Sintren, Riwayatmu Kini…


Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

Data Buku : Sintren -novel, karya Dianing Widya Yudhistira, Jakarta : Grasindo, 2007

(Kompas, 30 Juli 2007)

Bilamana tabiat para sastrawan hanya sekadar menjalankan laku mimetik dan menggambarkan wajah realitas sebagaimana yang "tersurat" saja (bukan tersirat), karya sastra tentu saja bakal segera menjemukan, lekas lapuk dimakan waktu. Lagi pula, laku peniruan sukar dipertanggungjawabkan sebagai kerja kreatif yang selalu saja menyimpan obsesi-obsesi literer. Maka, pergulatan melahirkan karya sastra semestinya bergeser dari sekadar tiru-meniru realitas menjadi sebuah "ikhtiar" menciptakan realitas baru, bila perlu dengan cara meloncati atau "melampaui" realitas usang, merangsek masuk ke lorong-lorong permenungan yang tidak berhasil ditembus oleh para filsuf.

Barangkali, di titik inilah letak perbedaan antara jalan sastra dan jalan filsafat. Bila tradisi berpikir diskursif-spekulatif di medan filsafat senantiasa mengayuh biduk menuju hulu, tempat kebenaran bersemayam, sastra justru bersitungkin menggali lubang-lubang kemungkinan sebanyak mungkin agar pencarian itu tidak berlabuh pada wujud kebenaran yang bulat, dan tidak melulu tertumpu pada arche transendental yang tunggal dan tak sumbing sebagaimana yang hendak digenggam oleh filsafat. Filsafat begitu bernafsu dan menggebu-gebu ingin menggapai "semesta kepastian", sebaliknya, sastra malah tekun membukakan pintu-pintu "keserbamungkinan".


Watak literer yang terobsesi hendak membangun (setidaknya menawarkan) dunia baru dalam sastra sangat terasa pada novel Sintren, karya novelis muda Dianing Widya Yudhistira ini. Ia mempertentangkan dua sisi realitas dalam posisi saling membelakangi. Realitas pertama adalah dunia keseharian Saraswati, murid SD berparas ayu tapi terlahir dari keluarga miskin. Pada jam istiharat, ia lebih suka membaca buku di ruang kelas, sementara kawan-kawannya menghambur-hamburkan uang jajan di kantin sekolah. Jangankan beroleh uang jajan dari Mak, uang sekolah saja sudah menunggak tiga bulan. Kemiskinan itulah yang membuat ia selalu tergesa-gesa melucuti seragam seusai jam sekolah, lalu bergegas ke Klidang, membantu Mak yang bekerja sebagai buruh penjemur ikan.

Sementara realitas kedua adalah ruang dan waktu suprainderawi yang diselami Saraswati tatkala gadis bau kencur itu harus tampil sebagai penari sintren. Tubuhnya dibebat dengan berlapis-lapis pakaian, lalu diikat erat-erat dengan tali yang melilit sekujur badan sebagaimana kerap dijumpai dalam atraksi sulap tingkat tinggi, setelah itu ia dimasukkan ke kurungan ayam.Tak lama kemudian, Mbah Mo mulai melafalkan mantra-mantra gaib, hingga datanglah serombongan anak kecil menghampiri Saraswati. Mereka akan segera merasuki raga Saraswati untuk kemudian dilenggak-lenggokkan serupa anak-anak kecil sungguhan bermain boneka. Penonton bertepuk tangan dan bersorak sorai kegirangan menyaksikan sintren yang tiba-tiba muncul dalam keadaan sudah berdandan ala penari, memancarkan aura kecantikan yang membuat mata para lelaki enggan berkedip, pinggang langsing Saraswati meliuk-liuk, sampai tiba saatnya menagih saweran. Padahal, sesungguhnya, Saraswati tidak beranjak ke mana- mana, ia tetap duduk diam dalam kurungan, bahkan ikut pula menyaksikan lentik jemarinya berayun-berayun gemulai seiring irama gendang.


