Anjing Pemburu

Cerpen DAMHURI MUHAMMAD


(MEDIA INDONESIA,19 Agustus 2007)


Secepat kilat kepalan tinju mendarat di mulut Ipun, bocah sembilan tahun itu sempoyongan, terhuyung-huyung, hilang keseimbangan, lalu jatuh tersungkur. Piring berisi nasi dingin tanpa lauk yang tadi dalam genggamannya pecah berkeping-keping. Remah-remah tumpah, berserak di lantai. Tapi, ayah belum puas melampiaskan amarah, Ipun yang sudah tertelungkup dengan mulut berdarah, ditendangnya kuat-kuat hingga tubuh cekingnya terguling, menggelinding serupa bola pingpong.

“Ampun, ampun!” pekik Ipun, kesakitan.

Bila ayah sedang marah, aku, ibu, Ipun, dan adik-adik yang lain kerap hanya diam sambil berharap semoga amuk ayah segera reda. Kalau dihadang, ayah bisa lebih buas. Barangkali lebih buas dari binatang-binatang buruan yang selalu hendak ditaklukkannya. Kemarahan ayah pada Ipun seperti kemarahan yang menggelegak tatkala ia sedang berburu babi di hutan. Mungkin karena terlalu sering berburu, bagi ayah, rumah ini seolah-olah hutan penuh belukar, dan kami seumpama hewan-hewan buruan yang selayaknya dicabik-cabik. Seperti tiada beda antara kami dan babi-babi buruan ayah. Bila seekor babi sudah roboh, para pemburu biasanya menyerahkan bangkai itu pada anjing-anjing kesayangan mereka. Tak begitu dengan Ipun, setelah tumbang tak berkutik, ayah masih bernafsu hendak menerkam dan mencekik batang lehernya.

“Sekali lagi kau mencuri makanan Kalupak, kupatahkan lehermu seperti aku mematahkan leher babi,” bentak ayah, makin beringas.

“Ampun, ampun….”

“Diam kau, anak babi!”


Kalaulah bukan karena Kalupak, seekor anjing pemburu yang sepanjang hari melolong dan menggonggong di rumah kami, tentulah Ipun tiada bakal jadi sasaran hantaman kaki ayah. Pagi na’as itu perut Ipun keroncongan alang kepalang, menggigil lulutnya menahan lapar, sementara di dapur hanya ada sepiring nasi dingin yang disiapkan ayah untuk Kalupak. Berani benar Ipun mencuri makanan anjing peliharaan ayah. Akibatnya, muka Ipun jadi bonyok, bibirnya bengkak sebesar limau sundai. Itu imbalan yang setimpal bagi siapa saja yang menelantarkan Kalupak.

“Ayah lebih sayang pada Kalupak daripada anak-anaknya sendiri,” keluhku pada ibu.

“Lebih baik kasih racun serangga saja anjing itu.”

“Anggap saja Kalupak bagian dari keluarga kita,” bujuk ibu.

“Ah, tak sudi aku bersaudara dengan anjing!”

“Sssst….nanti didengar ayahmu.”

Ayah kami pemburu ternama yang sangat disegani di kampung ini. Keberingasan Kalupak saat membunuh babi telah mengangkat martabat ayah sebagai pemburu nomor satu. Belum ada yang mampu menandingi tajamnya pengendusan anjing pemburu itu. Pada setiap perburuan, selalu saja Kalupak yang pertamakali mengendus jejak buruan, yang pertamakali pula memburaikan isi perut babi. Anjing-anjing pemburu lain selalu memangsai buruan yang sebelumnya telah membangkai dalam terkaman Kalupak. Seolah-olah perburuan itu hanya dilakukan oleh anjing pemburu milik ayah semata. Berkat kehebatan Kalupak, ayah telah menjadi penguasa para pemburu. Tanpa Kalupak, ayah bukan siapa-siapa, hanya pecundang malang yang tiada bakal dihormati orang. Maka, jangan sia-siakan hidup Kalupak, jangan coba-coba merampas hak hidupnya. Anjing pemburu itu lebih berharga ketimbang hidup kami yang hanya membebani, tiada memberi arti. Kami hanyalah babi-babi jinak yang bila tiba saatnya bakal dimangsai.

