Ular Bunga Emas dari Kyoto


Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

(Kompas, 07 Jan 2007)



Sejauh ini, beberapa novelis perempuan masih gandrung mengusung imaji ketubuhan sebagai sandaran estetik karya-karya mereka. Lebih sinis lagi, ada anggapan yang meniscayakan bahwa mereka hanya bisa menulis tentang seks. Meski tuduhan itu agak sentimentil, saya tetap dirasuki sinisme yang sama ketika berhadapan dengan Perempuan Kembang Jepun, karya Lan Fang. Tapi, kecurigaan itu harus segera saya gugurkan. Sebab, tabi’at literernya berbeda dengan novel-novel berlumur lendir yang berhamburan akhir-akhir ini. Beberapa bagian, memang masing memuat adegan-adegan ’panas’. Tapi, ibarat menu masakan, imaji seksual itu hanya bumbu penyedap rasa. Agar masakan lebih sedap, gurih, mengenyangkan.


Riwayat cinta memang tak pernah lekang dikunyah gerigi waktu. Terus bersitumbuh menjadi semangat zaman di setiap kurun. Cinta tak ada matinya. Itu sebabnya para novelis masih tekun menggaulinya. Perempuan Kembang Jepun menyuguhkan sajian ‘cinta tak biasa’. Bersemi di keremangan kelap-kelap malam, kawasan Kembang Jepun, Surabaya (1940-an) --yang menjadi latar pengisahannya. Lan Fang (masih) memercayai cinta masih ada, di mana-mana, termasuk di tempat mesum, yang bergelimang maksiat.

Adalah Matsumi, perempuan penghibur kelas kakap yang datang (didatangkan?) dari Kyoto. Memenuhi permintaan seorang petinggi militer Jepang, Shosho Kobayashi. Demi martabat bangsa Jepang, di Kembang Jepun, ia harus menanggalkan identitas kejepangan, berganti nama ; Tjoa Kim Hwa, artinya Ular Bunga Emas. Nama yang liar, seliar gelinjang tubuhnya di atas ranjang. Tapi juga anggun, seanggun gemulai jemarinya saat menari di depan tamu-tamu berkantong tebal. Semula, kedatangan Matsumi memang karena uang. Tapi, bekas geisha ternama itu menolak disebut jugun ianfu (pelayan seks). Sebab, ia pandai menari dan memainkan shamisen (alat musik petik tradisional Jepang), dan (tentu) piawai memuaskan laki-laki. Suatu ketika ia bertemu Sujono, buruh angkut di toko kain Babah Oen. Biasanya Matsumi selalu memegang kendali ‘permainan’, tapi saat berhadapan dengan laki-laki itu, ia tak berdaya. Matsumi malah ‘menikmati’ permainan itu. Sujono terpaksa mencuri uang di brankas Babah Oen guna membayar ’harga’ Matsumi yang selangit itu. Perjumpaan ‘tidak biasa’ itu membuat Tjoa Kim Hwa bertekuk lutut. Ia jatuh cinta, ‘pensiun’ sebagai sundal dan menikah dengan Sujono. Inilah muasal nestapa Matsumi.

Bagi Sujono, menikahi Matsumi hanya karena uang. Sejak dipecat Babah Oen, Sujono berubah jadi pemalas. Sehari-hari, hanya bermanja-manja menikmati layanan ‘istimewa’ dari istrinya, Matsumi. Mencicip kebahagiaan tanpa harus kerja keras layaknya seorang suami. Sujono memanfaatkan kekayaan Matsumi. Tak jarang, nafkah untuk istri pertamanya (Sulis) pun dirogohnya dari kantong Matsumi. Benar-benar ‘buaya darat’. Petaka tak terbendung lagi. Setelah melahirkan Kaguya, tabungan Matsumi menipis. Lebih parah lagi, keadaan sedang genting waktu itu. Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kedigdayaan Jepang di Indonesia lumpuh seketika. Kelap-kelap malam di kawasan Kembang Jepun disegel. Surabaya tidak aman lagi bagi siapapun yang beridentitas Jepang, termasuk bagi Tjoa Kim Kwa alias Matsumi. Matsumi harus pulang ke Jepang, tanpa Kaguya. Sebab, Kaguya tak punya kelengkapan administrasi sebagai orang Jepang. Bocah perempuan usia 2 tahun itu dititipkannya pada mama Mio dan tuan Tan di Klenteng Hok An Kiong, tak jauh dari Kembang Jepun.

