Menggagas Sejarah
dengan Timbunan Cerita


Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

(Media Indonesia, 01 Desember 2007)


Tak perlu diragukan bahwa gerak kepengarangan tak henti-henti memproduksi cerita yang siap dilepas ke pasaran, atau untuk sementara ditimbun, dan disimpan sebagai ‘stock cerita’. Tapi, tidak banyak pengarang yang terampil memayungi koleksi ceritanya dengan gagasan-gagasan besar. Sebutlah misalnya Dan Brown yang piawai menghubungkaitkan konstruksi ceritanya dengan alur hidup seniman besar, Leonardo Davinci, hingga novelis itu berhasil melahirkan The Davinci Code yang menggemparkan. Begitu juga dengan Matthew Pearl yang membingkai kisahnya dengan kepeloporan penyair, Dante Alighieri (1265-1321), hingga sukses mendedahkan The Dante Club, novel yang telah melambungkan namanya dalam kancah sastra dunia.

Rahasia Meede, novel karya pengarang muda, Es Ito ini, juga bertolak dari semangat membingkai kisah dengan gagasan besar sebagaimana dilakukan Dan Brown dan Matthew Pearl. Ia memayungi kisahnya dengan sejarah kartel dagang Belanda, VOC, sejak masa awal, masa kejayaan, hingga fase kebangkrutannya, 1799. Pusaran kisahnya berkisar di seputar perburuan harta karun VOC yang bermula dari kedatangan laki-laki misterius ke penginapan delegasi Indonesia untuk Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Kala itu, para juru runding Indonesia sedang dihadapkan pada pilihan sulit. Pihak Belanda menyodorkan klausul tentang pengalihan utang Hindia Belanda sebesar 4,3miliar gulden kepada Indonesia. Bung Hatta sudah mencari jalan tengah, tapi para perunding tak berhasil mencapai mufakat. Orang asing itu memberikan selembar kertas lusuh pada seorang delegasi, Ontvangen maar die onderhandeling. Indonesie heeft niets te verliezen! (Terima itu perundingan! Indonesia tidak akan rugi!), begitu ia berbisik.

Tentu saja Indonesia tak bakal rugi, sebab yang diserahkan laki-laki itu adalah dokumen rahasia berisi petunjuk tentang lokasi penyimpanan emas batangan milik VOC. Celakanya, dokumen itu raib, tak ditemukan di dalam peti dokumen KMB yang dibawa delegasi Indonesia. Inilah cikal soal setiap rangkaian cerita dalam novel setebal 671halaman ini. Tapi, pengarang tidak langsung menukik pada perburuan harta karun yang tertimbun selama lebih dari tiga abad itu. Es Ito malah membuka cerita dengan kasus pembunuhan berantai yang meninggalkan sejumlah tanda tanya besar. Dalam waktu kurang lebih lima bulan, ditemukan lima mayat yang semuanya terbilang orang penting. Mayat Saleh Sukira (ulama) ditemukan Bukittinggi, Santoso Wanadjaya (pengusaha) dibunuh di Brussels, Nursinta Tegarwati (anggota DPR) dibunuh di Bangka, JP Surono (birokrat) dibunuh di Boven Digoel dan Nono Didaktika (peneliti) dibunuh di Banda Besar. Wartawan harian Indonesiaraya, Batu Noah Gultom, mencurigai ini bukan pembunuhan biasa. Lima kali pembunuhan terjadi di kota yang selalu diawali huruf B (Bukittinggi, Brussels, Bangka, Boven Digoel, Banda Besar). Lebih jauh, Batu menyebut kasus ini dengan ‘pembunuhan Gandhi’. Sebab, di setiap tubuh korban selalu ditemukan pesan, antara lain ; peribadatan tanpa pengorbanan, perniagaan tanpa moralitas, politik tanpa etika, kekayaan tanpa kerja keras, dan sains tanpa humanita. Pesan-pesan itu adalah lima item dari ‘Tujuh Dosa Sosial’ dalam pemikiran Mahatma Gandhi. Andai dugaan itu benar, tentu akan ada dua korban lagi dengan pesan ; pengetahuan tanpa karakter dan kesenangan tanpa nurani. Anehnya lagi, setiap TKP pembunuhan adalah kota-kota yang pernah dikunjungi Bung Hatta semasa hidupnya. Jadi, pembunuhan itu merujuk pada dua nama tokoh penting ; Gandhi dan Hatta. Satu lagi gagasan besar meresap dalam konstruksi cerita novel ini.

Satu selubung misteri belum tersingkap, pengarang sudah merancang keterkejutan baru. Batu makin dipusingkan oleh penculikan Cathleen Zwinckel, mahasiswi universitas Leiden yang sedang melakukan penelitian tentang sejarah ekonomi kolonial di Jakarta. Sebelum diculik, Cathleen dititipkan oleh Prof. Huygens (pembimbingnya) di lembaga penelitian partikelir, Central Strategic Affair (CSA). Redaktur senior Indonesiaraya, Parada Gultom, juga hilang entah ke mana. Batu hampir memastikan bahwa dalang semua peristiwa itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut dirinya ; Anarki Nusantara. Sebelumnya, kelompok pengacau yang dipimpin Attar Malaka itu juga dituduh sebagai otak penyerangan bersenjata dan perusakan gedung di sebelah utara Jakarta.

