MERANTAU DI KAMPUNG SENDIRI

Judul : Perantau
Penulis : Gus Tf Sakai
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 130 halaman

Oleh : DAMHURI MUHAMMAD


(Koran Tempo, Minggu, 24 Juni 2007)


Bagaimana mungkin pengarang yang tak pernah merantau tiba-tiba menulis cerita tentang perantau? Begitu sak wasangka yang menggelayut di benak saya saat berhadapan dengan buku kumpulan cerpen Perantau karya terkini Gus Tf Sakai ini. Saya begitu tergesa hendak menyingkap watak perantauan macam apa yang bakal dimaklumatkan cerpenis asal Payakumbuh itu. Bagi anak rantau seperti saya, merantau tidak sekedar jalan terjal dan berliku yang mesti ditempuh untuk melesap ke masa depan, tidak pula semata-mata mengadu nasib di negeri orang, dan kelak bila sudah beruntung akan kembali ke kampung halaman. Tidak sesederhana itu!

Merantau adalah sebuah keniscayaan, keharusan yang tidak dapat ditolak, atau (barangkali) semacam sisi lain dari ‘takdir’ malang laki-laki Minang. Ini resiko yang mesti ditanggung akibat dalamnya tikaman ‘garis ibu’ yang tak lekang dimakan waktu. Setelah sampai akil baligh, anak laki-laki ‘dihalau’ ke surau. Mengaji sekaligus tidur di surau. Di rumah-rumah gedang sembilan ruang yang halamannya luas itu tidak tersedia kamar bagi mereka. Kamar hanya diperuntukkan bagi anak perempuan. Maka, berhimpitan-himpitanlah mereka tidur di surau, seperti ikan pindang dalam wajan. Itu tak lama, hanya sampai mereka terbiasa jauh dari ketiak emak, setelah itu tiba saatnya ; pergi merantau. Merantau bujang dahulu, (sebab) di kampung perguna belum. Falsafah ini sudah menjadi ‘lagu wajib’ yang selalu didendangkan ibu-ibu di ranah Minang, hingga anak-anak mereka berani merantau, terbang-hambur dari tanah kelahiran. Tiada tempat di rumah, lantas menggelandang ke surau-surau, setelah itu merantau ke negeri orang, tidakkah itu siasat pengusiran yang paling santun?

Inilah musabab sak wasangka saya, betapa seorang Gus Tf Sakai, laki-laki Minang yang tidak pernah merantau kemudian merancang kisah tentang perantau? Saya kuatir, buku ini tidak mencukam di kedalaman pahit-getir hidup anak rantau yang terbuang dari kampung sendiri. Buktinya, alih-alih mengenggam realitas rantau yang sejatinya, cerpenis peraih The Lontar Foundation (2002) ini malah buru-buru mengunci cerpennya dengan kalimat tak perlu jadi burung untuk tahu rahasia sayap. Tampak nyata obsesi literer pengarang yang hendak membangun konsep merantau tanpa (harus) jadi anak rantau. Karena pengarang tak pernah merantau kah?

Ketakpatuhan pada suruhan Merantaulah, Nak! diperkokoh dengan menghadirkan sosok Mak Itam, lelaki gaek yang sepanjang umurnya tak beranjak dari kampung, hidup menyendiri di dangau usang, lemah digasak batuk. Mak Itam membujuk si calon perantau (tokoh utama) yang sedang gamang dan ragu-ragu memilih jalan antara merantau atau tidak. Lelaki renta itu memberi petuah bahwa masa depan tidak ditentukan oleh merantau atau tak merantau, tapi bakal datang sendiri. Persoalannya apakah ketika masa depan itu datang, kita masih ada atau tidak? Dan Mak Itam yang sudah hampir bau tanah itu belum menemukan masa depannya, (tapi sudah pasti akan segera menemui ajalnya).

Agak mencengangkan kenapa Gus Tf Sakai mengidentifikasi konsep merantau dengan sudut pandang futuristik, bahwa etos merantau bertujuan untuk meraih masa depan, agar roda nasib bergerak ke atas. Padahal merantau tidak selalu berarti menuju sesuatu, tapi lebih kerap meninggalkan sesuatu. Membebaskan diri dari iklim ketakberdayaan, hengkang sebagai pecundang malang, hidup menumpang di negeri orang, dan tak bakal kembali pulang. Bukankah tak terhitung berapa banyak perantau yang sudah melupakan jalan pulang? Seamsal merantau cina, sekali pergi, tiada pernah kembali. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.

Meski begitu, ada sisi lain perantauan yang hendak digambarkan buku ini, bahwa laki-laki Minang yang tidak merantau pun pada akhirnya tetap saja (seolah-olah) merantau. Meski tidak berlayar ke negeri seberang, mereka tetap akan meninggalkan rumah, hidup dan tinggal di rumah anak-bini. Tapi, fase ini tidak akan bertahan lama, hanya selagi tangan kuat mengayun cangkul, menggarap sawah dan ladang guna menghidupi keluarga. Bila tenaga mulai berkurang, tulang-tulang tak berdaya, mereka tak berguna lagi, serupa tebu yang telah habis disesap rasa manisnya. Tengoklah betapa banyaknya peruntungan laki-laki Minang yang berakhir menjadi duda-duda tua, tercampak dari rumah bini. Jalan satu-satunya adalah kembali ke surau. Kecil di surau, setelah beranjak tua pun kembali ke surau, menunggu mati di surau. Ketakmujuran macam ini setali tiga uang dengan nasib Mak Itam yang lapuk digasak batuk, tinggal seorang diri di dangau usang sebagaimana dikisahkan dalam Perantau. Meski tidak pernah merantau, tapi sepanjang hidup, ia seperti berada di rantau, tersisih, kesepian dan tak dihargai. Merantau di kampung sendiri.

Corak pengisahan sejumlah cerpen dalam buku ini (Lelaki Bermantel, Tujuh Puluh Lidah Emas, Jejak Yang Kekal, Tok Sakat dan Sumur) seperti hendak mewartakan bahwa jalan kepengarangan cerpenis peraih SEA Write Award (2004) ini telah menyimpang ke arah laku penuturan yang meliuk-liuk, berkelok-kelok. Alurnya berbelit-belit, rumit. Diksinya gelap, sukar dicerna. Cerpen-cerpen Gus Tf Sakai tidak lagi terang, lugas dan peka isi seperti karya-karya sebelumnya (Istana Ketirisan, 1996, Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, 1999 dan Laba-laba, 2003). Buku ini lebih asik-masyuk mengolah cara bercerita ketimbang membangun kepekaan pada substansi cerita itu sendiri. Meski belum pernah merantau, dalam proses kreatif paling mutakhir, Gus Tf Sakai benar-benar sudah ‘merantau’ jauh. Saya was-was, dalam perantauan ini, ia bakal lupa jalan pulang.

Comments

Anonymous said…
halo mas damhuri. ni pertama kali berkunjung dan baca abis tulisanmu ttg kuncer nya gus tf. sy lbh bnyk mengenal gus tf sbg penyair. apakah cerpen2 nya jg kuat? ato, jngn2 cara bertuturnya yg gelap agak terpengaruh dg kebiasaanya mencipta puisi?

salam,
haris
Anonymous said…
mas, apa karena gus tf jg penyair jadi dia bersuli2 dlm cerpen2 nya?

haris
rumahmimpi.blogspot.com
Halo juga mas Haris,
Makasih sudah berkunjung

Popular Posts