Kalupak bukan anjing sembarangan. Bukan anjing penjaga rumah yang bila tidak diberi makan, bisa makan tai atau sisa-sisa tulang setelah pasar usai. Kalupak anjing mahal, sebidang sawah telah tergadai guna membeli anjing itu. Dua butir telur mentah dicampur susu kental dijatahkan ayah untuk Kalupak tiap hari. Belum lagi obat-obatan khusus yang dioleskan di lubang hidungnya guna mempertajam pengendusan dan shampoo bermerk guna membasmi kutu dan kuman di bulunya. Makin hari Kalupak makin gemuk, gesit larinya, panjang kejarannya. Tak begitu dengan ibu dan kami, anak-anak ayah. Seumur-umur, ibu belum pernah keramas pakai shampoo hingga rambutnya kusut, tak terurus. Sejak bayi, aku dan adik-adik tak pernah minum susu. Kata ibu, kami hanya diberi air tajen, air bekas menanak nasi. Lihatlah, Ipun, Izen dan Iyen, kurus kering, mata mereka mencukam ke dalam, tidak gesit seperti anak-anak lain, larinya lambat, tak bergairah, sekali kena tendang, langsung tumbang.

Tak hanya Ipun, Izen, Iyen dan aku yang kerap dihajar ayah. Ibu sering pula jadi korbannya. Pernah ayah melempari muka ibu dengan kotak sabun mandi. Saking kuatnya ayunan tangan ayah, kotak sabun itu remuk berderai di kening ibu. Waktu itu, Ipun, Izen dan Iyen menjerit melihat darah meleleh di kening ibu. Ketiganya mendekap ibu, membentengi tubuh ibu.

“Bukan ibu yang salah, kami yang mengambil shampoo itu. Hu…hu….hu” mohon Izen, terisak-isak.

“Kami ingin mandi pakai shampoo, buihnya banyak,” dukung Iyen dan Ipun serentak.

“Kami saja yang dihukum. Hu…hu…hu.”

“Diam kalian, anak-anak babi!”

Ayah makin kesetanan, ia belum puas melihat ibu yang sudah bersimpuh di pojok dapur dikelilingi Ipun, Izen dan Iyen yang merasa bersalah telah membuat ibu diamuki. Meskipun mereka telah menghalang-halangi, tetap saja tamparan ayah mendarat di pelipis ibu. Spontan tubuhku terloncat, dan seketika aku berada di antara ayah dan ibu. Kusuruh adik-adik cepat menyingkir. Kutantang sorot mata garang ayah, kujadikan tubuhku sebagai tameng ibu. Ayo, tampar aku, jangan hanya berani pada perempuan, batinku.

“Rupanya sudah berani kau melawan pemburu?” gertak ayah,

“Babi saja bisa melawan, kenapa kami tidak?” ungkapku dalam hati.

Naluri berburu ayah tiba-tiba mengendor. Tergesa ia pergi meninggalkan kami. Padahal aku sudah siap jadi babi buruannya. Rupanya pemburu itu punya rasa takut juga. Kukumpulkan keping-keping kotak sabun yang berserakan di lantai dapur. Kuseka bekas-bekas luka di kening ibu dan kupapah ibu masuk kamar. Kami paham mengapa ayah ngamuk lagi. Shampoo yang disiapkannya untuk memandikan Kalupak dipakai Ipun, Izen dan Iyen buat main keramas-keramasan di kali belakang rumah. Padahal besok Kalupak bakal unjuk taring, ada buru babi besar-besaran. Kurang lengkap rasanya bila Kalupak belum dikeramasi. Ayah tentu malu bila Kalupak menggaruk-garuk di depan anjing-anjing pemburu lain karena kutu-kutu dibulunya belum dibersihkan.

