Mempertahankan 'Iman' Kepengarangan?

Oleh : DAMHURI MUHAMMAD


(Seputar Indonesia, 19 November 2006)


Kerap muncul dugaan (mungkin lebih tepat ; tuduhan) bahwa belakangan ini ada sejumlah cerpenis muda yang menggebu-gebu memburu publikasi di koran-koran minggu. Jangan heran, di hari yang sama, nama cerpenis tertentu bisa terpajang di tiga media berbeda (tentu dengan judul dan isi berbeda). Tiga cerpennya dimuat di tiga rubrik budaya koran minggu berbeda, pada hari yang sama. Saya agak sungkan menyebut nama, tapi para penyuka cerpen koran tentu sudah tahu siapa pemburu publikasi koran paling ulung sepanjang tahun 2005, misalnya. Saya punya teman seorang cerpenis yang cukup rajin mengirimkan cerpen ke meja redaktur (meski angka publikasi cerpennya tak segemuk yang diceritakan di atas). Ia pernah dijuluki 'raja koran minggu' (barangkali ini berlebihan). "Hoi, jangan terlalu mengejar jumlah publikasi! Itu bunuh diri kepengarangan!" kata teman lain, menasehatinya. Dengan lapang dada ia menerima nasehat itu. Memang, produktifitas kadang-kadang tidak serta merta berarti positif bagi masa depan kepengarangan. Bila tidak hati-hati, kualitas karya bakal sulit dipertahankan, energi kreatif yang diporsir amat beresiko melahirkan karya-karya prematur, sukar dipertanggungjawabkan, baik secara estetik maupun tematik. Gejala ini memang mulai terasa bila kita jeli memerhatikan cerpen-cerpen yang berhamburan setiap minggu.

Teman cerpenis muda pemburu publikasi koran itu seperti orang baru kecanduan merokok. Pinginnya merokok terus, sampai pipinya kempot. Begitulah bunyi ledekan yang pernah didengarnya. Tapi, benarkah ia telah kecanduan publikasi? Saya kira ini juga agak berlebihan. Ia pernah membela diri atas tuduhan tersebut, bahwa ia hanya berusaha pertahankan 'iman' kepengarangan. Sebab, bila tidak dipertahankan, ia gampang dirasuki macam-macam godaan. Misalnya ; "Berhentilah mengarang! Biar hidupmu tidak terus-terusan susah! Carilah pekerjaan yang lebih menjanjikan! Apa kau tak ingin kaya seperti orang-orang itu? Jika mengarang terus, kapan nasibmu berubah? Kau mau melarat terus hah?" Nah, untuk menghadang bisikan-bisikan itu ia tak henti-henti mengarang, tiada hari tanpa mengarang hingga cerpen-cerpennya menumpuk. Sebagai pengarang tentu ia ingin karyanya dibaca orang, dan kalau mau dibaca tentu harus dipublikasikan. Sejauh ini, publikasi cerpen memang koran minggulah tempatnya.

Lalu, apa yang salah? O, iya, mungkin kesalahannya karena sering mencaplok lahan cerpenis lain. Maklumlah, jumlah koran yang menyediakan ruang publikasi cerpen amat terbatas, sementara jumlah penulis cerpen makin membludak. Tapi, bukankah kebijakan redaksional setiap media selalu didasarkan pada mekanisme seleksi? Artinya, hanya cerpen bermutu yang bakal terpilih sebagai pengisi rubrik budaya mereka. Boleh dong teman saya itu ikut berkompetisi? Soal ia terlalu memburu dan sudah mencandu pada publikasi koran, soal produktifitas yang bakal menggiringnya pada 'bunuh diri' kepengarangan, sebaiknya kita serahkan saja pada pembaca untuk menilainya. Tugas para cerpenis hanya menghidangkan bacaan yang renyah, gampang dicerna, enak dibaca, setelah itu terserah pembaca. Bila ada yang mengatakan cerpen tertentu 'kurang maju' maka penulisnya mesti lebih banyak belajar, supaya cerpennya lebih bermutu. Sebaliknya bila ada yang memuji (ini kalau ada), si cerpenis tidak harus membusungkan dada, tak terbuai puja-puji dan decak kagum.

Maka, bahaya 'bunuh diri' kepengarangan dan tuduhan miring terhadap para cerpenis muda pemburu publikasi koran, agaknya tidak perlu terlalu dicemaskan. Sangat mungkin, tingginya angka produktifitas dalam proses kreatif (khususnya cerpen) adalah akibat tak tersengaja dari segenap 'kesabaran' mereka dalam menjaga 'iman' kepengarangan. Selain itu, (tak dapat dipungkiri) laju kekaryaan juga kerap terpicu dan terpacu oleh desakan-desakan kebutuhan hidup sehari-hari. Buktinya, cerpenis muda yang pernah beroleh julukan 'raja koran minggu' itu tidak ragu-ragu lagi mengaku bahwa ia memang menghidupi anak-istrinya dengan honorarium cerpen. Dalam darah anak-anak saya, mengalir 'darah honor', begitu ia bersijujur. Cukup banyak kawan yang meragukan pilihan sulit itu, termasuk saya. Tapi sejauh ini ia masih tetap hidup dan masih bisa mengarang. Pertanyaannya (lagi-lagi), adakah yang salah dengan kepengarangan cerpenis muda itu? Apa ada larangan bagi pengarang untuk hidup dengan karya-karyanya? Setahu saya, itu 'halal' dan sah-sah saja…

Hidup dari honor cerpen memang halal dan sah-sah saja. Tapi, pilihan itu juga bukan tanpa resiko. Cerpenis muda yang saya ceritakan di atas pernah dihadang pertanyaan yang sukar sekali dijawab. "Wah, kalau begitu kau tidak sedang mempertahankan 'iman' kepengarangan, tapi mempertahankan hidup!". Jadi, 'iman' kepengarangan yang sering disebut-sebut hanyalah siasat untuk menyembunyikan masalah yang sebenarnya. Bagaimana mungkin kualitas karya dapat dipertanggungjawabkan bila kerja kepengarangan hanya bertumpu pada uang? Cerpenis muda itu mulai gelagapan dan salah tingkah. Betapa tidak? Ia seperti menepuk air di dulang. Kian ditepuk kian basah muka sendiri. Nyaris ia tak bisa mengelak bahwa produktifitas kekaryaan yang telah dicapainya tetap saja berarti 'bunuh diri' kepengarangan. Lagi pula, belakangan ini cerpen-cerpennya yang bergentayangan setiap minggu itu mulai hambar, tidak berasa, serupa sayur kurang garam. Saya mulai kuatir, alih-alih pertahankan 'iman' kepengarangan, justru ia tergelincir pada 'kekafiran' kreatif. Ah, semoga belum…

Comments

Anonymous said…
Wah, tulisan yang bagus :)
Salam kenal pak Damhuri. Senang membaca tulisan Anda. Semoga saya juga bisa ikut belajar..

Popular Posts