Rumah Amplop
cerpen Damhuri Muhammad
(Jawa Pos, Minggu, 19 Mei 2013)
Di
masa kanak-kanak, rumah kami
selalu kebanjiran amplop. Ruang tamu, laci-laci ruang kerja papa, lemari
pakaian mama, hingga rak-rak dapur, penuh-sesak oleh amplop dari berbagai rupa,
warna, dan ukuran. Setelah mama dan papa mengamankan isi dari amplop-amplop
yang berserakan itu, kami akan melepaskan lipatan-lipatan kertasnya, lalu mengguntingnya
sesuai pola-pola yang kami sukai. Dari potongan-potongan kertas bekas amplop
itu kami gemar membentuk huruf-huruf, yang kemudian tersusun sebagai R-E-I-N-A
(mama), S-U-K-R-A (papa), dan nama-nama
kami sendiri; Abim, Amru, dan Nuera. Sepulang sekolah, sepanjang hari, kami asik
menggunting-gunting kertas-kertas bekas amplop, hingga suatu hari kami bersepakat
memberi nama tempat tinggal kami dengan “rumah amplop”. Rumah tempat beralamatnya
amplop yang datang dari berbagai penjuru. Rumah yang makin bercahaya, seiring
dengan makin berhamburannya amplop ke dalamnya.
Barangsiapa
yang dengan sadar dan sengaja menaruh uang alakadar di amplop yang bakal
diantar ke rumah kami, akan membuat papa jadi murka. Urusannya pasti panjang,
dan tentu akan dipersulit. Izin proyek bakal terganjal. Meskipun begitu, setiap
amplop yang sudah tergeletak di rumah kami, mama dan papa pantang mengembalikannya, hingga pada suatu ketika, para pengirim
amplop itu menyebut kami sebagai keluarga kecil pemakan segala. Besar kami
makan, kecil juga kami telan. Seolah-olah mulut mama dan papa begitu besar,
bagai mulut buaya lapar yang senantiasa menganga, menyambut kedatangan
amplop-amplop, tapi selama bertahun-tahun tak pernah mengenyangkan perut
mereka.
Bila jalan-jalan di setiap sudut kota
rusak dan berlubang, bahkan ada yang sudah tak layak tempuh, itu bukan karena
ulah mobil-mobil besar yang kerap melindasnya, tapi karena mobil-mobil kecil. Betapa
tidak? Setiap kali papa terlibat dalam proyek pembangunan jalan, mama akan merengek-rengek
manja minta hadiah mobil mewah keluaran terbaru. Dan, atas nama cintanya, diam-diam
papa akan memerintahkan pemborong untuk menipiskan aspal yang mestinya tebal,
memendekkan jalan yang seharusnya panjang, merapuhkan yang semestinya kokoh,
dan semua hasil penyunatan anggaran itu ia gunakan untuk membeli mobil mewah
permintaan mama. Bukankah sedan itu mobil berukuran kecil? Nah, itu sebabnya
kami katakan bahwa yang merusak jalan bukan truk atau bis, tapi koleksi mobil
mewah yang kini terparkir di garasi rumah kami. Papa punya Jaguar, Nuera punya
Alphard lengkap dengan sopir pribadi, Abim punya Range Rover, Amru punya Jeep
Rubicon, dan mama punya Mercedes Benz.
***
Dulu,
papa orang baik-baik. Anak patuh. Cerdas. Jujur. Bertanggungjawab. Setidaknya
begitu cerita yang kami dengar dari salah seorang kerabat saat kami diajak pulang kampung. Namun, selepas menyandang
gelar sarjana dari sebuah universitas ternama, nenek dan kakek terus-menerus
mendorong agar ia bisa menjadi pegawai negeri sipil. Sebab, di kampung papa,
cita-cita menjadi abdi-negara hampir-hampir sama mulianya dengan cita-cita
masuk sorga di akhirat kelak. Selain hidup bakal terjamin, barangsiapa yang
telah mengantongi SK pegawai negeri sipil, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
selekasnya naik-kasta. Dari keluarga yang biasa-biasa saja, berubah menjadi
keluarga yang berlimpah puji dan puja. Oleh karena itu, nenek melelang harta-benda, tiga kapling tanah
warisan, lima bidang ladang, mengumpulkan uang pelicin guna meluluskan anaknya
sebagai pegawai negeri. Menggunakan segala cara adalah sah demi cita-cita luhur
itu.
