Gasing Tengkorak

Cerpen DAMHURI MUHAMMAD


(Suara Merdeka, minggu 22 Juli 2007)


Jangan coba-coba meludah di hadapan lelaki itu! Ia memang buruk rupa, muka kusut, mata juling, gigi kuning, mulut bau tembakau murahan, hanya satu dua orang yang tahan duduk lama-lama di dekatnya. Tapi jangan lupa, ia punya Gasing Tengkorak. Bila ia mau, semua perempuan di kampung ini bisa jadi bininya, tak peduli gadis belia, janda kembang atau bini orang. Bila Gasing Tengkorak sudah berkehendak, tak bakal ada perempuan yang menolak. Siapapun bakal takluk, tergila-gila pada tukang panjat pohon kelapa itu. Gasing bukan sembarang gasing. Bila lelaki itu sudah membaca mantra teluh sambil menggasing di malam buta, perempuan yang dituju akan terjaga, badannya serasa sedang direbus, panas alang kepalang, uring-uringan dan mulai menggigau, Dinir, Dinir, jadikan aku istrimu! Besok pagi, perempuan itu akan bergegas mencari Dinir, lalu bermohon ; Dinir, Dinir, jadikan aku istrimu!

Begitulah kejadian yang menimpa Nurmala, gadis muda yang baru saja menyelesaikan kuliah di kota. Setelah menyandang gelar sarjana, Nurmala pulang kampung minta doa restu mak dan bapak. Ia sudah mengajukan lamaran kerja, semoga mak dan bapak ikut berdoa, agar Nurmala diterima. Selain itu, Nurmala juga membawa kabar gembira bahwa sudah ada laki-laki yang berniat mempersuntingnya. Syamsudin nama kekasihnya itu, dokter muda yang kini bertugas di kota. Bila mak dan bapak merestui, keluarga Syamsudin bakal datang melamar Nurmala. Mujur benar nasib Nurmala. Sudah sarjana, akan segera bekerja, dan bakal dapat jodoh pula. Tapi, petaka muncul tiba-tiba. Suatu pagi, Dinir, tukang panjat pohon kelapa dipanggil ke rumah. Mak dan bapak hendak menggelar syukuran sederhana, karena anak gadis mereka sudah jadi sarjana, indeks prestasinya memuaskan pula. Untuk acara masak-memasak mak butuh buah kelapa. Setelah buah kelapa berjatuhan dari pohon belakang rumah, Dinir menyelunsu turun serupa Beruk. Tak sengaja, mata liarnya melirik Nurmala yang sibuk mengumpulkan buah kelapa.

“Rupanya tak hanya buah kelapa yang sudah matang. Anak perempuan di rumah ini sudah patut pula kiranya.” kata Dinir sambil membetulkan simpul tali pengebat celananya.

“Jangan banyak cakap! Angku cuma tukang panjat.” sela Nurmala, angkuh.

“Jangan kasar begitu, dinda! Awak cuma bercanda.”

“Angku cuma tukang panjat, seperti Beruk. Jangan ganggu anak gadis orang!” gerutu Nurmala lagi.

“Ketemu orang bersengat awak rupanya. Mukamu rancak, tapi muncungmu bercirit.”

Tak hirau Dinir pada upah panjat yang belum diterima. Tergesa ia meninggalkan tempat itu. Seolah ada yang baru saja menampar mukanya. Mentang-mentang bersekolah di kota, Nurmala seenaknya menghina tukang panjat seperti dirinya, disamakan dengan Beruk pula. Dinir sudah berusaha sabar, tapi kata-kata Nurmala terngiang-ngiang terus di telinganya. Siapa melompat siapa jatuh. Agaknya Gasing Tengkorak bakal berputar nanti malam. Tunggulah Nurmala, sebentar lagi tukang panjat pohon kelapa akan memanjat tubuhmu, Dinir membatin.