****

Keng, keng, keng, keng, keng, hauk, hauk, hauk…..
Keng, keng, keng, keng, keng, keng………..

Balok kayu peyangga pintu menghantam kepala Kalupak. Anjing itu menyeringai dan menghentak hendak lepas dari rantai yang mengebatnya. Tak terhitung berapakali balok kayu itu kupukulkan tepat di kepala Kalupak. Dalam sekejap, anjing kesayangan ayah itu tergeletak, kepalanya retak. Setelah kuhampiri, ternyata Kalupak sudah tak bernapas. Seperti mimpi saja rasanya, padahal aku benar-benar telah menghabisi seekor anjing pemburu. Kalau memang kami hanya babi-babi jinak yang suatu saat bakal dimangsai, kini seekor babi telah menerkam anjing pemburu. Entah kenapa aku jadi seberani ini. Mungkin karena ketakutanku sudah memuncak. Kata orang, puncak rasa takut adalah berani tiada tanding.

Setiba di rumah, ayah langsung panik, muka bengisnya berkeringat dingin. Dibolak-baliknya tubuh Kalupak yang terkapar dengan lidah menjulur. Bulu di bagian kepala Kalupak menyisakan bercak-bercak merah yang mulai mengering. Langau hijau mengerubungi bangkai itu. Kami terus menyigi ayah yang masih duduk membatu di depan bangkai Kalupak. Entah seperti apa kemarahan yang bakal meledak sesaat lagi. Tak lama berselang, ayah bergegas masuk. Satu tamparan tiba-tiba bersarang di bawah alisku, tubuhku terpelingsut ke dinding, berkali-kali sepak kaki ayah menghantam rusukku. Ia belum puas. Dijambaknya rambutku, lalu dengan sigap tangannya menerkam leherku. Akh….sukar aku bernapas. Cengkraman tangan ayah di leherku tertahan oleh jerit ibu yang sejak tadi menyaksikan upacara penyiksaan itu. Ia berpaling menghadap ibu, keduanya saling bersitatap. Kini, ibu yang menantang keberingasan ayah. Ibu dihajar habis-habisan, dihantam dari belakang hingga tubuhnya terjepit di sela-sela pintu. Kaki ayah yang akan menginjak-injak perut ibu tertahan oleh teriakan Ipun, Izen dan Iyen.

“Kalian memang anak-anak babi, tunggu giliran kalian! ”

“Jangan kuatir, semua babi di rumah ini bakal dapat jatah.”

Aku sudah tak berdaya, berdiri saja tak ada tenaga. Adik-adik pucat mendengar hardikan ayah. Mereka berlindung di samping ibu yang sudah tergeletak sambil merintih kesakitan. Ipun, Izen dan Iyen pun beroleh bogem mentah, jatah dari ayah, satu persatu terkapar. Sunyi seketika. Perlahan aku merangkak ke arah ibu. Lagi-lagi aku mengusap darah segar yang masih meleleh di pipinya. Ipun, Izen dan Iyen tergolek di samping ibu, entah pingsan, entah tertidur. Rasanya upacara ini sudah usai, ayah sudah tak ada. Ibu bangun, merapikan rambut yang acak-acakan, kami duduk berhadap-hadapan.

****

Kini, Kalupak sudah tiada. Entah di mana ayah mengubur bangkainya. Sejak kematian anjing pemburu itu, ayah tak pernah pulang menjenguk kami. Kami yatim, meski ayah belum mati. Lama-lama kami sadari, ada atau tidak adanya lelaki itu di rumah ini, sama saja, tak ada bedanya.

“Sebaiknya kita pelihara anjing pemburu yang baru, supaya rumah ini tidak terasa sepi,” begitu kata ibu suatu hari.

“Ya, tapi kita tebus dulu sawah yang tergadai untuk membeli Kalupak.” bantahku, sambil menatap kerinduan di mata ibu.

***

Kelapa Dua, 2007

Comments

Popular Posts