Dalam membingkai suspense-fiction dengan latar belakang sejarah VOC, pengarang berani untuk tidak berjarak dengan realitas kekinian. Dengan leluasa, Es Ito menggiring pembaca ke dalam suasana Batavia di masa gubernur jenderal Cornelis J Spellman (1682) dan sepak terjang Monsterverbond (persekutuan rahasia yang mengendalikan VOC), lalu dengan sangat tiba-tiba ia mengungkap penemuan terowongan bawah tanah (De Ondergrondse Stad) di Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Terowongan itu diduga berujung di tempat penyimpanan dokumen rahasia tentang harta karun VOC yang hilang sejak 1949. Pada saat yang sama, Es Ito memotret suasana Jakarta hari ini, ia menyebut ‘Bis Transjakarta’, Mikrolet S-11 jurusan Pasar Minggu-Lebak Bulus dan KRL Bojongggede Ekspress. Realitas yang sangat ‘menyehari’ bagi warga Jakarta hari ini. Agak ganjil ketika Es Ito menghubungkan ‘pembunuhan Gandhi’ (peristiwa yang terjadi di tahun 2000-an) dengan harian Indonesiaraya, sementara harian itu sudah gulung tikar sejak 1980-an. Ini bisa merusak asosiasi pembaca dan mencemari nalar cerita.

Makin ke ujung, buku ini makin mengejutkan. Batu Noah Gultom ternyata bukan wartawan biasa, ia anggota intelijen militer yang menyusup di Indonesiaraya guna melacak persembunyian Attar Malaka (sebelum buron ia bekerja di sana). Saat menyelamatkan Cathleen dari penculikan, Batu mengaku polisi bernama Roni, padahal ia adalah Batu August Mendrofa, intelijen militer dengan nama sandi ‘Lalat Merah’. Sebenarnya Batu tahu pelaku penculikan Parada Gultom. Redaktur senior itu ‘diambil’ oleh orang-orang suruhan Darmoko, jenderal purnatugas, pemimpin ‘Operasi Omega’ untuk membasmi antek-antek Anarki Nusantara. Parada diinterogasi untuk mengorek informasi perihal keterlibatan Attar Malaka dalam penyerangan bersenjata, perusakan gedung, pembunuhan berantai dan penculikan Cathleen.

Batu yang sudah berhasil mengelabui orang-orang Indonesiaraya, menipu Cathleen, bahkan berhasil membekuk Attar Malaka, ternyata masih jadi pecundang dalam sebuah permainan yang lebih besar. Permainan itu dikendalikan Darmoko, orang yang ingin memiliki emas batangan warisan VOC untuk pembelian senjata guna melakukan gerakan makar. Suryono Lelono (CSA), Darmoko (Operasi Omega) dan Prof. Huygens (Oud Batavie) bersekongkol mengambinghitamkan kelompok Anarki Nusantara sebagai pelaku pembunuhan orang-orang bertato pasca kekisruhan di Jakarta Utara dan ‘pembunuhan Gandhi’, padahal pelakunya adalah Darmoko dan Suryo Lelono. Lima orang penting yang tewas mengenaskan itu dibunuh, sebab mereka terlalu banyak tahu tentang rencana besar Darmoko dan Suryo Lelono. Eksekutor ‘pembunuhan Gandhi’ seorang guru sejarah yang sangat terobsesi pada Hatta dan Gandhi. Ia bukan guru biasa, tapi mantan anggota intelijen militer yang pernah terlibat dalam Operasi Pidie dengan kode sandi ‘Melati Putih’. Sejak lama, ia di bawah kendali Darmoko, hingga berbalik melakukan kekerasan sebesar pesan perdamaian yang diusung Hatta dan Gandhi. ‘Melati Putih’ menerima pesan pembunuhan yang selalu mengatasnamakan Anarki Nusantara, padahal itu hanya akal bulus Darmoko. Dua sejawat sesama alumni SMA Taruna Nusantara, Batu dan Kalek alias Attar Malaka akhirnya bergabung untuk menggagalkan penggalian emas batangan di pulau Onrust. Attar Malaka berhasil menyelamatkan Cathleen sebelum Batu ditembak oleh anak buah Darmoko. Tak lama kemudian, Kalek menarik pemicu granat di dalam terowongan panjang yang setiap batu batanya berisi batangan emas.

Buku ini tidak berpretensi untuk disebut ‘novel sejarah’ sebagaimana dinobatkan oleh para komentator di sampul depan. Pengarang hanya membingkai kompleksitas cerita dengan detailitas sejarah Batavia Tempoe Doeloe. Setidaknya ada dua pilihan ; cerita atau sejarah? Atau ‘jangan-jangan’ kita memang lebih gampang membangun kesadaran sejarah bila ‘diumpan’ dengan sederet cerita. Apa mau dikata…




DATA BUKU

Judul : RAHASIA MEEDE
Penulis : ES.Ito
Penerbit : HIKMAH, Jakarta
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : 671 halaman

Comments

denyya said…
Uda,gimana cara menulis resensi sebagus ini...

Saya begitu menikmati tulisan uda di koran...

Salam...
Aha. Makasih ya Dhe...

dm
wiwien wintarto said…
salam kenal. resensinya keren. tp nggak saya baca dulu karena SPOILER ALERT!! hehe..
tapi bukunya emang keren punya. tunggu resensinya di blog saya. hari ini mbacanya baru sampe halaman 500
makasih mas.
Anonymous said…
saya baru saja siap membaca buku ini,seakan ini menceritakan tentang sejarah monas dan apa yang tersimpan sesungguhnya di jakarta,seakan semuanya begitu nyata.
tapi ada sedikit kesalahan dalam pengetikan,saya tidak ingat pada halaman apa,tapi disitu dituliskan kalau 3 peneliti asal belanda itu bernama erick,padahal yang masih hidup adalah robert.

Popular Posts