Pergolakan PRRI dalam Cerpen


Oleh: DAMHURI MUHAMMAD

(Kompas, Minggu 21/09/2008)



“SAYA hadir dalam pertemuan Dewan Banteng di Bukittinggi (1956). Malam itu telah mengubah wajah Sumatera Tengah, dan menyeretnya ke suatu medan laga mengerikan,” begitu pengakuan Soewardi Idris (1930-2004), satu-satunya jurnalis yang menyaksikan pertemuan rahasia tokoh-tokoh PRRI. Setelah itu Soewardi bergabung dengan PRRI, tiga tahun keluar-masuk hutan, hingga akhirnya “turun gunung” setelah mendapat amnesti dari pemerintah. Soewardi bukan “pembangkang” biasa. Ia wartawan, juga sastrawan—bukan tentara atau bekas tentara seperti pemberontak lainnya. Setelah lelah bergerilya, ia menukilkan asam-garamnya perjuangan PRRI melawan pemerintah pusat, tulisan-tulisan itu digarapnya menjadi karya sastra. Soewardi telah menulis novel Dari Puncak Bukit Talang (1964), dan dua antologi cerpen; Di Luar Dugaan (1964) dan Istri Seorang Sahabat (1964). Dua buku terakhir, baru-baru ini diterbit-ulangkan oleh penerbit Beranda (Yogyakarta, 2008) dengan tajuk Antologi Cerpen Pergolakan (senarai kisah pemberontakan PRRI).

Menurut kritikus HB. Jassin (1985), cerita tentang pemberontakan PRRI yang meletus pada 1958 itu tidak banyak, karena para pengarang menganggap pemberontakan itu kurang menarik, dianggap tabu, karena itu mereka takut membicarakannya. Beberapa cerpen karya A Bastari Amin memang menyinggung soal ini, juga sajak-sajak Mansur Samin, tapi hanya Soewardi Idris yang keseluruhan karyanya mengambil tema pemberontakan PRRI. Itu sebabnya Wisran Hadi (2008) hendak menyejajarkan kepengarangan Soewardi dengan AA Navis, khususnya dalam pilihan tematik; Pergolakan Daerah. Lagi pula, keduanya sama-sama berasal dari Sumbar dan masa kekaryaan mereka berada pada kurun yang sama.

Sisi menarik dari Soewardi adalah ketertarikannya yang begitu intens pada moralitas para pejuang PRRI, menjelang kegagalan gerakan itu. Semacam sisi lain dari individu-individu pemberontak yang tidak tercatat di buku-buku sejarah. Ia tidak membincang sebab-musabab pemberontakan itu, tapi menukik untuk sedalam-dalamnya mengekplorasi situasi mental para pejuang akibat perang saudara itu. Ia seperti hendak menakar berapa banyak istri yang telah menjanda lantaran suaminya tewas, berapa banyak anak-anak yang telah yatim lantaran bapaknya terbunuh, berapa banyak orangtua yang telah kehilangan anak lantaran terlibat dalam pergolakan. Karya-karya Soewardi banyak memaklumatkan “mudharat” ketimbang “maslahat” dari pergolakan itu. Kalah jadi arang, menang jadi abu.

Strategi literernya jauh dari pengisahan yang dramatik dan heroik sebagaimana teks-teks sastra yang menggambarkan kemelut perang. Ia pencerita yang memang sedang memikul, namun serasa tiada berbeban, karena kuatnya sense of humor dalam cerita-ceritanya. Cerpen “Di Luar Dugaan,” dapat mencontohkan keterampilan artistik yang unik dari cerpenis ini. Dikisahkan seorang pejuang PRRI yang mencegat kendaraan umum yang melintas di sekitar persembunyian mereka. Begitu bis berhenti, mereka mengepung, menurunkan semua penumpang, melucuti pakaian, merampas benda-benda berharga. Ini mereka lakukan karena penduduk setempat tidak sanggup lagi menyuplai logistik, sementara perlawanan tak boleh padam. Dalam kekalutan itu, Hadi (tokoh rekaan) berhadapan dengan seorang wanita yang sudah dilucuti pakaiannya. Ia berusaha membela diri dengan mengatakan bahwa kakak iparnya juga sedang berada di hutan, bergabung dengan PRRI. Hadi mengurungkan niat “menggarap” wanita itu setelah ia mengaku bahwa kakak iparnya itu bernama Hadi, asal Solok. Hadi gugup. Ia nyaris “menggagahi” perempuan yang tak lain adalah istri adik kandungnya. Inilah yang dimaksud dengan “kemudharatan” akibat pergolakan PRRI yang ditakar oleh Soewardi. Orang-orang yang semula teguh berpegang pada idealisme perlawanan, saat terdesak dan terkepung oleh APRI, bisa menghalalkan segala cara, dan tak segan-segan memerkosa gadis-gadis kampung di wilayah yang “konon” sedang mereka perjuangkan.

