IKHTIAR MENYELAMATKAN PUISI

Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

(Pikiran Rakyat, Minggu 17/5/2009)

SENI paling unggul adalah seni yang mampu membangkitkan hasrat-berkehendak setelah sekian lama tersumbat. Begitu ketegasan penyair mashur kelahiran Pundjab, India, Muhammad Iqbal, sebagaimana dikutip S.A Vahid dalam Iqbal, His Art & Thought (1916). Oleh karena itu, the dogma of Art for the sake of Art is a clever invention of decadence to cheat us out of life and power—dogma ‘seni untuk seni’ adalah sebuah rekayasa cerdas dari kebobrokan yang mengecoh dan menipu agar kita semakin terasing dari realitas kehidupan dan kekuatan—lanjut Iqbal lagi. Bagi penulis epos Javid Nama (1932) itu, seni harus menghayati manusia dan segala kehidupannya. Di samping memberi rasa nikmat, seni harus dapat memandu pikiran manusia. Demikian Iqbal menegakkan kepenyairannya, sebagaimana tercermin dalam Asrar-i Khudi (1915), Rumuz-i Bekhudi (1918), dan Payam-i-Mashriq (1923).

Tak disangsikan bahwa puisi adalah ekspresi estetik paling hulu. Induk segala bentuk ekspresi sastrawi, dan belum ada yang melampauinya. Itu sebabnya, penyair Arab tersohor, Adonis (Ali Ahmad Said), tak segan-segan menyejajarkan antara “jalan kepenyairan” dengan “jalan kenabian”. Baginya, penyair—dengan azwaq al-adaby (cita-rasa sastra) yang mereka genggam—sanggup menggapai anak-tangga paling puncak guna menangkap pesan-pesan profetik sebagaimana kemampuan nabi dalam menyambut risalah Tuhan yang bermuasal dari lauh-mahfuz. Bila filsuf Arab, Al-Farabi ((870-950) menegaskan bahwa derajat kenabian dapat diraih oleh manusia-manusia khawwas (khusus) berkat pencapaian mereka pada jenjang aql-fa’al (akal aktif), maka dalam batas-batas tertentu golongan penyair juga berlabuh di maqam itu. Bagi Adonis, “komunikasi nubuwwat” yang secara bulat-penuh disambut oleh sejumlah penyair Arab pra-kenabian, mampu mendedahkan sajak-sajak yang nyaris menyamai estetika qur’ani. Ada “lelaku kenabian” yang secara tak sengaja terbangun dalam proses kreatif mereka, sebagaimana lelaku kenabian yang dimiliki oleh orang-orang yang bakal terpilih sebagai pembawa risalah. Inilah puncak pencapaian para penyair Arab yang dalam catatan sejarah dikenal sebagai muallaqat (penyair-penyair terpilih yang sajak-sajak mereka digantungkan di dinding Ka’bah) dan muhazzabat (sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas). Thomas Patrick Hughes dalam Dictionary of Islam (1895) mencatat tujuh nama penyair Arab klasik yang lahir dari tradisi muhazzabat dan muallaqat ini, antara lain: Zuhair, Trafah, Imrul Qays, Amru ibn Kulsum, al-Haris, Antarah dan Labid. Di antara tujuh penyair itu, yang paling berpengaruh adalah Imrul Qays (wafat tahun 550 M), sebagaimana diakui oleh al-Ashma’i dalam al-Fuhul asy-Syuara’ (1971). Menurutnya, Imrul Qays pionir bagi para penyair “jahiliyah” lainnya. Ibnu Qutaibah dalam asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara (1969) mencatat, di masa selanjutnya, bahkan tokoh penting, Umar bin Khattab pernah memuji kepiawaian penyair ini. Khalifah kedua setelah Abu Bakar Siddieq itu bilang, Imrul Qays pencipta mata air puisi bagi para penyair di zamannya.

