Ulil, Adab Al-Jadl dan Tipu Muslihat Intelektual

Judul : Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam
Penulis : Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : NALAR, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2007
Tebal : 234 halaman

Oleh : DAMHURI MUHAMMAD


(MEDIA INDONESIA, 28 April 2007)

Buku Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam (Bunga Rampai Surat-surat Tersiar) karya terbaru Ulil Abshar Abdalla ini tentu saja mengingatkan pembaca pada sebuah artikel dengan redaksi judul yang kurang lebih sama ; Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam yang juga ditulis Ulil sekitar empat tahun lalu (Kompas, 18/11/2002). Artikel pendek itu telah menyita perhatian sejumlah tokoh Islam, baik yang pro maupun kontra. Reaksi yang muncul terbilang cukup menggemparkan, hingga popularitas Ulil pun melambung tinggi. Silang pendapat yang terjadi saat itu, tidak lagi sekedar wacana versus wacana sebagaimana layaknya polemik di surat kabar. Lebih jauh, Athian Ali, ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) Jawa Barat sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Ulil dengan tuduhan ; menghina Islam, Nabi Muhammad, bahkan menghina Tuhan. Lalu, kenapa Ulil masih saja menggunakan formulasi judul yang relatif sama pada buku ini? Selain menjemput ‘sensasi’ empat tahun lalu demi meraih selling point (nilai jual), agaknya memang belum tampak alasan yang lebih tegas.

Padahal, gairah intelektual Ulil dalam buku ini jauh dari kesan sarkastis, tidak sesangar dan seberingas artikel yang menghebohkan itu. Kali ini, Ulil tampil lebih hati-hati, santun, meski sesekali masih terlihat menggebu-gebu. Kecuali bagian epilog yang ditulis Ulil untuk membuhul keseluruhan pokok bahasan, materi buku ini dihimpun dari surat-surat elektronik yang di-posting Ulil untuk mailing list (kelompok diskusi internet) Jaringan Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com). Ini dilakukan Ulil disela-sela kesibukannya menyelesaikan studi di Departement of Religion, Boston University, AS. Temanya cukup beragam, mulai dari ‘kriminalisasi’ terhadap jemaat Ahmadiyah dan komunitas Eden pimpinan Lia Aminuddin, tradisi ‘membunuh’ dalam Islam, dialog agama-agama, Bom Bali hingga sejarah penyaliban Yesus.

Pertanyaan kunci yang menjadi ultimate concern Ulil dalam buku setebal 234 halaman ini adalah Kenapa Islam Harus Saya Kritik? Ibarat seorang pengendara yang sudah pernah mengalami ‘kecelakaan’, Ulil masih saja berani melintasi medan-medan ‘rawan’ yang bila kurang perhitungan, resikonya cukup fatal. Bila tidak bertabrakan dengan kendaraan lain, sekurang-kurangnya Ulil bisa dicegat polisi lalu lintas, lalu ‘ditilang’ karena telah ‘melanggar’ sejumlah pasal. Ulil tak segan-segan mencatat data yang membuktikan kemungkinan Qur’an salah cetak. Hipotesis yang terdengar agak ganjil ini disandarkan pada tafsir Qurtubi, khususnya pada pembahasan surah Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi “Wa qadha rabbuka…” Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Ibn Abbas membaca ayat itu “Wa wash-sha” dengan alasan ; huruf waw yang kedua pada kata Wa wash-sha menempel pada huruf shad, maka bacaannya menjadi Wa qadha. Menurut Ulil, bila fakta ini benar, maka variasi bacaan Qur’an tentu tidak sekedar berkaitan dengan perbedaan dialek suku-suku Arab sebagaimana yang dipahami dalam kajian ulum al-qur’an selama ini, variasi bacaan bisa saja timbul karena ‘kecelakaan sejarah’. Apakah variasi bacaan Quran bisa terjadi karena salah cetak? demikian Ulil mempertanyakan, dan celakanya, pembahasan topik itu dianggap selesai begitu saja, tanpa penjelasan lebih lanjut. Sekedar keterangan menyangkut otoritas tafsir Qurtubi yang terdengar agak menyimpang itu juga tidak. Padahal, amat sukar mengambarkan kenapa huruf waw yang menempel pada huruf shad, lalu terlihat (seolah-olah) huruf qhaf (wa qadha).

