Elegi Kafilah Lumpur



Oleh: DAMHURI MUHAMMAD

(Jawa Pos, 15/01/2012)




MENIMBANG kata “Lumpur” yang secara lugas dan tegas dipajang sebagai tajuk novel karya Yazid R Passandre ini, sepintas lalu barangkali dapat dibayangkan betapa meluap-meluapnya kekecewaan, sakit-hati, bahkan amuk-amarah ribuan keluarga korban lumpur Lapindo, yang hendak digambarkan pengarang. Namun, dugaan itu ternyata meleset. Novel setebal 471 halaman ini sekadar menukilkan tarikh dan riwayat sejumlah bocah di desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo. Akibat semburan lumpur panas yang hampir mustahil dibendung, mereka kehilangan tempat tinggal, arena bermain, dan gedung sekolah, tempat mereka membangun jembatan guna melesat ke masa depan.

Adalah Tanur, Senjah, Banjar, Panji, bocah usia sekolah dasar, yang selalu menjadi poros pengisahan, sekaligus menjadi sudut pandang jernih dan tanpa beban, yang digunakan pengarang guna memetakan akibat laten dari sebuah maha-bencana buatan manusia, hingga penduduk enambelas desa di tiga kecamatan harus kehilangan tanah tumpah darah, lahan sawah, dan nyala gairah guna melanjutkan hidup. Betapa tidak? Tengoklah nasib dan peruntungan Daya, janda muda yang tersia-sia selama berbilang tahun, hingga ia harus pontang-panting membanting tulang, bekerja demi menyekolahkan Tanur. Bocah yang merasa yatim─meski ayahnya belum mati─itulah harapan Daya satu-satunya, setelah suaminya pergi tanpa sebab yang dapat dimaklumi, setelah Mak Inah─tetangga baik hati yang sudah dipandangnya sebagai orangtua─dibunuh secara keji, setelah tubuh ranumnya nyaris diperkosa oleh begundal Parto, kaki-tangan Suro, kepala desa yang tak henti-henti membujuk agar Daya berkenan menjual sepetak tanahnya.

Tidak banyak yang berkelakuan manusiawi semenjak kedatangan orang-orang yang hendak mengeruk gas alam di kedalaman tanah Renokenongo. Kalaupun ada itu hanya armarhumah Mak Inah, tetua kampung yang paling teguh pendirian mempertahankan tanahnya, meski akhirnya ia membayar mahal perlawanan itu dengan nyawa. Ada pula Kiai Sola, yang dalam situasi miskin tak terpermanai, berani mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak Renokenongo. Juga ustadz Kasan, mubaligh melarat yang tiada bosan-bosan memompa semangat belajar pada Tanur, Senjah, Banjar, Panji, Sanip dan segenap anak-anak miskin di pinggir kali Porong. Perlawanan lunak (tanpa dukungan siapa-siapa) dari segelintir orang-orang lemah inilah yang selalu hendak dihadang oleh kepala desa Suro, yang telah berhasil menumpuk kekayaan semenjak bersekongkol dengan para pengusaha pengeboran gas alam.

Firasat tentang semburan lumpur panas sejak mula telah disuarakan oleh Mak Inah, bahwa akan datang suatu masa ketika Renokenongo ditenggelamkan oleh danau lumpur, dan oleh karena itu ia meminta pada segenap warga Renokenongo untuk jangan sekali-kali tergiur oleh rayuan muluk Suro dan para begundal peliharaannya. Kepala desa itu tak lebih dari pejabat kemaruk yang diperalat oleh tuan-tuan berduit yang hendak mengeruk keuntungan di kampung mereka. Tersiar pula sejumlah hikayat perihal “naga lumpur” yang bila tersentuh mata bor bakal mengamuk, lalu menyemburkan lumpur panas yang tiada bakal dapat dihentikan hingga wilayah Porong dan sekitar bakal menjadi selat yang memisahkan Surabaya dan Pasuruan. Mitos-mitos semacam itulah yang selalu menjadi duri dalam daging bagi Tanur dan kawan-kawannya.

