Para Pecundang dari Lampuki



Oleh: DAMHURI MUHAMMAD

(Kompas, 13 Nov 2011)


SEKALI LAGI, silang-sengkarut konflik Aceh masa silam membuahkan novel. Kali ini bertajuk Lampuki, karya Arafat Nur, yang ternobat sebagai pemenang unggulan dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta, 2010. Lampuki─dirujuk dari nama sebuah kampung di wilayah Pasai─adalah realitas remuk, lantaran trauma perang dan iklim ketertindasan yang bagai tiada pernah khatam. Berkisah tentang remah-remah militansi seorang pemberontak bernama Ahmadi. Bila sedang aman, lelaki kekar berkumis tebal itu turun gunung, menyulut nyala-gairah anak-anak muda Lampuki, dengan janji muluk perihal martabat dan kejayaan bangsa Aceh masa datang, bila terbebas dari “penjajahan” orang-orang seberang. Mulut besar si Kumis Tebal berbusa-busa, meneriakkan ajakan berperang di balai-balai pengajian, kedai-kedai kopi, dan Pasar Simpang. Namun, tidak banyak yang tergiur. Alih-alih mengamini, mereka malah sibuk mencari alibi. Sebagian besar orang-orang Lampuki rela membayar pajak ketimbang masuk hutan keluar hutan bersama laskar pimpinan Ahmadi. Ulah komplotan Ahmadi, yang kerap menyerang pos-pos penjagaan militer di sekitar Lampuki, telah sempurna menciptakan suasana mencekam, dan tentu akan semakin menakutkan bila suami atau anak-anak mereka bergabung dengan para pembangkang itu.

Inilah masa ketika militansi untuk terus menggenggam etos perlawanan di kalangan orang-orang Aceh telah surut─bila bukan padam sama sekali─yang habis-habisan hendak dieksplorasi Arafat Nur. Pesimisme akut itu digambarkan pengarang bukan dengan modus yang biasa, melainkan dengan cara menertawakannya. Menertawakan kepatuhan orang-orang Lampuki pada perintah Ahmadi untuk menutup semua sekolah, karena hanya mengajarkan kebodohan dan membutakan mata anak-cucu mereka pada situasi keterjajahan yang terus berlangsung. Mengolok-ngolok kemalasan mereka yang enggan masuk hutan guna menggarap ladang. Alasannya tegas, tentara bakal meringkus mereka sebagai pemberontak sebagaimana komplotan Ahmadi. Padahal, mereka memang malas tiada terkira. “Pesong” (bodoh), begitu narator menyebutnya.

Watak mendua akibat trauma perang begitu kentara dalam novel ini. Hayati, Laila, dan Rukiyah membenci Ahmadi setengah mati, tapi sekaligus juga menghormati si Kumis Tebal itu. Bukan saja karena ia satu-satunya laki-laki Lampuki yang masih terus menyalakan gairah perlawanan, tapi juga karena Ahmadi tidak banyak membuat keributan di sekitar Kampung Bawah, tempat keluarganya bermukim. Dengan begitu, Lampuki masih terbilang aman, dan mereka merasa terlindungi. Begitu pula keterbelahan persepsi terhadap Halimah (istri Ahmadi), yang tiada gentar mengutip pajak dari rumah ke rumah, bahkan dalam situasi genting sekalipun. Ia berani membentak dan mengancam bila ada warga yang mangkir membayar pajak. Halimah penyamar handal, ia leluasa lalu-lalang di depan pos jaga sebagaimana orang biasa, tak ada tentara yang mencurigainya sebagai antek pemberontak. Itu sebabnya, guru mengaji─narator yang diperalat pengarang di sepanjang novel ini─sesekali mengungkapkan nada penghormatan pada sosok perempuan licik itu.