Peristiwa metafisis tatkala Saraswati menjadi sintren inilah yang dapat disebut sebagai salah satu lubang "keserbamungkinan" hasil galian pengarang dalam rangka membangun dan menawarkan realitas baru. Boleh jadi tidak ada pretensi pengarang untuk menonjolkan salah satu sisi dari dua dunia yang saling membelakang bulat itu.
Tetapi, "diam-diam" kekuatan teks seolah menyuarakan bahwa pengalaman supranatural dan adikodrati yang dialami Saraswati adalah sungguh-sungguh nyata. Senyata peristiwa ketika gadis kecil itu dipaksa menerima lamaran Kirman, anak juragan Wargo, di usia yang belum genap empat belas tahun (meski pernikahan itu gagal), senyata kemelaratan yang tak jemu-jemu menimpa keluarganya. Ketakmujuran itu pula yang membuat Saraswati terpaksa menjadi sintren agar ia tetap bisa sekolah. Membiayai sekolah dengan uang saweran.

Dunia sintren memang dunia gaib, asing dan tak kasatmata, selayaknya dunia pesugihan yang selalu menghendaki tumbal. Tumbal paling mula tentulah si penari itu sendiri. Betapa tidak? Sejak jadi penari sintren, Saraswati dengan lapang dada harus menerima kenyataan bakal kerasukan setan di setiap penampilan, harus pula pasrah pada "takdir" sintren yang cantik alang kepalang, tapi pantang disentuh laki-laki sebab dunia sintren menghendaki keperawanan abadi, tiada seorang laki-laki pun yang boleh menjamah tubuhnya. Tumbal selanjutnya tentu saja para lelaki yang mabuk kepayang dan tergila-gila ingin mempersunting Saraswati. Lihatlah riwayat peruntungan Dharma, Warno, Royali, dan Sumito, empat laki-laki yang pernah nekat mempersunting Saraswati, semuanya mati mengenaskan sebelum sempat mencicipi ranum tubuh sintren paling masyhur di Kampung Batang itu.

Namun, Saraswati sudah kadung menjatuhkan pilihan, tidak bakal sanggup ia melarikan diri dari kurungan gaib itu, mustahil ia berhenti jadi penari sintren. Saraswati siap menanggung segala akibat dari pilihannya, siapa melompat siapa jatuh. Sampai di titik ini, realitas yang tidak kasatmata telah menjelma dunia yang sesungguhnya, sementara keseharian Saras dengan Wati, Sinur dan teman-teman sekolahnya seolah-olah tidak nyata, seakan-akan fiksi belaka, begitu juga kesehariannya dengan Mak, Bapak, Lik Wastini, Lik Menur, dan juragan Wargo. Itu sebabnya Saraswati dengan berat hati menolak lamaran Sinur. Menerimanya sama saja dengan mempercepat kematian laki-laki pujaannya itu. Saraswati berusaha memercayai gejolak cintanya kepada Sinur adalah angan-angan saja, tidak nyata, karena yang paling nyata bagi gadis itu adalah dirinya sintren yang telah menelan banyak korban.


Hampir separuh dari kisah yang disuguhkan buku ini menyiratkan semacam kerinduan pada tarian sintren yang perlahan-lahan mulai punah di Batang, kampung kelahiran Saraswati. Dan separuhnya lagi menampakkan kelegaan setelah kematian Saraswati, pangkal segala bala, biang segala tumbal, musabab segala sial.

Laku bertutur Dianing memang tidak terlalu menggiurkan, datar, bersahaja, dan tidak pongah mempermainkan bentuk sebagaimana perilaku novelis muda lainnya. Alurnya lempeng, gampang ditebak, tidak berpilin-pilin. Tapi, justru dalam kesederhanaan itu keistimewaan novel ini mengemuka.

Meskipun pilihan tematiknya terbilang berat, setidaknya memerlukan penghayatan dan kepekaan tingkat tinggi, Dianing berhasil mengangkat sintren dengan menggunakan point of view masa kanak-kanak. Ia menghayati sintren seperti merindukan kenangan masa kecil yang begitu mengasyikkan.

Di tangan Dianing, jelajah prosaik yang "asing" sekalipun ternyata dapat tergarap dengan laku penuturan yang lugas dan terang-benderang sehingga buku sastra tidak melulu dinikmati oleh peminat sastra belaka, tapi juga digandrungi peminat buku-buku fiksi umumnya.

Barangkali, kebersahajaan dalam merancang kisah macam inilah yang selama ini terabaikan dalam kerja kreatif novelis-novelis kita yang kerap sumringah hendak melahirkan teks sastra simbolik, metaforik, bila perlu (sengaja) dirumit-rumitkan. Tapi, celakanya, sebagian besar buku sastra hanya dapat digauli oleh peminat sastra yang jumlahnya tak seberapa, seperti cemoohan bahasa iklan; jeruk makan jeruk…

Comments

Popular Posts