Sementara itu, Suro dan para kaki-tangannya tak henti-henti bersiasat agar semua orang Renokenongo bersenang hati melepas tanah mereka, lalu hengkang dari permukiman itu. Ustadz Kasan dan Daya difitnah telah melakukan perselingkuhan keji hingga warga mengusirnya dari kampung itu. Tanur meringkuk di kantor polisi lantaran tuduhan palsu sebagai pelaku pembunuhan Mak Inah. Tapi, semua muslihat Suro akhirnya tiada berguna setelah Renokenongo digemparkan oleh peristiwa semburan lumpur panas di salah satu titik pengeboran, dan dalam waktu singkat membuat perkampungan mereka tenggelam. Maka, dengan berat hati mereka harus meninggalkan rumah, sawah, dan segala kenangan tentang kampung halaman. Tanur, Banjar, Panji, Sanip, Daya, Ustadz Kasan menamai iring-iringan pengungsian mereka dengan “Kafilah Lumpur”, rombongan orang-orang yang telah kehilangan tanah tempat lahir, berjalan dengan langkah-langkah berat dan perasaan terhina.

Buku ini sama sekali tidak berpretensi mengungkap data-data perihal jumlah rumah yang tenggelam, harta benda yang tak terselamatkan, tidak pula tentang perdebatan sengit apakah semburan lumpur itu bencana alam atau petaka akibat kelalaian manusia. Pengarang hanya menghidangkan semacam alegori dengan membangun peristiwa-peristiwa sederhana namun ironis, ketika Ustadz Kasan harus berhadapan dengan pertanyaan kanak-kanak Tanur dalam setiap pengajian di musholla. “Apakah pemerentah yang ingkar janji dapat disebut pemerentah munafik?”, “Apakah peraturan-peraturan dari pemimpin munafik tetap harus dipatuhi?” Seolah-olah hendak menyentil tokoh-tokoh terkemuka di sekitar wilayah bencana, yang semestinya turun-tangan memperjuangkan ganti-rugi bagi mereka, tapi entah karena sebab apa, mereka diam dan berpangku tangan. Pertanyaan Tanur muncul ketika beasiswa pendidikan bagi anak-anak miskin Renokenongo dari pemerintah diulur-ulur pencairannya oleh Suro. Lebih parah lagi, kepala desa bahkan menggunakan beasiswa itu sebagai umpan agar Daya menyerah dan mau menjual tanahnya. Begitu pula peristiwa ringan dalam sebuah perlombaan layang-layang di Renokenongo. Tanur dan kawan-kawan membuat layang-layang bertulisan: “antikorupsi” hingga Suro mencak-mencak. Dan, yang paling berkesan adalah peristiwa pengibaran bendera merah-putih setengah tiang di atas tumpukan lumpur, yang lagi-lagi dilakukan oleh anak-anak bau kencur dari kampung yang telah tenggelam itu.

Kehadiran Garin yang tiba-tiba di ujung kisah agaknya mengganggu kompleksitas pengisahan yang telah dirangkai sedemikian ketat dan bulat. Sebagai sosok pahlawan yang mengembalikan anak-anak korban lumpur ke lingkungan sekolah, barangkali tidak ada persoalan. Namun, menghubungkaitkan Garin dengan Daya atas dasar romantika masa lalu, rasanya terlalu dipaksakan, sebab porsi penceritaan sosok Garin di bagian awal hampir tidak ada. Muncul kesan ada mata rantai penceritaan yang terputus. Terlepas dari kejanggalan itu, buku ini adalah novel pertama yang menegaskan panggilan penciptaannya dari malapetaka lumpur Lapindo, atau yang belakangan hendak dialih-istilahkan menjadi “lumpur-Sidoarjo”. Pengarang sedapat-dapatnya berupaya membendakan sebuah peristiwa besar tentang kampung yang telah terbenam untuk selama-lamanya. Kelak bila sudah dewasa, anak-anak korban lumpur Lapindo tentu dapat menziarahi tanah kelahiran mereka dengan mengunjungi “museum kenangan” penuh elegi, yang termonumentasi sedemikian rupa dalam novel ini.


Data Buku

Judul : LUMPUR
Penulis : Yazid R. Passandre
Penerbit: Tonggak, Yogyakarta
Cetakan : I, November 2011
Tebal : 471 halaman

Comments

Popular Posts