Imrul Qays memperlihatkan gairah pencarian terhadap kesadaran puitik yang sama sekali baru, setidaknya bila ditakar dengan langgam estetika puisi “jahiliyah”. Diterabasnya batas-batas, dilanggarnya tabu, dibangkitkannya hasrat-berkehendak yang selama berkurun-kurun tertimbun dalam ortodoksi dan kekolotan tetua-tetua kabilah Quraisy, dengan menciptakan metafora baru yang tanpa disadarinya ternyata melampaui konvensi-konvensi bahasa yang masih merujuk pada masa lalu. Aku naiki kuda dalam peperangan/bagaikan belalang/lembut gemulai/jambulnya tergerai menutupi wajahnya, begitu bunyi salah satu sajaknya. “Kuda” yang lazim digunakan sebagai simbol heroik dan kegagah-beranian di medan tempur antar suku, dialih-fungsikan menjadi pengamsalan yang dianggap janggal dan bermasalah di masa itu; simbol kejantanan laki-laki yang tergeletak sebagai pecundang di atas ranjang. Akibatnya, “kuda” itu bagai “belalang” yang gemulai, atau lemah syahwat, tepatnya. Selain itu, seperti dicatat Al-Marzabani dalam Al-Muwassiyah (1965), sajak-sajak Imrul Qays juga melanggar kelaziman struktur puisi Arab yang setiap baitnya tidak boleh saling bertentangan, setiap kata saling mengokohkan, hingga membentuk kesatuan makna yang utuh dan tak tergoyahkan—dalam terminologi sastra Arab disebut Qafiyah. Bagi Adonis, gairah kepenyairan para perintis genre sajak rasya’ (ratapan), ghazzal (erotik), dan madh (pujian) itu memperlihatkan rancangan realitas yang terus berubah (mutahawwil) sebagai antitesis dari ortodoksi, dan fanatisme tokoh-tokoh Quraisy yang stagnan, dogmatis, atau dalam bahasa Adonis as-tsabit (yang tetap).
Contoh sederhana ini kiranya dapat memaklumatkan betapa beratnya beban yang dipikul puisi. Ia mengemban desakan gerak transformasi sosial dan kultural dalam masyarakat yang melahirkannya. Sama halnya dengan tanggung jawab para nabi yang dengan teks-teks suci memikul risalah guna menyempurnakan watak dan moralitas umat. Maka, tidak ada alasan untuk bermain-main, apalagi mendistorsi martabat kepenyairan menjadi puisi-puisi yang hanya mahir berbicara tentang hujan, salju, embun, atau bunga mawar. Gagasan ganjil inilah yang menjadi pangkal-bala silang pendapat antara saya (Kesadaran Puitis & Politik (PR, 5/4) dan Yopi Setia Umbara (Dam, Dam, Dam, (PR, 19/4). Beberapa hari selepas esai saya diturunkan, dengan nada sinis, seorang sejawat penyair bertanya; “benarkah tuan mencintai puisi?” Tegas saya menjawab; “sepenuh hati.” Tapi, tampaknya itu belum dapat melenyapkan kecurigaannya pada saya, yang menurutnya tidak bulat-bulat menyukai puisi. “Tapi mengapa tuan bilang; apalah guna sebait sajak yang hanya mampu menggambarkan setetes embun yang jatuh di atas sehelai daun?” tanyanya lagi. Saya jadi maklum, ternyata kalimat itu telah membuat panas kuping seorang penyair. Ia tidak sedang bertanya, tapi menagih pertanggungjawaban atas kesembronoan saya, lantaran telah meremehkan pencapaian estetika dari puisi-puisi gemulai yang dibelanya itu. “Sebab, bagi saya, itu bukan puisi!” Begitu saya mengakhiri pembicaraan.

Antologi sajak Demonstran Sexy (2008) karya Binhad Nurrohmat yang menjadi cikal-soal perbantahan ini, bagi saya, dapat menjadi umpan yang jitu guna memancing penggalian yang lebih berkedalaman perihal nilai-guna puisi di tengah kebisingan suasana politis yang kian hari kian menyengsarakan. Bila Khudori Husnan (PR, 3/5) menimbangnya dengan hipotesis “bergerak bersama puisi”, saya hendak menegaskan; puisi—tidak hanya puisi Binhad, tentunya—adalah gerak (aksi) itu sendiri, sebab ia subjek yang aktif, bukan sekadar medium. Di tangan Binhad, puisi selekasnya mesti turun dari menara gading kepenyairan yang sejak lama dipuja-puji itu. Puisi harus merakyat, hidup berdampingan dengan rakyat, muasal puisi itu sendiri. Ini berarti puisi harus segera “diselamatkan” dari keterasingan lantaran keterikatannya pada kultus dan ritus, sebagaimana syair-syair Homerus di masa lalu. Walter Benjamin (1892-1940) filsuf Jerman terkemuka, pernah membincang perihal pudarnya basis-basis kultus dan ritual seiring dengan gelombang sekularisasi pasca-renaisance, yang di satu sisi memang mengakibatkan seni kehilangan autentisitas dan otonomi, tapi pada sisi lain, seni mampu mendedahkan emansipasi sosial tanpa harus bergantung pada ritus dan kultus itu. Menurut Benjamin, sesuatu yang menarik dalam peradigma baru sejarah seni itu adalah bahwa ruang kosong yang di masa lalu diisi oleh ritus dan kultus, dalam seni modern dipenuh-sesaki oleh praktik sosial lain, yakni: politik. (F.Budi Hardiman, 2007).

Maka, sejak itu, seni mengalami perubahan dari coraknya yang esoterik menjadi eksoterik. Seni mulai disuguhkan secara langsung pada “rakyat jelata”—meminjam ungkapan khas Binhad—dan tentu saja sarat dengan muatan politis, sebagaimana terlihat pada drama-drama karya Bertold Brect (1898–1956). Segala bentuk tabir yang selama berkurun-kurun telah mengaburkan makna puisi, harus selekasnya disingkap, dibuka selebar-lebarnya, agar ia dapat dimasuki oleh sebanyak-banyaknya “umat puisi”. Demonstran Sexy yang ditegakkan atas dasar kepekaaan politis demi tendensi praksis-emansipatoris—karena itu ia bermuatan politis—meski bukan tanpa persoalan, agaknya dapat menjadi langkah awal dalam ikhtiar “menyelamatkan” riwayat perpuisian kita yang akhir-akhir ini semakin tertimbun di lubuk keterasingan…

Comments

Popular Posts