Skip to main content
Lelaki Ragi dan Perempuan Santan
Cerpen: Damhuri Muhammad
(Kompas, Minggu, 29 September 2013)
Apa jadinya
lemang tanpa tapai? Tanpa manis tapai, manalah
mungkin legit lemang dapat digapai? Barangkali itu sebabnya buah tangan yang kau
bawa dari pekan ke pekan tiada beralih dari lemang-tapai. Padahal, sekali waktu
bolehlah rantangmu berisi paniaram, lepat-pisang, atau limping-rebus, dagangan emakmu
yang lain. “Persekutuan kita seperti pasangan lemang-tapai ini,” dalihmu.
Selalu.
Perihal selera tentu aku
bersetuju. Tapi, pernahkah kau menimbang asal mula pasangan lemang-tapai yang hakikatnya
saling bertolak-belakang? Bukankah
lemang ditanak dengan pati santan, hingga usianya tiada lebih dari satu hari?
Bila tak lekas disuguhkan, tentu akan terbuang sebagai sipulut basi. Sementara
bukankah tapai matang lantaran ragi? Makin diperam makin ajaib rasa manisnya.Tapai
senantiasa melesat menuju aras keabadian, sedangkan lemang mundur ke ranah
kesementaraan. “Akulah lemang, engkaulah tapai. Cintaku basi tanpamu,”
ikrarmu. Selalu.
Lantaran lemang-tapai itu, kuabaikan rantang-rantang
gulai kentang yang datang silih berganti. Kau tahu, di kampung ini hantaran gulai
kentang adalah bahasa pinangan paling santun. Mungkin tampak murah dan
sederhana--sebab tanpa campuran daging--tapi ia mengandung kiasan yang kedalamannya hingga kini belum tergantikan.
Kuah yang kental, kentang yang kempuh sempurna, bagai mencerminkan kesungguhan
niat dan ketulusan perasaan keluarga yang hendak beroleh menantu. Masa itu, selepas
wisuda sarjana, sembari menunggu peluang kerja, aku mengabdi sebagai guru mengaji
bagi anak-anak kampung. Tak banyak yang sanggup bertahan menjadi guru mengaji.
Bagaimana mereka akan bergairah mengajarkan alif-ba-ta
bila hanya diupah dengan zakat fitrah setahun sekali. Maka, jatuhnya pilihanku
untuk menggantikan guru-guru mengaji yang sebagian besar telah berkeputusan menjadi
buruh penakik getah atau kuli kasar proyek pengaspalan jalan, dicatat sebagai keberanian
yang layak disanjung.
Sebenarnya aku bisa langsung
berangkat ke Pekanbaru atau bahkan ke Jakarta. Sambil menunggu panggilan kerja,
aku tak akan menganggur di sana. Penghidupan sanak-saudara ibu-ayahku di
perantauan cukup mapan. Mereka tak akan keberatan memodaliku membuka usaha.
Tapi, aku memilih bertahan di kampung karena tak ingin jauh darimu. Selain itu,
aku satu-satunya anak ibu yang masih tersisa di kampung. Sebelum pergi, aku ingin
merawat orangtua dan menjaga mereka. Pilihan ganjilku itu rupanya telah
menaikkan pasaranku di mata para pengantar gulai kentang.
“Sebelum balam terbang jauh, tak
salah jika dipikat lebih dahulu,” begitu bisik-bisik yang terdengar.
“Bila semua laki-laki terdidik
merantau jauh, siapa yang akan membangun kampung kita?”
“Kalau dia jadi menantuku, kumodali
dengan dua mesin gilingan padi. Jadi, tak usah mencari kerja ke mana-mana.”
Mereka tak peduli hubungan kita,
apalagi pada persekutuan lemang-tapai yang kau ikrarkan. Sebelum kau dan aku syah
terikat oleh akad-nikah, bagi mereka belum terkunci peluang untuk menenteng
rantang gulai kentang, lalu menyampaikan pinangan pada ibu-ayahku. Namun, aku
tak goyah. Aku selalu punya modus penolakan yang tak menyinggung perasaan
mereka. Meski yang satu bisa maklum, bulan depan datang lagi rantang gulai
kentang yang baru, begitu seterusnya.
