Dahlan dan Sepatu Peradaban




Inilah kisah tentang sepatu. Kisah perihal cita-cita sederhana seorang bocah dari keluarga miskin di pelosok Magetan, Jawa Timur, yang ingin memiliki sepasang sepatu. Mengingatkan kita pada kemauan keras seorang siswa sekolah dasar di Iran guna mendapatkan sepatu, dalam film The Children of Heaven (1997), karya Majid Majidi. Berbeda dari film asing berdurasi pendek itu, Sepatu Dahlan adalah novel panjang yang diangkat dari tarikh kemiskinan masa silam seorang menteri bersahaja, yang dalam pertemuan-pertemuan penting sekalipun, tetap melenggang dengan sepatu kets, bahkan saat menghadap presiden di istana negara.
Ia adalah Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group, yang kemudian dipercaya menjadi Dirut PLN, dan kini berlabuh di kursi menteri BUMN.  Dahlan tak henti-henti menjadi perhatian, bukan karena dugaan korupsi sebagaimana yang menimpa sejumlah pejabat teras di republik ini, melainkan karena prestasi kerja, komitmen dan ketegasan sebagai pemimpin kementerian strategis, dan etos kebersahajaan yang dipandang nyentrik di kurun yang silau oleh budaya ewuh-pakewuh dan basa-basi. Dahlan satu-satunya menteri yang nyaris ditolak oleh paspampres sebelum memasuki ruang rapat kabinet di istana Bogor, lantaran ia datang dengan ojek. Untunglah seseorang tergesa meneriakkan bahwa laki-laki yang baru turun dari ojek itu adalah seorang menteri. Dahlan pula menteri yang bisa lahap menyantap soto atau gado-gado di warung kaki lima, dan menginap di rumah warga dalam sejumlah kunjungan kerja, yang tentu jauh dari fasilitas, apalagi layanan bagi orang sekaliber menteri.  
            Dikisahkan, sejak duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat) hingga tsanawiyah dan aliyah di pesantren Sabilul Muttaqien, Takeran, Dahlan bersekolah tanpa sepatu alias nyeker. Mungkin itu sebabnya, segala bentuk ikhtiar guna mendapatkan sepatu menjadi perhatian utama novel setebal 369 halaman ini. Cerita dibuka dengan ketegangan sebelum Dahlan menjalani operasi transplantasi hati lantaran penyakit liver yang dideritanya. Masa lalu  yang kembali terngiang dalam kenangan Dahlan setelah suntikan pembiusan menjadi pintu masuk bagi pengarang guna menyingkap detail-detail riwayat masa kecil Dahlan;  sejumlah peristiwa memalukan di kebun tebu, keinginan bersekolah di SMP Magetan (bukan di pesantren Takeran), horor sumur tua Cigrok¾tempat pembuangan mayat di masa kuasa PKI Madiun 1948¾dua ekor domba yang direlakan sebagai ganti-rugi sepeda teman yang rusak, kematian ibu yang sangat tiba-tiba, dan tentu saja; keinginan besar untuk memiliki sepatu.
            Dalam sebuah diskusi, Khrisna Pabichara mengakui penulisan novel ini terbilang sangat bergegas, karena penerbit tampaknya tidak mau kehilangan momentum. “Mumpung tokohnya sedang bertabur bintang”.  Meski begitu, hingga resensi ini ditulis, angka penjualan Sepatu Dahlan terus melejit  dan sudah memasuki memasuki cetakan keempat. Seorang pembahas dalam perbincangan yang lain, dengan nada sinis mengatakan; “Sepatu Dahlan laku keras bukan karena mutu kenovelannya, tapi karena jaman telah memilihnya, sebagaimana jaman memilih Jokowi ketimbang Foke dalam pilkada DKI”. Ada benarnya sinisme itu, sebab pola-pola penceritaan yang dirancang pengarang rasanya terlalu biasa, bahkan pada bagian-bagian tertentu terlalu memaksakan. Suasana pesantren Sabilul Muttaqien, 1961, yang lebih banyak dideskripsikan dengan sepak-terjang dan kebolehan Dahlan sebagai pemain inti dalam tim bola Volly mengesankan suasana pergaulan antarsantri di lingkungan pesantren masa kini. Sama sekali tidak tercium aroma kitab kuning, ungkapan-ungkapan khas bahasa Arab yang di masa itu tentu amat kaya dengan rujukan ilmu bayan, ma’ani, dan badi’.  Lebih dari separuh novel ini dihabiskan oleh pengisahan tentang Dahlan, Kadir, Fadli, Arif dalam tim bola Volly pesantren Takeran, yang bila kurang sabar, akan sangat menjemukan.