Menurut
Wak Odang (kakak kandung nenek), sejak peristiwa suap yang dilakukan secara
buka-bukaan itu, silsilah papa sebagai orang baik-baik dipenggal. Watak
kebaikan dalam diri papa telah
disembelih. Bukan oleh orang lain, tapi
oleh ibu-bapaknya sendiri. Tak lama selepas
nenek menjual tanah warisan, lalu
menyuap pejabat yang berwenang, terjadi perselisihan hebat antara Wak Odang dan keluarga papa, yang hingga
kini hampir-hampir tak terdamaikan. Dulu, Wak Odang amat bangga pada prestasi-prestasi
yang diraih papa. Betapa tidak? Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah,
keponakan kesayangannya itu selalu terpilih sebagai siswa teladan. Predikat
juara umum tak pernah lepas dari tangannya. Begitu pula ketika papa menjadi
mahasiswa di kampus terkemuka di Jawa. Setiap pencapaian terbaik papa senantiasa
menjadi tauladan bagi anak-anak Wak Odang. “Sukra satu-satunya anak kampung
kita yang bisa diterima di perguruan tinggi terkemuka di Jawa,” begitu Wak
Odang memujinya.
Wak
Odang marah besar lantaran perbuatan
menyuap yang dilakukan adik kandungnya, guna meloloskan papa menjadi pegawai
negeri.
“Maaf,
Bang, ini kesempatan kita. Bila tidak sekarang kapan lagi? Mumpung ada yang
bisa membantu,” dalih nenek waktu itu.
“Kesempatan
untuk menjerumuskannya, maksudmu?”
“Demi
masa depan Sukra, Bang!”
“Tahu
apa kau soal masa depan? Ia bisa mencapai lebih dari apa yang kalian
bayangkan!”
“Maaf,
kami sudah sepakat, Bang!”
“Bersekongkol
untuk menghancurkan masa depannya? Tak akan selamat hidupnya. Yang bermula dari
ketidakjujuran akan berakhir dengan ketidakjujuran pula. Tanggunglah akibatnya
nanti!” bentak Wak Odang.
Selepas
perseteruan itu, Wak Odang tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarga papa. Lantaran
tidak berhasil membendung ambisi nenek dan kakek, ia mundur teratur. Apapun
urusan keluarga besar papa ia tak pernah ikut campur lagi. Kakak-beradik telah
pecah-kongsi, sudah berkerat-rotan, begitu orang-orang kampung menyebutnya. Sukra,
keponakan yang sangat disayanginya, dibanggakannya, kini harus dilupakannya.
Setinggi apapun pangkat dan golongan papa, sebesar apapun pengaruh papa, seberapa
pun melimpahnya kekayaan papa, Wak Odang tiada pernah tergiur. Tanah warisan
dan ladang yang dulu terjual kini memang sudah diganti, nenek dan kakek sudah
dinaik-hajikan, rumah di kampung direhab hingga menjadi begitu megah untuk
ukuran rumah kampung, karib-kerabat yang sedang terpuruk hidupnya terus disantuni.
Sudah tak terhitung banyaknya bantuan dan sumbangan yang diberikan papa untuk
orang-orang di kampung. Sekolah dibangun, masjid direnovasi, jalan diperbaiki,
hingga nama papa begitu harum. Dermawan, pemurah, dan baik hati. Meski berkarir
di kota, menjadi orang besar dan kaya-raya, papa tak lupa pada tanah asal.