Beberapa bulan kemudian, pada sebuah petang di serambi rumahmu, sejawat
karibku melihat seorang lelaki rantau sedang berunding dengan emak-bapakmu.
“Waspadai perangai elang dari
seberang! Ayam terkebat pun bisa disambarnya,” begitu nasihatnya.
“Apalagi
ia orang kaya muda. Usahanya maju pesat. Ia sudah punya segalanya, kecuali
istri!” tambah sejawat yang lain.
Semula, aku tak terguncang oleh bisik-bisik yang terus
mengusik itu. Aku percaya, kau juga punya siasat penolakan yang lemah-lembut,
sebagaimana yang kulakukan pada setiap hantaran gulai kentang. Lagi pula,
bukankah kau lemang yang masih bersetia pada tapai?
Namun, tak lama setelah
kepulangan orang kaya muda itu, tersiar kabar bahwa ia ternyata telah
menawarkan pekerjaan sebagai kasir di salah satu restoran miliknya di Jakarta.
“Selain
bekerja, aku juga beroleh kesempatan kuliah di sana,” ungkapmu girang.
“Kau
bisa menyusulku nanti. Aku akan terus berkabar padamu.”
Kalau untuk urusan sekolah, rasanya mustahil aku
menahan keberangkatanmu. Aku tahu betapa besarnya keinginanmu hendak bersekolah
tinggi, namun cita-cita itu kau pendam lantaran tak mungkin membiayai kuliah
dari hasil penjualan lemang-tapai, pekerjaan sehari-hari emak-bapakmu.
“Kejar
masa depanmu! Aku akan menyusul ke Jakarta.”
***
Kurang tiga bulan sejak
kepergianmu, emak-bapak dan beberapa orang perwakilan keluargamu bertolak ke
Jakarta. Tak tanggung-tanggung, orang kaya muda yang mempekerjakanmu sebagai
kasir restoran itu menyewakan satu bis bagi perjalanan mereka. Sekadar melepas
rindu pada anak gadisnya? Tapi kenapa keberangkatan itu tampak begitu ramai? Pasti
ada sesuatu yang hendak mereka gelar di sana. Dugaanku tak meleset, ternyata mereka
akan menghadiri kenduri pernikahanmu dengan induk semang itu. Segala persiapan
telah beres diurus keluarga calon suamimu,
perhelatan besar selekasnya dilangsungkan. Sama sekali tak berkabar kau padaku.
Sama sekali tak kau layangkan alasan menyingkirkanku. Kau anggap aku debu, yang
dalam sekali embus bakal terbang bersama angin masa lalu.
Rupanya inilah ujung dari tarikh
lemang-tapaimu. Lantaran cemas bakal lekas basi, kau pasrahkan kudukmu dalam cengkraman
elang-seberang itu. Pecah sudah sekutu lemang-tapai. Tapaiku, karena terlalu
lama dalam masa peram, lelaku ragi yang mestinya membuahkan manis, berbalik
mendedahkan pahit. Sepahit liurku sejak mendengar kabar bahwa lantaran kokohnya
genggam tangan lelaki rantau itu, kau sampai lupa cara meremas santan guna
menanak lemang. Maka, terpelantinglah aku sebagai lelaki jatuh-tapai, ketercampakan paling celaka dalam riwayat kampung tak
bernama ini.
***
Kenduri pernikahanmu bertepatan
dengan kelumpuhan ayahku. Hari itu tensinya sedang tinggi, kepalanya serasa
berputar-putar, lututnya gemetar, tapi karena sudah berjanji akan menaikkan
kuda-kuda atap di rumah yang sedang dikerjakannya, ia memaksakan diri. Dasar
tukang kampung yang sulit percaya pada anak buah, ia ikut pula memanjat sambil
berteriak-teriak hingga tidak mempertimbangkan balok tempat kakinya berpijak.
Ia jatuh dari ketinggian dua meter. Semula tampak seperti tidak terjadi
apa-apa, karena ia tidak merintih kesakitan. Namun setelah dihampiri oleh anak
buahnya, ayahku tidak bisa diajak bicara, bibirnya mencong, separuh badannya
mati-rasa, hingga ia dilarikan ke rumah sakit. Darah tinggi yang memuncak telah
membuat ayahku lumpuh.
