Dari Gontor ke Trafalgar Square...


Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

Jawa Pos, Minggu 18/10/2009




BEBERAPA bulan lalu sebuah media melansir kabar perihal sinisme seorang pejabat—di lingkungan Pemprov Sumbar—terhadap etos kepengarangan novelis-novelis asal Minang yang katanya sedang merosot, sehingga mereka tidak mampu melahirkan karya-karya besar seperti "Laskar Pelangi", novel yang bisa membuat Belitong—kampung asal pengarangnya—tersohor hingga ke pelosok-pelosok. Ekspektasi petinggi itu terhadap “novel bermutu” dari para pengarang Minang dapat memicu sejumlah pertanyaan, misalnya, apa kriteria “karya besar” itu? Apakah novel yang berhasil menangguk apresiasi ratusan ribu pembaca, sehingga latar demografi dan geografi—sandaran kisahnya—menjadi termasyhur, dengan serta-merta dapat dinobatkan sebagai karya besar? Kalau begitu apa bedanya teks sastra dengan teks-teks dalam brosur-brosur yang diiklankan oleh biro perjalanan wisata? Bagaimana dengan novel yang sengaja menyamarkan latar tempatan? Apakah novel itu mustahil terkukuhkan sebagai karya besar?

Selain “karya besar” yang ditakar dengan ketersohoran latar tempatannya di kemudian hari, ada pula yang menimbang keberhasilan novel dari sisi “memotivasi” atau “tidak-memotivasi” pembaca. Kalau begitu, apa bedanya novel dengan buku-buku berjenis how to? Bagaimana kalau sebuah novel tidak berpretensi mempromosikan latar tempatan dan tidak berkecenderungan memotivasi pembacanya? Apakah novel itu tidak memenuhi “syarat-rukun” kenovelan, dan tak patut dikukuhkan sebagai buku bermutu? Inilah sejumlah kegamangan yang muncul akibat dominasi pendekatan non-artistik terhadap kreativitas literer. Akibatnya, unsur-unsur estetik dan artistik menjadi terabaikan lantaran pengalaman baca hanya sampai pada pencapaian pesan-pesan etik dan didaktik.

"Negeri 5 Menara", novel karya A. Fuadi ini memperlihatkan betapa dominannya parameter non-artistik dalam menentukan kualitas dan kedalaman sebuah karya sastra. Sampul belakang buku ini sarat dengan endorsement yang ditulis oleh nama-nama beken, dari mantan presiden, sutradara tersohor, gubernur, budayawan, intelektual hingga pimpinan pesantren. Hampir semua komentar itu menyingkapkan segi-segi etik dan didaktik dari novel setebal 416 halaman ini. Tak satupun ulasan dari sudut pandang estetika sastrawi. Apakah segi-segi estetik dan artistik yang sepatutnya menjadi kriteri utama dalam menimbang sebuah karya sastra tidak lagi penting?

Berkisah tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstra ketat di Pondok Madani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep) Said (Mojokerto) dan Baso (Gowa), bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses). Alif tidak pernah mengira bahwa ia akan jadi santri PM yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil ia ingin menjadi “habibie”. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat jenius, tapi sebuah profesi sendiri, lantaran ia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya Alif ingin masuk SMA, dan kelak akan melanjutkan pendidikannya ke ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan Alif menerima tawaran itu, hingga ia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juzz Qur’an sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga dengan Raja, Dulmajid, Said, dan Atang.

Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di PM, setelah itu mereka wajib berbicara dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Bila aturan dilanggar, ganjarannya tidak main-main, bila tidak digunduli, sekurang-kurangnya bakal dapat jeweran berantai. Bahkan bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Saking kerasnya kemauan para sahibul-menara untuk menguasai percakapan dalam kedua bahasa asing itu, gigaun dalam tidur mereka pun terungkapkan dalam bahasa Arab. Berkali-kali mereka tertangkap basah melanggar aturan, terlambat datang ke masjid—lantaran matanya yang sukar diajak kompromi—atau ketahuan berbicara dalam bahasa Indonesia, berkali-kali pula mereka harus menghadap ke "Qism Al-amni" (bagian keamanan pondok), diganjar hukuman dengan menjadi "jasus" (mata-mata bagi santri yang melakukan pelanggaran).

Dengan deskripsi ruang yang nyaris sempurna, A Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan humor khas pesantren ditandaskannya dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Tengoklah pelbagai alasan yang sengaja dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh ijin keluar PM, bersepeda mengelilingi kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren puteri, sekadar “nampang”. Begitu pula dengan siasat Dulmajid memengaruhi ustadz Torik agar beroleh ijin nonton bareng pertandingan final bulutangkis di lingkungan PM, padahal "Qanun" (aturan pondok) menegaskan, santri PM dilarang menonton TV. “Ustad, lob antum itu mirip sekali dengan punya Icuk dan smes antum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya kita tonton siaran langsung besok malam.” Ustad Torik langsung takluk, dan terjadilah peristiwa bersejarah itu: TV masuk PM. Satirisme macam ini mengingatkan kita pada kolom Emha Ainun Nadjib, "Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai" (1994) tentang seorang kiai pesantren yang bersikukuh melarang murid-muridnya mendengar lagu dangdut, tapi begitu alunan lagu yang mendayu-dayu itu sayup-sayup terdengar, di bawah meja, ujung kaki kiai bergoyang-goyang ritmik secara spontan.

Lewat satirisme khas kaum santri inilah segi-segi estetik novel ini dapat ditandai, hingga martabat kenovelannya tidak semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etiknya saja. Bukankah jalan sastra adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terhadap teks novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel ini. Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak bisa dielakkan, karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Pelbagai istilah yang dewasa ini berhamburan di bursa penjualan buku sastra seperti “novel pembangunan jiwa”, “novel spritual”, “novel motivasi”, termasuk “novel yang terinspirasi kisah nyata” sebagaimana termaktub di sampul depan Negeri 5 Menara ini, alih-alih dapat menjembatani novel ini dengan penikmatnya, justru akan mendistorsi estetika kenovelannya.

Tak dipungkiri bahwa di sebalik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman empirik, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi, dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh imajinasi, sehingga tidak bisa lagi dilihat dengan kaca mata hitam-putih, tidak bisa diukur secara positivistik. “Imajinasi” di sini bukan dalam pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab, Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya Ara’ Ahl Madinah Wa Al-Fadhilah menyebutnya "Quwwatul Muttakhilah", semacam potensi dalam subyek, yang berpijak pada pengalaman empirik dan penalaran (reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan “fantasi”—yang tidak perlu berangkat dari pengalaman inderawi, apalagi penalaran. Dalam epistemologi Al-Farabi, “imajinasi” dalam batas-batas tertentu bahkan dapat melampaui pencapaian akal-budi dan pengalaman empirik itu sendiri.

Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara, bukan lagi semata-mata dunia A Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London— setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu—telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo) dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konfrensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal mengenggam impian masing-masing. Yang mereka tahu hanya "man jadda wajada", siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses. Dulu memendam gamang di bawah menara masjid PM, kini girang-gemirang di bawah menara Trafalgar Square, London. Dulu menjual mengkudu, kini berdagang durian, dulu tidak laku, kini jadi rebutan...


DATA BUKU :

Judul : Negeri 5 Menara
Penulis : A.Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : 416 halaman

Comments

Unknown said…
doakan saya da, menjadi penulis asal minang berikutnya.. hihihii

Popular Posts