Tatkala orang-orang kampung masih melungkar tidur, mak dan bapak kelimpasingan, tak tahu harus berbuat apa. Nurmala anak gadisnya tiba-tiba bertingkah ganjil, seperti orang kesurupan setan. Menggelinjang-gelinjang kepanasan, berguling-guling di tempat tidur. Mula-mula selimut dicampakkanya, bantal guling dibantingnya. Nurmala masih tidak tahan panas, daster pun ditanggalkan, hingga tubuhnya telanjang bulat. Sebesar biji jagung peluh di kuduknya. Tak lama kemudian, Nurmala menyeracau, Dinir sayang, Dinir sayang, datanglah, datanglah! Dinir sayang, Dinir sayang, datanglah, datanglah! begitu berulang-ulang. Wakbai, dukun hebat yang konon belum ada tandingannya dijemput malam itu juga. Semula, mak dan bapak menduga Nurmala hanya mimpi buruk. Tapi, setelah wajahnya disembur air yang keluar dari mulut Wakbai, ia masih saja bertingkah ganjil seperti orang kesurupan. Makin menjadi-jadi. Nurmala menyeringai sambil meronta-ronta, antarkan awak ke ke rumah Dinir, antarkan awak ke rumah Dinir!

“Dinir? Apa salahmu pada tukang panjat itu?” tanya mak.

“Antarkan awak ke rumah Dinir, antarkan awak ke rumah Dinir!”

Wakbai geleng-geleng kepala. Dukun masyhur itu angkat tangan. Rupanya ia berhadapan dengan kekuatan pukau Gasing Tengkorak. Dari siapa lagi muasalnya kalau bukan dari Dinir. Wakbai keok. Tak punya nyali melawan guna-guna Dinir.

“Segera temui Dinir! Mungkin anakmu buat kesalahan pada tukang panjat itu. Minta maaf!”

“Pukau Gasing Tengkorak tak ada tandingannya.”


Tak tercegah, Nurmala akhirnya jatuh ke tangan Dinir. Kesalahannya tak terampuni. Nurmala harus membayar dengan menjadi istri kelima. Upah panjat memang tak sempat diterima Dinir, tapi bukankah tubuh Nurmala imbalan yang tak ternilai? Mak dan bapak tiada punya pilihan. Banyak dukun didatangkan untuk menghadang pukau Gasing Tengkorak. Tapi, semuanya menyerah. Mak dan bapak pasrah, merelakan anak gadisnya dipersunting Dinir. Apa boleh buat. Bila dicegah, Nurmala bisa gila selamanya. Maka, jadilah mak dan bapak bermenantu lelaki bergigi kuning, bermata juling. Sudahlah, mungkin Dinir memang jodohnya Nurmala, kata mak.

****

Kini, Nurmala sudah lupa peristiwa malam itu. Lupa kalau ia harus kembali ke kota, memenuhi panggilan kerja. Lupa pada Syamsudin yang hendak melamarnya.Yang ia tahu hanya Dinir, suami tercinta, ayah empat orang anaknya. Dua laki-laki, dua perempuan. Yang perempuan mukanya mirip Dinir, sedang yang laki-laki wajahnya mirip Nurmala.

Lama kelamaan, Rukaya, Saanih, Simatukila, Sansida dan Nurmala (lima istri Dinir) jadi tahu, ternyata Gasing Tengkorak itu benar-benar dibuat dari tengkorak manusia, tengkorak kepala bayi laki-laki tepatnya.Ukurannya tidak sebesar tengkorak orang dewasa, hanya sebesar kepalan tinju. Sebab, mayat yang digali dari kuburan itu mayat bayi yang mati di usia tujuh hari, dan konon, bayi itu mati berdarah. Sisi kanan dan kiri tengkorak itu dilubangi, masing-masing dua lubang sebesar buah rimbang. Di kedua lubang itulah dimasukkan tali gasing yang sebelumnya sudah dibelit benang tujuh rupa, jadilah Gasing Tengkorak. Bukan Dinir yang menggali kubur, ia hanya beroleh cerita. Dinir mewarisi gasing ajaib itu dari kakek-buyutnya. Ia diajari mantra teluh, juga diberitahu pantangan-pantangan yang harus dihindari selama ia masih ingin memelihara Gasing Tengkorak itu. Bila Dinir patuh pada pantangan, kekuatan pukau Gasing Tengkorak tiada bakal tertandingi. Dan benar, sejak memiliki Gasing Tengkorak, Dinir tak hanya piawai memanjat pohon kelapa sebagaimana pekerjaannya sehari-hari, tapi juga lincah memanjati tubuh perempuan.

“Bawalah gasingmu ke kota? Pasti banyak yang butuh.” bujuk Nurmala suatu hari.

