Rabu, 10 Agustus 2005
RESENSI BUKU : LARAS, Tubuhku Bukan Milikku

Ia Jadi 'Korban' Ayah dan Lelaki Binal

Oleh: Nerma Ginting

MEDIA INDONESIA, 10 Agustus 2005

Buku berjudul Laras, Tubuhku bukan Milikku berisi kumpulan cerpen karya Damhuri Muhammad. Lewat kata-katanya yang halus dan sederhana, karya itu terasa 'menggugat'.
Dengan tebal 226 halaman, novel yang dibalut sampul hitam dan biru tersebut menyajikan kisah gadis Laras. Ia terjerumus ke lembah nista akibat 'kasih sayang' ayahnya.
Seringkas waktu, ia berkemas membuntal pakaian, lalu bergegas meninggalkan kamar mungil, tempat kegadisannya tertebas. Ditinggalkannya kenangan tentang Yu Galih yang gampang marah, namun diam-diam amat penyayang. Juga soal Yu Ratmi, yang dengan berat hati menjual jam tangan hadiah ulang tahun dari Pakde Tejo untuk membayar SPP-nya yang tertunggak dua bulan.

''Sebelum perutmu bunting, cepat pergi dari rumah ini, anak setan!'' usir Emak dengan sorot mata garang. ''Kau bukan anakku lagi! Jangan pernah berpikir untuk pulang! Ingat itu!'' ulang Emak lagi.

Waktu berlalu dan beban di perutnya semakin berat. Maka, harus dikeluarkan agar tubuhnya ringan dan leluasa melangkah melanjutkan tualang tak berujung. Nun ke negeri entah. Ia merintih kesakitan saat tangan kasar dukun beranak memelintir perutnya. Laras tidak takut kehilangan bayi tersebut. Bukankah ia tak merasa memilikinya? Jadi, biarkan saja benih sang ayah ini mati terbunuh, dicekik dukun beranak.

Di Kota Batam, Laras disanjung dan dipuja. Kedatangannya disambut senyum binal para lelaki yang berhasrat memilikinya. Untuk memiliki tubuh langsingnya. Meskipun bukan 'gadis' lagi, Laras tetap tercatat sebagai 'barang' baru. Setidaknya, baru datang dari Jawa.
Selang beberapa minggu sejak kedatangannya, nama Laras sudah tidak asing lagi di kalangan bermata sipit, teman-teman dekat Mami. Mereka harus berkenan antre menunggu giliran 'memiliki' Laras (kendati hanya kepemilikan dalam hitungan jam). Antrean paling depan, tentu petugas pulau ini: Lelaki berambut cepak, bertubuh kekar maupun berisi, serta tak berseragam dinas.

Kian lama, semakin panjang daftar lelaki yang telah 'memiliki' Laras. Berpindah dari satu hotel ke hotel lain. Mami bertambah sayang, makin memanjakannya. Lebih dari sekadar memanjakan anak kandung sendiri.

Di kalangan pecandu kota itu, tersebutlah Laras sebagai sundal paling top dan laku, 'laris manis tanjung kimpul'. Meniduri Laras tak sekadar 'selingan', tapi sudah 'kebutuhan'. Seperti, kebutuhan makan. Jika tidak terpenuhi, berarti mati. Maka, bilamana tidak menetek pada puting Laras, sama juga dengan bunuh diri.

Tak ada angin dan hujan. Laras mengaku ingin 'istirahat'. Ditolaknya ajakan para lelaki bermata sipit yang kian tidak sabar. Namun, Laras menolak. Sejatinya, Laras sudah ingin pulang. Berpulang ke pelabuhan akhir kelana sunyinya, ranah kematian, ranah pemakaman.
''Bila Tuhan memiliki diriku, mengapa Dia membiarkan Ayah menyanggamaiku? Membiarkan Ibu mengusirku? Membiarkan Mami 'menjualku'-ku?'' tanya Laras. Sampai Laras sekarat, tanya-tanya ini tak terjawab. Akhirnya, perempuan belia bermata cokelat itu 'pulang' dengan cara amat mengerikan. Mulutnya berbusa, matanya terbelalak, lidahnya terjulur sampai dagu. Menakutkan!

Sesaat sebelum Laras hendak menyudahi hidupnya. Ia tetap tidak merasa akan kehilangan hidupnya. Dipercayainya saja bahwa hidupnya tersebut bukan miliknya. Andai saja Laras merasa memiliki kehidupannya, tentu saat itu ia akan menangis, meratap, melolong sejadinya, sekuatnya. Celakanya, Laras tidak menangis. Mungkin, karena ia tidak merasa kehilangan apa pun. Atau, mungkin pula karena tangis Laras 'jatuh ke dalam', sebuah liang di ulu hatinya, dan menggenang di sana. Tidak seorang pun mampu mengukur, seberapa dalam genangan tangis Laras. Sebab, kini Laras telah terbujur dalam usungan peti mati.

Comments

Popular Posts