Yth, Tuan Nirwan..

Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

(Esai ini disampaikan dalam acara TEMU KANGEN SENIMAN, di Yayasan PITALOKA, Kukusan, Depok, Minggu 15 Juli 2007).

Menyoal pergeseran selera penjurian dalam cerpen ‘Kompas’ pilihan 2005-2006, lewat esai Mendustai Sastra Koran (Kompas, 8/07/07), Binhad Nurrohmat hampir memaklumatkan ‘harga mati’ bahwa pemilihan cerpen terbaik yang diselenggarakan harian Kompas tiap tahun (sejak 1991 hingga sekarang) sudah tegak sebagai tradisi. Padahal, pihak Kompas yang kali ini langsung dipengantari Suryopratomo (Pemimpin Redaksi) telah menegaskan bahwa momentun tahunan itu hanyalah rutinitas yang kemudian secara serampangan dianggap ‘tradisi’. Berkebalikan dengan sikap Binhad yang begitu was-was ketika penjurian tahun ini sepenuhnya dipercayakan pada pihak luar bakal berpotensi ‘mencederai’ pilihan estetik Kompas yang telah dirawat sejak lama, Kompas justru sedang ‘berikhtiar’ agar rutinitas itu tak terjerumus ke dalam lubang kemapanan dan tak terkungkung dalam ‘jerat’ tradisi. Maka, dengan pergeseran dari mekanisme penjurian ‘orang dalam’ ke ‘orang luar’ (kali ini dipercayakan pada Nirwan Dewanto dan Bambang Sugiharto), Kompas mengharapkan munculnya kemungkinan-kemungkinan baru dan kriteria-kriteria artistik yang lain, yang boleh jadi berbeda, andai itu dilakukan oleh redaksi Kompas sebagaimana lazimnya.

Keterbukaan dan kerendah-hatian ini tentu bukan tanpa resiko, mengingat setiap laku penjurian terhadap karya sastra (khususnya cerpen) selalu didera kesulitan menentukan parameter dan standar penilaian, dan akibatnya selera subyektif sukar dihindari. Agaknya, bagian inilah yang perlu diberi catatan, bila perlu diperdebatkan. Kata pembuka Nirwan Dewanto di bagian awal buku itu barangkali bukan sekedar laporan penjurian, tapi semacam lemparan ‘bola liar’ yang patut ditanggapi, setidaknya perlu diimbangi. Nirwan bilang, sastra yang unggul terselenggara jika si pengarang menjadi pengrajin belaka, lalu pada paragraf selanjutnya ia begitu tergesa hendak menegaskan ; pengarang tidak bisa semau-maunya memperalat bahasa (atau ia akan dibinasakan oleh bahasa). Bukankah kepengrajinan adalah laku kreatif yang mustahil menghasilkan produk kerajinan tanpa perkakas yang memadai? Dalam kerja sastra, perkakas itu tidak lain adalah bahasa. Lalu, bagaimana mungkin etos kepengrajinan bakal terbangun bila pengarang dilarang memperalat bahasa? Mungkin tuan Nirwan lupa bahwa hingga kini kata pengarang masih disebut author, artinya orang yang punya otoritas untuk ’memperkakasi’ bahasa, menggerakkan bahasa, menghidupkan bahasa, bahkan ’menyuntikkan’ pesan-pesan tertentu ke dalam teks. Lelaku ini tetaplah lelaku sastra, bukan setengah-psikologi, setengah-sosiologi, setengah-antropologi, setengah-historiografi dan akhirnya setengah-sastra sebagaimana simpulan Nirwan.

Jatuhnya pilihan pada cerpen Ripin, karya cerpenis muda Ugoran Prasad untuk menempati peringkat terbaik dalam bunga rampai itu memang tak perlu disangkal. Saya bersetuju dengan penilaian Nirwan bahwa Ripin memberi contoh tentang bagaimana realisme dikerjakan hari ini. Sudut pandang seorang anak lelaki (tokoh utama cerita) telah membebaskan pengarang dari heroisme yang tak perlu. Ia membiarkan tokoh-tokohnya berkelindan sendiri dengan latarnya. Saya pun ‘lumayan’ percaya, dalam Ripin, pengarang berhasil menghilang ke sebalik lelaku dan ujaran tokoh, dan karena itu patut dianggap yang paling berhasil. Tapi, agak janggal, ketika Rumah Hujan (Dewi Ria Utari) dan Nistagmus (Danarto) terpilih sebagai dua cerpen yang satu garis identifikasi dengan Ripin. Meski dalam Rumah Hujan, pengarang berhasil melebur ke dalam lelaku tokoh, tapi peleburan itu membuat cerpen ini begitu remang, berpilin-pilin, sukar dicerna. Perihal Nistagmus, bukankah cerpen ini hendak menunjukkan keterlibatan pengarang dalam sebuah peristiwa faktual tertentu? Tidakkah ini hanyalah esai komentar sosial yang ’menyaru’ sebagai cerpen seperti tudingan Nirwan pada Bocah-bocah Berseragam Biru Laut (Puthut EA) dan Piknik (Agus Noor)? Bukankah tuan Nirwan juga bilang bahwa memaksakan muatan, pesan, hikmah, filosofi, ajaran tertentu tidak bisa dituangkan begitu saja di dalam karya sastra? Bila tuan Nirwan bersetia pada ’cita-cita’ literernya, enam dari enam belas cerpen yang terhimpun dalam buku itu, semestinya disingkirkan. Sebab, keenam cerpen itu sungguh memperlihatkan betapa berita meresap ke dalam cerita, dan membuat cerita tak mampu bergerak dengan kaki sendiri, cerita hanyalah semacam berita yang tidak bergerak ke mana pun, demikian tuan Nirwan berwejang. Bagaimana mungkin tikam jejak pengarang dapat dihapus dalam teks? Pada seorang teman penyuka cerpen, iseng-iseng saya pernah menyuguhkan salah satu cerpen karya Kuntowijoyo dengan menghapus nama pengarangnya. Setelah khatam membaca, saya mengujinya ; coba tebak, ini cerpen karya siapa? Ia menjawab, siapa lagi kalau bukan Kuntowijoyo? Saya mulai percaya, teman penyuka cerpen itu dapat mengendus jejak pengarang dalam setiap cerpen yang dilahapnya. Ah, barangkali pengarang tak sungguh-sungguh menghilang dalam teks.

Munculnya sudut pandang baru dalam laku penjurian sebagaimana didedahkan Nirwan Dewanto dan Bambang Sugiharto lewat buku cerpen ’Kompas’ pilihan 2005-2006, barangkali cukup berhasil ’menganggu’ rutinitas pemilihan cerpen terbaik versi Kompas agar tidak terjerembab menjadi ’tradisi’ yang baku dan beku. ‘Realisme bertendens’ (yang selama ini dianggap khas Kompas) secara terang benderang dihadang dengan eksperimentalisme (meski belum menemukan bentuk yang sepadan) sebagai siasat baru dalam menggarap cerpen. ’Umpan lambung’ Nirwan Dewanto patut disambut dengan girang-gemirang, tentu bila itu dilakukan dengan kearifan bahwa apapun ’mazhab’ kesenian dapat bersitumbuh dalam khazanah cerpen kita, berdampingan secara bijak, saling menghormati, tanpa hasrat untuk saling menggantikan satu sama lain, apalagi hasrat hendak menguasai....

Comments

Popular Posts