Artefak Kenangan Mo Yan
Oleh: Damhuri Muhammad
(Majalah TEMPO edisi 25 Nov-1 Des 2013)
Di tangan Mo Yan (novelis asal Cina pemenang Nobel sastra 2012) truk rongsokan dapat menjadi gagasan
hidup lantaran impresi-impresi prosaiknya. Dalam novel bertajuk Di Bawah Bendera Merah, Gaz 51 (truk
militer buatan Soviet), tak sekadar ornamen, tapi terpancang sebagai tiang pengisahan. Dari awal hingga akhir,
setiap cabang dan ranting cerita tak bisa lepas dari riwayat kendaraan militer
yang telah berjasa bagi Cina itu---utamanya dalam urusan pengiriman logistik semasa perang
melawan agresi AS (1950).
Novel
yang dicetuskan sebagai memoar ini dibuka dengan kisah ketakmujuran Mo Yan di
masa SD di Gaomi, provinsi Shandong. Ia dikeluarkan dari sekolah setelah
ketahuan mengejek seorang guru yang bermulut besar, hingga kawan-kawannya menggelari
guru itu dengan Liu Mulut Besar. Padahal, Mo Yan sekadar membandingkan ukuran
mulutnya---yang juga besar---dengan mulut guru itu. Ia sedang menakar
buruk muka sendiri, meski dalih itu tak pernah diungkapkan.
Mo
Yan terobsesi ingin menyetir Gaz 51, truk yang saban hari mengepulkan debu
jalan desanya. Pemiliknya adalah ayah Lu Wenli, perempuan paling cantik di
kelasnya. Baginya, Gaz 51 tangguh dan berkuasa. Bebas melindas ayam dan membuat
anjing-anjing kudisan berhamburan masuk selokan. Bila ada hewan yang tertabrak,
ia akan terus melaju kencang. Tak ada yang berani protes, apalagi menagih ganti
rugi. Maklum, ayah Lu Wenli bekas sopir Tentara Pembebasan Rakyat yang dikaryakan
di wilayah pertanian negara. Itu sebabnya Mo Yan tak ragu bercita-cita; ingin
menjadi sopir truk. Obsesi serupa juga dimiliki oleh teman kelas Mo Yan yang
lain, He Zhiwu. Tak sekadar ingin bisa menyetir Gaz 51, tapi impian utamanya
adalah menjadi “ayah” Lu Wenli. Di masa itu, tak seorang pun tahu, termasuk
guru Liu, guru Zhang, perihal maksud dari cita-cita ganjil Zhiwu.
Sejarah
menggiring Mo Yan pada peruntungan yang lebih cemerlang. Bermula dari tugas
menulis surat dari komandan, keterampilan menulisnya terasah, hingga pada 1981
cerpen pertamanya, Malam Musim Semi
Berhujan, tersiar di majalah lokal.
Lalu, ia menekuni dunia kepengarangan di jurusan sastra Institut Seni
Ketentaraan. Tak lama berselang, novelnya Red
Sorghum (1986) beroleh apresiasi luas, bahkan difilmkan oleh sutradara
kondang, Zhang Yimou. Aktor handal Gong Li dan Jiang Wen bermain di film itu. Dunia
Mo Yan berubah drastis. Ia ternobat sebagai pengarang ternama. Redaksi judul Di Bawah Bendera Merah, sementara edisi Inggrisnya berjudul Change (2010), dan sampul depan dengan ilustrasi bocah
berseragam tentara yang duduk di atas truk militer sambil mengangkat bendera
merah, mengesankan novel ini berkisah tentang pencapaian politis Mo Yan menjadi
komunis, padahal hanya perihal cita-cita kecil, pahit-getir anak petani miskin,
hingga pencapaian literer Mo Yan menjadi novelis kawakan.
Kritikus buku
Arman Dani, dalam ulasannya terhadap Big
Breasts an Wide Hips (2011), menyebut Mo Yan sebagai paradoks hidup. Ia
meraih Nobel sastra karena karya-karyanya berbicara tentang represi, narasi
kecil, dan segregasi jender yang masih ketat di Cina, tapi di sisi lain ia
mendukung sensor oleh Partai Komunis Cina, dan menolak untuk mendukung petisi
pembebasan aktivis pro demokrasi, Liu Xiaobo. Tapi, dalam pidato anugerah Nobel
2012, Mo Yan mendesak pemerintah Cina untuk segera membebaskan Liu Xiaobo.