Akibat terlalu berani menyingkap mentalitas bobrok para pejuang PRRI, buku-buku Soewardi ditarik dari peredaran, master cetaknya dimusnahkan. Itu tidak datang pemerintah, tapi dari sejumlah mantan pejuang PRRI yang merasa dipermalukan. Tentang pemberangusan ini AA. Navis menulis “Tingkah Laku Bangsa Kita Mengganggu Penciptaan” (Kompas, 14/07/1981). Sejarahwan Taufik Abdullah juga mencatat, pada pertengahan dekade 50-an, Soewardi pernah diadili secara in absentia oleh sejumlah sastrawan Yogyakarta, karena karya-karyanya dianggap terlalu “terbuka”. Terbuka di sini tentu saja “jujur” atau dalam cemoohan khas Minang; “lurus-tabung”.

Sebaliknya, cerpen “Isteri Seorang Sahabat” (1964) memperlihatkan etos kesetiakawanan antar sesama pemberontak dalam keadaan terdesak sekalipun. Berkisah tentang “Aku” yang tercampak sebagai pecundang; gagal dalam perjuangannya, juga kehilangan istri. Karena tak kunjung pulang, Tini (istri tokoh “Aku”) menganggap suaminya sudah gugur, ia menikah dengan lelaki lain, lalu merantau ke Jawa. Sementara itu, “Aku” yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan Martunus, teman seperjuangannya, ditembak mati oleh APRI, berusaha menutup-nutupi kabar kematian itu pada Nani (istri Martunus). Ia bahkan berpura-pura menyerahkan titipan uang dari Martunus untuk Nani, padahal uang itu dari kantongnya sendiri, agar Nani teryakinkan bahwa suaminya benar-benar masih hidup. Namun, dari seseorang Nani beroleh kabar bahwa Martunus sudah tiada. Tapi kesedihannya berangsur-angsur hilang karena sejawat Martunus itu memberikan perhatian penuh pada Nani, juga pada anaknya. Nani ingin lelaki itu menggantikan posisi Martunus. Berkali-kali Nani bermohon, berkali-kali pula ia menolak ajakan menikah. Bukan karena tidak mencintai Nani, tapi karena ia tidak akan pernah mengkhianati sahabat karibnya sesama pejuang PRRI, Martunus.

Cerpen tentu bukan fakta sejarah, dan mustahil menjadi buku sejarah. Bila sejarah mengacu pada kepastian epistemologis (benar-salah, terjadi-tidak terjadi), sastra berkiblat pada pencapaian kualitas estetik yang tak perlu diverifikasi keabsahannya. Meski cerpen-cerpen Soewardi memuat sejumlah fakta keras tentang “sisi lain” pergolakan PRRI yang latar belakang dan tendensi politisnya masih diperdebatkan, itu hanya satu sudut pandang yang berbeda, yang lebih unik ketimbang perspektif sejarah yang dibebani kaidah keilmiahan, juga tendensi politis tertentu. Soewardi, lewat karya-karyanya, dengan cara yang bersahaja, memberi warna baru pada konsep historiografi perihal sejarah PRRI, agar tidak menjadi fakta yang baku dan beku, dan tidak disepakati secara tergesa.

Comments

Unknown said…
Pergolakan Birahi eh PRRI dalam Cerpen... Lebaran segera tiba. Maaf lahir-batin ya. Aku tak mudik kali ini, masih ngendon di Korea. Udara mulai membeku nih. Mudikkah?
Mohon maaf lahir batin juga pak.
Aku mudik, tapi setelah lebaran.
Aku di padang, mungkin agak lama.
Ada urusan keluarga dikit.
Tenkiyu pak
salam.. bertandanglah.. ada kopi dan ubi bermain kata..
janganlah segala dingin curiga pada reda
sebelum terbuka mata cahaya
ALFmalik said…
...saya sangat tertarik dengan novel-novel itu, orang tua saya juga berjuang bersama PRRI, beliau mengisahkan bagaimana keluar masuk hutan sejak di Sumatera Barat sampai Riau...lalu kemudian dipenjara beberapa waktu. Saya ingin menghadiahkan novel itu kepada beliau...mudah-mudahan bisa bernostalgia di masa tuanya...
Makasih apresiasinya bang.
kapan2 mungkin kita bisa ngobrol

Salam
Anonymous said…
bang, apa sering pulang ke padang? sesekali klo ke padang, singgah jugalah di fakultas sastra atau di kandangpadati. meski cuma sekedar minum kopi atau bermain kowa...he..he..
Saya jarang pulang bung.
Tp siplah, nanti kl ada kesempatan, ambo mampir.
Tenkiyu...

Popular Posts