Namun,
tidak demikian halnya dengan Wak Odang, yang nyaris tak pernah berubah
nasibnya. Tubuhnya perlahan-lahan remuk digasak penyakit tua. Dirawat istri dan
anak-anaknya dengan pengobatan seadanya. Berkali-kali papa dan mama datang
mengunjunginya, menawarkan bantuan, agar Wak Odang dapat berobat secara layak,
tapi ia selalu menolak. “Ajalku akan lebih cepat bila berobat dengan uang subhat-mu itu,” kata Wak Odang sambil
terbatuk-batuk. Ia benar-benar telah menutup segala pintu bagi papa, keponakan
kesayangannya. Sepeser pun Wak Odang tak sudi mencicipi kekayaan papa. Wak
Odang seolah-olah tahu dari mana sumber keberlimpahan di rumah amplop kami. Di
matanya, kami lebih kotor dari najis, yang akan membatalkan wudhu’nya. Kami sangat malu bertemu dengannya.
***
Namun,
rumah amplop kini sudah sepi. Tiada pernah kedatangan amplop lagi, sebagaimana
dulu. Kemarau dari riuh suara masa kanak-kanak kami. Barangkali ia sudah tak
layak disebut rumah amplop. Entah ke mana menghilangnya huruf-huruf dari bekas
kertas amplop, mainan masa kecil kami. Mungkin sudah dibuang mama, lalu masuk
ke karung-karung para pemulung. Sudah lama kami tak menginjakkan kaki di sana.
Penghuninya hanya mama, satu orang pembantu, dan seorang tukang kebun. Setahun
lalu, papa mengajukan permohonan pensiun muda. Ia ingin berkiprah membangun kampung
halamannya. Sebagai putra daerah, papa ambil bagian dalam pemilihan Walikota.
Dari desas-desus yang kami dengar, papa disebut-sebut sebagai calon kuat. Tim
sukses dan para simpatisan berani menjamin kemenangan papa, tapi dengan satu
persyaratan ringan; ia harus punya istri
dari tanah asalnya sendiri. Agar predikat papa sebagai putra daerah semakin
sempurna, hingga dapat menangguk sebanyak-banyaknya suara. Maka, tanpa
ragu-ragu, papa mempersunting gadis desa bernama Nurjannah, seusia anaknya.
Berbuih-buih mulut papa meyakinkan mama bahwa pernikahan itu tak lebih dari
pernikahan sandiwara demi mendulang suara, agar ia memenangkan pemilihan Walikota.
Entah karena jengkel, atau barangkali karena sangat maklum pada watak kemaruk
papa, mama menyikapinya dengan amat santai. “Silahkan saja. Tapi sebaiknya kita
berpisah saja!”
Sebagai
Walikota terpilih, kini papa menggandeng Nurjannah, perempuan muda itu, ke
mana-mana. Bukan saja dalam urusan-urusan kedinasan, tapi juga urusan
bersenang-senang dan berbelanja ke Jakarta. Bersama istri muda, papa membangun
“rumah amplop” kedua dalam sejarah hidupnya. Ganjilnya, mama sama sekali tak
terguncang oleh kegilaan papa. Lagi pula, tampaknya mama sudah bosan menjadi
istri dari suami yang setiap hari disumpah-sumpahi banyak orang. Kami pikir
inilah kesempatan mama melepaskan diri dari genggaman papa. Kami, anak-anaknya,
sudah dewasa. Sudah punya dunia masing-masing.
Mama
tak ingin ke mana-mana, ia hanya ingin istirahat di kota ini, di rumah amplop
ini, dan pensiun sebagai istri birokrat keparat. Aku, Abim, dan Amru juga tak menggubris
pernikahan papa. Amru, adikku, hanya bilang: “silsilah Papa sebagai lelaki
setia telah terpenggal sejak ia menceraikan Mama.” Itu mengingatkan kami pada
luapan kemarahan Wak Odang di masa silam: “silsilah Sukra sebagai anak
baik-baik telah terpenggal sejak ia dipegawai-negerikan dengan uang pelicin”. Sebagaimana
Wak Odang, kami juga telah menutup segala pintu bagi kedatangan papa, seberapa
besar pun rasa kangen kami padanya. Kami sudah rela kehilangan papa. Begitulah
sejarah kecil para penghuni rumah amplop. Dulu, para pengirim amplop diam-diam
menyebut papa sebagai manusia pemakan
segala, kini papa sering digunjingkan teman-teman arisan mama sebagai pejabat pemanjat segala…
Depok, 2013
Comments
sindirannya mengena dan... bahasanya enak sekali dibaca...
suka ....^^