Sujono kelimpungan sejak kepergian Matsumi yang tanpa pamit. Beruntung kemudian ia menemukan Kaguya dan bertekad tak bakal menyia-nyiakannya. Menyayangi Kaguya berarti menunjukkan rasa cinta pada Matsumi. Dibawanya Kaguya ke rumah petakan yang sumpek, tempat tinggalnya dengan Sulis. Agar aman, nama Kaguya diganti ; Lestari. Tapi, di sini pula bermula derita Lestari, yang tinggal dengan ibu tiri. Ia dibesarkan dengan hardikan, cacian, sumpah serapah. Tak hanya itu, setelah beranjak remaja, (saat rumah sedang sepi) Lestari diperkosa kakak tirinya, Joko, anak laki-laki dari perkawinan Sujono dan Sulis.

Sujono yang semula digambarkan sebagai laki-laki bejat, tiba-tiba berubah jadi sosok ayah yang memeras keringat siang malam sebagai tukang becak di pelabuhan Tanjung Perak. Mengerahkan segenap tenaga demi menghidupi Lestari. Sejak Lestari diperawani Joko, Sujono hengkang dari kehidupan Sulis. Dibawanya Lestari ke rumah Matsumi yang sudah lama ditinggalkan dalam keadaan terkunci. Kelak, Sujono dan Lestari menampung anak-anak terlantar di sana, hingga rumah itu menjadi panti asuhan. Lestari punya seorang anak angkat bernama Maya.

Sujono mulai ringkih, sakit-sakitan. Tak ada yang bisa dilakukannya selain membuat burung orisuru dari kertas washi. “Matsumi yang mengajari ayah membuat orisuru….”. Hingga detik-detik terakhir hidupnya, Sujono masih menyebut-nyebut nama Matsumi. Saat mengucapkan nama itu, seperti ada yang bergetar di dadanya, ada yang bergejolak di jantungnya. Denyut rindu yang menyesakkan.

Lan Fang tidak mengusung pembelaan terhadap ketertindasan perempuan, tidak pula ‘mempersetankan’ laki-laki dalam novel ini. Ia bijak, meski kosakatanya kerap ’menyeramkan’. Lestari memperlakukan ayahnya (Sujono) seperti pahlawan, tiada cela. Padahal, di mata Matsumi, Sujono adalah keparat yang telah menghancurkan hidupnya.

Sebuah peristiwa kebetulan yang (agak) dipaksakan tak terelakkan. Lestari dan Matsumi berjumpa kembali. Pertemuan itu terjadi ketika Lestari menerima tamu istimewa. Higashi, pelukis asal Jepang yang kerap berkunjung ke Kembang Jepun, hendak melamar Maya. Ia datang bersama perempuan renta yang masih menyisakan kecantikan masa muda, ibu angkat Higashi. Namanya Matsumi. Satu hal lagi yang mengganggu pembacaan adalah inkonsistensi Lan Fang soal identitas kejepangan Matsumi yang disembunyikan dengan nama cina. Tapi kenapa Tjoa Kim Hwa masih mengenakan Kimono?

Berkali-kali Lestari ingin menyela saat Matsumi berkisah perihal kebejatan Sujono. Tapi, ia dapat merasakan pahit getir Matsumi karena ulah Sujono, ayahnya. Sebaliknya, bertahun-tahun Lestari juga menanggung perih luka, karena ditinggalkan begitu saja oleh Matsumi. Agaknya, tak ada lagi puing cinta Matsumi pada Sujono. Padahal, denyut rindu Sujono pada Matsumi tak kunjung padam. Cinta pada Matsumi dibawanya mati. Seperti bertepuk sebelah tangan. Sunyi tiada berbunyi. Hampa tiada suara. Mengharukan!

Kenapa Lan Fang masih getol merancang kisah cinta? Bukankah banyak lahan tematik yang lebih pelik dan belum tergarap? Karena ia terbiasa menulis novel pop? Saya teringat jawaban cerpenis Kurnia Effendi saat dihadang tanya yang sama, “Persoalan cinta di negeri ini belum selesai!”. Mungkin, Lan Fang juga bakal berdalih seperti itu. Apa boleh buat…

Comments

insanitis37 said…
Trims banyak reviewnya mas..Insya sy beli nih novel.
Mas, sy suka cerpen2 Mas Damhuri. Asyik aja dibacanya. Sy juga iseng2 nulis lo,. hehe. Sharing pengalaman dong Mas...Saya tunggu kunjungan balik dan sudi kiranya meninggalkan komentar di tulisan "gak penting"ku, :-)

Popular Posts