, lalu dikirimkannya buat Yung. Berkali-kali Suarni dilarang anak-anaknya; Ijal, Ketek, Basa, Irham. Jangan terlalu memanjakan menantu! Jangan pilih kasih! Suarni tak peduli. Makin dilarang, makin gencar saja ia berkirim oleh-oleh. Tak bakal berhenti Suarni berkirim Dendeng Lambok buat Yung. Agar lidah menantunya itu terbiasa dengan masakannya. Hingga, suatu waktu (entah kapan) Yung berkenan mengajaknya tinggal, berkumpul-bersama di Jakarta. Di sanalah, Suarni dan Said bakal habiskan umur yang tersisa. Semoga!

Kelapa Dua, 2006
Untuk Mak Was…

Comments

Popular Posts