Gaz 51 sebagai
artefak kenangan yang diperlakukan sebagai benda hidup, menghubungkan Mo Yan
dengan He Zhiwu, lebih-lebih dengan Lu Wenli. Saat bertugas sebagai tentara, ia
bertemu dengan truk sejenis, yang diandaikannya sebagai kembaran dari Gaz 51
milik ayah Lu Wenli. Ia ingin pulang ke Gaomi guna mempertemukan dua Gaz 51,
yang menurutnya bagai sepasang kekasih yang lama terpisah. Mo Yan menghadirkan
romansa lapuk He Zhiwu, yang ternyata sejak masa bersekolah di Gaomi telah mencintai Lu Wenli. Itu sebabnya ia
mengaku tidak punya cita-cita, kecuali hasrat ingin menjadi “ayah” Lu Wenli.
Bukan untuk menjadi sopir truk, tapi ingin mempersunting gadis itu kelak bila
ia sudah kaya. Zhiwu membeli Gaz 51 dari ayah Lu Wenli dengan harga yang
terbilang gila; 8000 yuan. Bukan perkara truk uzur itu, tapi soal cara
menaklukkan hati gadis pujaannya. Lu Wenli menolak, karena ia telah bertunangan
dengan laki-laki terpandang, putra seorang petinggi partai komunis.
Menimbang
gelagat pengisahan novel ini, agaknya Mo Yan juga menyimpan hasrat pada Lu
Wenli, meski ia tak pernah menegaskannya. Pada sebuah kesempatan berkunjung ke
Gaomi, ia mencari Lu Wenli ke tempat kerjanya. Tapi, karena respon gadis itu dingin,
Mo Yan mundur. Mo Yan tak pernah mengungkapkan kisah cintanya, meski senantiasa
ada keinginan untuk mendengar kabar tentang Lu Wenli. Patut dicurigai, baik He
Zhiwu maupun Mo Yan tiada sungguh-sungguh menggilai Gaz 51, tapi sama-sama
mencintai Lu Wenli.
Lu Wenli
akhirnya bercerai dengan suaminya. Pada He Zhiwu ia mengaku sudah salah pilih.
Ia bermohon agar Zhiwu berkenan menikahinya, tapi Zhiwu telah menikahi
perempuan peranakan Rusia yang bersetia padanya. Lu Wenli kemudian jatuh ke
pangkuan guru Liu, si Mulut Besar. Kenyataan yang tak pernah diduga Mo Yan.
Mo Yan makin
berkibar, wajahnya kerap muncul di layar kaca. Undangan juri festival Maoqiang (seni drama budaya Cina),
membuat ia kembali berkunjung ke Gaomi. Dalam keterpurukan setelah kematian
suami, sekali lagi Lu Wenli memberanikan diri menemui kawan lama. Ia tidak
minta dikasihani lagi, tapi sekadar memohon pada Mo Yan, agar putrinya lolos
sebagai peserta festival. Mo Yan sadar, tubuh Lu Wenli sudah rongsok,
bagian-bagian yang seksi di masa belia telah bengkak di sana-sini, sebagaimana
nasib truk Gaz 51. Tapi tiada alasan untuk tidak berbaik hati. Truk sisa perang
saja membuat ia tergila-gila, apalagi Lu Wenli, perempuan masa silam, yang
boleh jadi amat disayanginya. Inilah asmara bersahaja garapan novelis kelas
dunia. Sederhana tapi tidak murahan. Para pelakunya bagai tak terluka, padahal
eskalasi kepedihannya berpotensi menjadi kekal di sepanjang usia.
DATA BUKU
Judul : Di Bawah
Bendera Merah
Penulis : Mo Yan
Penerjemah : Fahmy Yamani
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2013
Tebal : 114 hlm
Penulis : Mo Yan
Penerjemah : Fahmy Yamani
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2013
Tebal : 114 hlm
Comments
salam blogger :)