Tengok pula peristiwa kedatangan juragan Akbar ke rumah orangtua Dahlan setelah Dahlan dituding merusak sepeda Maryati, teman sekolahnya. Entah karena penuh tanggung jawab atau karena tersinggung, ayah Dahlan  menyerahkan dua ekor domba sebagai ganti rugi. Ayah Dahlan sanggup membayar ganti rugi sepeda dengan harga mahal, tetapi kenapa ia begitu enggan membelikan sepatu bagi anaknya? Padahal, jarak antara Kebon Dalem dan Takeran lebih kurang 12 km perjalanan pulang-pergi. Bisa dibayangkan betapa melepuhnya kaki Dahlan karena nyeker setiap hari. Muncul kesan bahwa cita-cita memiliki sepatu yang tak kunjung kesampaian bukan karena etos berhemat keluarga Dahlan, melainkan karena kepentingan hendak membangun efek dramatik cerita. Bukankah Dahlan punya kakak perempuan bernama Shofwati yang sedang berkuliah di Madiun? Sebagai wakil dari tokoh terdidik, tentu tidak mungkin Shofwati membiarkan adiknya nyeker selama bertahun-tahun. Setidaknya ia bisa meyakinkan orangtuanya bahwa sepatu lebih penting dari sepeda.
            Diceritakan pula bahwa Dahlan adalah anak yang kerap melampiaskan penyesalan dan kekecewaan pada lembaran-lembaran buku diary. Di era tahun 60-an, mungkinkah seorang anak miskin, yang saban hari disibukkan oleh pekerjaan mengembalakan domba dan karena deraan kelaparan kerap tertangkap basah mencuri tebu, bisa akrab dengan buku harian? Rasanya jauh panggang dari api. Meski begitu, hampir di setiap bab, pengarang menyelipkan kutipan catatan harian Dahlan, hingga muncul kesan bahwa pola-pola semacam itu tampaknya telah menjadi siasat pengarang tatkala kehabisan bahan, sebagaimana yang sering ditemukan dalam novel-novel yang pengarangnya terobsesi untuk sekadar menjadi buku tebal, supaya tampak rinci dan serius.
Romantika masa muda Dahlan yang menjatukan pilihan pada Aisha, anak gadis mandor perkebunan tebu agaknya dapat menjadi penggalan kisah yang dapat membuai pembaca, meski waktu penceritaan tidak terbuhul sebagaimana mestinya. Perpindahan waktu dari masa tsanawiyah ke masa aliyah meloncat begitu saja, tanpa menyuguhkan peristiwa-peristiwa yang dapat menjembataninya. Aisha yang menyatakan cintanya pada Dahlan lewat surat yang sekaligus berpamitan karena gadis itu akan berkuliah di Yogyakarta, cukup mengagetkan. Sebab, narasi tentang hubungan mereka hampir semuanya terjadi ketika sekolah Dahlan masih di tingkat tsanawiyah dan Aisha masih di SMP Magetan.
Memang tidak gampang menulis novel dari riwayat seorang tokoh yang sedang berkilau cahaya. Pengarang bisa terjebak dalam ungkapan-ungkapan prosaik bergelimang decak-kagum, atau terancam oleh kemarahan lantaran menyingkap hal-ihwal tak terlihat yang boleh jadi mencemari keterpujian tokoh tersebut.  Khrisna Pabichara tampaknya telah selamat dari dua jebakan itu. Dahlan akhirnya meraih cita-cita punya sepatu. Dengan sepatu baru ia meninggalkan Kebon Dalem, bertolak menuju Samarinda, menyongsong masa depan. Tapi anehnya, sejak itu, dan sebagaimana Dahlan Iskan masa kini, justru tidak memperlakukan sepatu sebagai pertanda pencapaian, tapi sebagai lambang kesederhanaan. Dalam sebuah perbincangan, seorang teman menyebutnya; sepatu peradaban…            

DATA BUKU
Judul        :  Sepatu Dahlan
Penulis    :  Khrisna Pabhicara
Penerbit  :  Noura Books, Jakarta
Cetakan :  I,  Mei 2012
Tebal      :  369  halaman

   

Comments

haris said…
momentum. “Mumpung tokohnya sedang bertabur bintang”, ini harus menjadi salah satu ketentuan yang harus dipenuhi dalam berkarya.

salam

Popular Posts