Ada yang bermatabat dari yang keparat, ada yang terpuji dari yang dibenci, ada yang luhur dalam yang bejat. Lelaku estetik semacam inilah yang ditandai oleh Mikhail Bakhtin (1895-1975) dengan konsep “Carnaval.” Ada yang terang dalam yang gelap, ada riuh dalam sunyi, ada nyala dalam yang padam. Maka, narator novel ini bisa saja menggoda pembaca untuk berpihak pada Karim, si pedagang ganja, kaki-tangan Ahmadi. Karim melakoni pekerjaan itu demi menghidupi komplotan pimpinan Ahmadi yang tengah berlatih dalam hutan. Guru mengaji dengan senang hati menerima pemberian Karim, ia berdamai dengan sak-wasangka bahwa uang itu adalah hasil dari penjualan barang haram.

Ranah abu-abu tidak saja perihal orang-orang Lampuki, tapi juga berlangsung di pos-pos jaga hampir di semua penjuru Lampuki. Mereka dilanda kejenuhan laten lantaran ditugaskan begitu lama, dan saban hari terancam oleh serangan tiba-tiba. Tak sekali-dua sejawat mereka sesama tentara mati terjungkal dalam sebuah kontak senjata. Itu sebabnya, mereka membabi-buta, menghabisi siapa pun laki-laki yang berkumis tebal, meski tak pernah terpastikan apakah itu benar-benar Kumis Tebal yang mereka incar. Dalam sebuah penceritaan, narator meledek kebodohan sebuah regu tentara selepas menghabisi seorang laki-laki Lampuki yang ditengarai pemberontak, padahal korban hanyalah salah satu dari orang pesong di Lampuki. Lagi-lagi, muncul empati dari narator, perihal betapa tersiksanya tentara-tentara muda yang tiada tahu-menahu perihal konflik Aceh, tapi mesti menyabung nyawa saban hari, hanya karena mereka terpilih untuk dikirim ke Aceh selepas kejatuhan Soeharto, 1998.

Sekali lagi, pengarang memperlihatkan anasir-anasir luhur dalam yang keji. Dengan senjata di tangan, mereka memang bisa menghabisi siapa saja, tapi pada saat yang sama, mereka juga berada dalam situasi terancam sebagaimana orang-orang Lampuki. Dua muka narator ini mengingatkan kita pada kebimbangan Olenin saat bertugas sebagai tentara penjaga wilayah perbatasan Kaukasus, dalam novel Kazak (1863), karya Leo Tolstoy. Ia tegak-berdiri di wilayah antara; menggapai kehormatan bangsanya dengan cara membunuh, atau diam-diam berpihak pada kaum terjajah yang sedang mati-matian berjuang mempertahankan hak dan kedaulatan mereka.

Menimbang komposisi penokohan yang rata-rata bermuka ganda lantaran kegamangan akibat trauma perang berkepanjangan, sosok Jibral si Rupawan yang sejak mula hendak dipentingkan narator sebagaimana Ahmadi, Halimah, dan Karim, agaknya tidak begitu berhasil. Selain, perangainya bergonta-ganti pasangan, tiada terasa pijakan dan panggilan penciptaan yang tegas bagi kemunculan tokoh ini. Ada atau tiadanya Jibral, novel setebal 433 halaman ini tetap menjanjikan pengalaman baca yang tiada bakal tuntas dalam sekali duduk. Selain itu, bagaimanapun juga, dengan keterampilan literer yang sangat terukur dan memadai, Lampuki telah berhasil membendakan sebuah kesadaran bahwa perang hanya akan membuat yang kalah jadi abu, sementara yang menang bakal jadi arang...

Judul : LAMPUKI
Penulis : Arafat Nur
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 433 halaman

Comments

Wahyudi Sastria said…
Padat padat padat Tulisannya Mas Dam termsuk Kumpulan Esai, "Darah-Daging Sastra Indonesia" yang sudah mmberi banyak pencerahan, sip!
terimakasih perhatiannya, kawan

Popular Posts