Tipis harapan ayahku akan pulih seperti
sediakala. Setelah rawat-inap, sudah berkali-kali aku membawanya berobat dan
menjalani terapi, namun ayah tetap saja lumpuh, pita suaranya seperti terlipat,
dan hanya bisa menangis bila dijenguk para kerabat. Karena sibuk mengurus ayah,
aku tidak terlalu memikirkan kendurimu yang tentu semarak dan bergelimang kemewahan.
Siapa yang tidak kecewa pada kekasih yang tiada angin tiada hujan, lalu
membelot begitu saja? Tapi, seberapalah tenagaku untuk menghambatmu. Maka, saat
mendorong kursi roda ayah untuk pertama kali, dari kejauhan aku mengucapkan selamat
menempuh hidup baru kepadamu, selamat berbahagia.
Sejak kelumpuhan ayah, aku makin
jauh dari mimpi-mimpi ingin pergi jauh. Akulah pengganti ayah di rumah ini.
Berdosa aku bila meninggalkan ibu sendirian. Dua saudaraku yang sudah lama
meninggalkan kampung rasanya tak mungkin merawat ayah. Mereka punya keluarga
dan kesibukan pekerjaan masing-masing. Pulang hanya sesekali bila dapat cuti. Sejak
awal mereka tegaskan, akan menanggung semua biaya, termasuk biaya hidupku, asal
aku mau menetap di kampung. Kupikul tanggung jawab itu dengan penuh ketulusan.
Akan kudampingi ayah hingga akhir hayatnya, kujaga ibu, kusumbat niat untuk
hengkang dari kampung ini.
***
Hingga kini aku masih bertahan sebagai
guru mengaji. Surau makin megah dan tercukupi semua fasilitasnya berkat bantuan
suamimu--semoga terus berlimpah
kekayaannya. Dari tahun ke tahun muridku terus berganti. Khatam, lalu datang
lagi murid baru. Selain di surau, aku dipercayai memimpin karang taruna, membuat
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi anak-anak muda, bahkan aku pernah
didaulat menjadi kepala desa. Tegas aku menolak, karena aku sudah nyaman
menjadi orang surau saja.
Keadaan ayahku begitu-begitu
saja. Tidak membaik, meski tidak pula memburuk. Saban pagi kumandikan, kusuapi makannya, dan kudorong
kursi rodanya untuk menghirup udara pagi. Sementara ibuku semakin tua dan kerap
mengeluh. Bukan mengeluh karena lelah menunggu kesembuhan ayah, tapi karena aku
belum juga terpanggil untuk menikah.
“Kau masih menunggu anak si tukang
lemang itu? Sudah tiga anaknya,” kata ibu suatu petang.
“Banyak gadis muda di sini. Tak
satu pun yang kau suka?”
“Atau hendak melajang sampai tua?”
Rantang-rantang gulai kentang masih berdatangan. Ada
yang datang membawa puji, ada yang tiba menjunjung janji, bahkan ada yang telah
meminang dua-tiga kali. Kadang aku hampir tergoda, apalagi anak-anak gadis mereka
cantik tak terkira, dan jauh di bawah usiamu. Tapi, lagi-lagi aku tak pernah
kehabisan ungkapan santun guna membuat mereka mundur. Bukan karena tak suka,
tapi karena aku tidak mau lagi memikirkan pasangan. Aku sudah terlatih hidup
sendiri. Duniaku kini hanya ayah yang lumpuh, ibu yang gandrung mengeluh, dan
murid-murid yang sesekali liar berkelakar, tapi sangat menyenangkan.
Sudah kulupakan sekutu
lemang-tapai masa lalu itu, dan memercayai bahwa mencintaimu adalah kerelaan
menerima rasa sakit akibat pengkhianatanmu. Tapi, aku kembali tersentak di suatu
hari, pada kepulanganmu untuk syukuran akikah putri bungsumu. Seseorang datang
mengantar undangan dengan secarik kertas dalam lipatannya. Datanglah. Akan kusuguhkan
lemang-tapai kegemaranmu…
Tanah Baru, 2013
Comments
^_^