Lebih rawan lagi, pada bagian yang lain, Ulil membincang soal pengaruh tradisi paganisme dalam ibadah Thawaf. Ia mengutip ungkapan kekesalan sayidina Umar Bin Khattab tatkala hendak mencium hajar aswad yang kurang lebih berbunyi ; “Kalau tidak karena sunnah Nabi, tak sudi aku menciummu.” Menurut pemahaman Ulil, praktik mencium hajar aswad itu mengingatkan Umar pada praktik paganisme pra-Islam. Seterusnya, Ulil mempertanyakan, kalau kita mau berpikir jernih, kenapa saat shalat kita menghadap ke sebuah batu kubus bernama Ka’bah? Bila Tuhan tidak mempunyai tempat (ghairu mutahayyiz), kenapa kita mesti menghadap batu, seolah-olah kita menyembah batu? Anda mungkin akan mengatakan bahwa yang kita sembah bukan Ka’bah, tetapi Allah. Saya katakan ; persis itu jawaban orang-orang pagan di Mekah. Mereka tidak menyembah berhala, tapi menjadikan berhala sebagai wasilah (medium) untuk sampai pada Tuhan. Lagi-lagi, pembicaraan disudahi Ulil sampai di situ. Ia sengaja meninggalkan pernyataan-pernyataan bersayap tanpa argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Inilah medan-medan ‘rawan’ yang diterobos Ulil tanpa perhitungan matang. ‘Pengendara ugal-ugalan’ seperti Ulil bisa saja terjerumus masuk jurang.

Lewat buku ini Ulil mendedahkan asumsi-asumsi setengah jadi tanpa landasan metodologi yang kokoh. Aspek metodologis nampaknya memang kerap terabaikan dalam sederetan kerja intelektual Ulil selama ini. Meskipun ia sangat menguasai literatur-literatur Islam klasik, pengetahuan gramatikal arab (qawaid al-lughah)-nya sangat mendalam (Ulil juga hafal kaidah-kaidah ushul fiqh yang jumlahnya ratusan), tapi sebagaimana pernah disinyalir Haidar Baqir (2003), penarikan kesimpulan tanpa basis metodologi dapat menimbulkan kesan arbitrer. Acak, tak terarah dan tak punya kerangka yang jelas. Tanpa dukungan metodologi, Ulil hanyalah seorang polemikus yang lihai dan piawai mempermainkan epistemologi keberagamaan (yang menurutnya penuh borok dan perlu segera diobati, setidaknya perlu disegarkan kembali). Tapi, apa yang sesungguhnya hendak disegarkan Ulil dengan wacana Islam Liberal itu? Kalau memang Ulil sedang concern pada studi-studi perbandingan agama, kenapa masih mengobrak-abrik wilayah fiqh, kalam, ‘ulum al-qur’an bahkan ilmu tafsir? Apakah Ulil itu ahli fiqh, teolog, mufassir atau ahli perbandingan agama? Muncul kesan, seolah-olah Ulil telah mengenggam dan menguasai wacana pemikiran Islam dalam segala bidang. Sebuah kompetensi keilmuan yang mustahil digapai oleh intelektual muslim paling jenius sekalipun.

Dalam arena ‘diskusi maya’ di mailing list Jaringan Islam Liberal itu, tampaknya tidak ada ‘lawan’ yang benar-benar sepadan dengan Ulil. Setidaknya, lawan berpolemik yang juga menguasai literatur Islam klasik yang sejauh ini dianggap sebagai ‘pedang tajam’ Ulil. Akibatnya, pola diskusi terkesan sangat menggurui. Amat leluasa Ulil ‘mengkhutbahkan’ gagasan-gagasan penyegarannya tanpa ‘perlawanan’yang memadai. Sebagian besar gagasan Ulil dalam buku ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sejumlah anggota klub diskusi menyangkut masalah-masalah tertentu. Tapi, agak mengherankan, tulisan-tulisan para penanya itu tidak disertakan dalam bunga rampai surat-surat tersiar ini. Seolah-olah ada kesengajaan hendak menonjolkan gagasan-gagasan Ulil, tapi prinsip keseimbangan dan kesepadanan dalam sebuah diskursus keilmuan terabaikan. Pola interaksinya satu arah, tak imbang dan cenderung memihak.

Sebagai polemikus handal, Ulil mewarisi semangat adab al-jadl, semacam aturan main berpolemik di kalangan filsuf muslim abad pertengahan. Lazimya, sebelum gagasan digulirkan, seorang polemikus sudah memperkirakan bantahan dan gejolak kemarahan yang bakal mengemuka. Untuk menghadang gejolak itu, polemikus lebih dulu ‘pasang kuda-kuda’ dan mempersiapkan siasat ‘bersilat lidah’ yang memang sulit dilumpuhkan. Sebentuk intellectual gimmick (tipu muslihat intelektual) yang lumrah dilakukan oleh pemikir-pemikir muda Jaringan Islam Liberal (JIL) akhir-akhir ini.

Comments

Anonymous said…
memang selalu ada orang-orang yang mengatakan sambal itu tawar tanpa dia tahu bagaimana caranya membuat sambal itu menjadi pedas..

suka baca resensi ini, da

pakcik Ahmad
Anonymous said…
tenkiyu pak cik...

dm
makasih pak cik...

dm

Popular Posts