“Ada-ada saja awak tu, siapa pula yang mau?”

“Banyak laki-laki patah hati di sana. Kau bisa kaya kalau mau bantu mereka.”

“Bagaimana caranya?”

“Kucarikan kau pelanggan.”

“Kalau mereka mau, datang saja ke sini.”

“Dari mana pula mereka tau, kalau kau punya Gasing Tengkorak?"

“Ke kotalah, kalau mau kaya!”

Rayuan Nurmala didukung Rukaya, Saanih, Simatukila dan Sansida. Lama-lama Dinir tergoda juga. Nurmala berhasil membawa Dinir dan Gasing Tengkorak itu keluar dari kampung ini. Sementara istri-istri Dinir yang lain berharap semoga suami mereka beroleh celaka di kota. Agar mereka bebas dari pasungan lelaki itu. Diam-diam mereka mulai berontak. Betapa tidak? Dinir tak pernah memberi nafkah untuk menghidupi anak-anak. Dasar tukang panjat, Dinir hanya bisa memanjat tubuh istri-istrinya. Setelah beranak-pinak seperti kucing, Dinir membiarkan mereka begitu saja. Untunglah, Rukaya, Saanih, Simatukila, dan Sansida orang-orang berada. Justru mereka yang menafkahi Dinir. Anehnya, mereka sudah menyadari kebodohan itu selama bertahun-tahun, tapi mereka tak kunjung lepas dari pukau Gasing Tengkorak. Mengajak Dinir ke kota mungkin hanya muslihat istri-istrinya, agar tidak ada lagi korban-korban Gasing Tengkorak berikutnya. Cukup mereka saja. Bila Dinir terus berada di kampung ini, bisa-bisa semua gadis dimakannya bulat-bulat.

Semula, memang banyak laki-laki yang tertarik menggunakan jasa Dinir. Ada yang sekedar ingin punya istri baru, supaya ada variasi. Ada pula yang benar-benar patah hati karena cintanya ditolak, entah karena melarat, entah karena ketahuan sudah punya istri. Mereka menjanjikan bayaran menggiurkan, tentu bila Dinir berhasil membuat perempuan-perempuan pilihan mereka bertekuk lutut dan minta dikawini. Sementara itu, Nurmala mulai membeberkan bahwa Dinir, suaminya itu, menyimpan tengkorak kepala manusia yang digalinya dari kuburan, entah di mana, ya tengkorak bayi yang mati berdarah.
Jonatan, salah seorang pelanggan, mulai meragukan kehebatan Dinir. Ia sudah membayar mahal, tapi Karina, perempuan idamannya tidak mengalami kejadian apa-apa. Padahal, hampir tiap malam Dinir memutar Gasing Tengkorak yang mantra teluhnya ditujukan pada perempuan itu.

“Bila perempuan itu tak bisa kau taklukkan, kulaporkan kau ke polisi.”

“Tuduhannya jelas, kau menyimpan tengkorak bayi. Bisa-bisa kau tertuduh sebagai pembunuh.” ancam Jonatan.


Dinir pucat. Tangannya gemetar. Tapi, Nurmala senang bukan main. Jebakannya berhasil menjerat Dinir. Tunggu petakamu, Dinir!

Tak lama berselang, Gasing Tengkorak itu disita sebagai barang bukti kejahatan Dinir. Dinir meringkuk dalam tahanan. Nurmala dan anak-anak melenggang pulang. Tapi, ia tak bisa melupakan Dinir, lelaki yang telah mengguna-gunai itu. Begitu pula Rukaya, Saanih, Simatukila dan Sansida. Mereka malah sering berkunjung ke kota, membawakan makanan kesukaaan Dinir. Di mata anak-anaknya (kalau tidak salah jumlahnya delapan belas), Dinir tetaplah ayah yang mereka rindukan. Belakangan, Nurmala menyesal telah menjebak suaminya. Cintanya pada lelaki bermata juling itu makin membara. Sejak Dinir ditahan, makannya tak enak, tidurnya tak nyenyak. Kini, Nurmala mati-matian berusaha membebaskan Dinir dari tahanan. Sabarlah suamiku, kita akan berkumpul kembali seperti dulu…

Kelapa Dua, 2007

Comments

Popular Posts