Sebuah Kemungkinan bagi Sastra Asia Tenggara
-->
Damhuri
Muhammad
(Kompas, 30 Maret 2014)
Harapan untuk menjadi bagian dari sastra
dunia, sejak beberapa tahun belakangan, beralih-rupa menjadi keresahan dalam
ranah sastra Indonesia. Banyak sastrawan mengeluh lantaran sulitnya akses untuk
penerjemahan karya-karya mereka ke dalam bahasa asing. Organisasi penerbit lebih
tampak berperan sebagi EO (event
organizer) pameran buku ketimbang merancang program-program yang terukur,
guna mengantarkan sastra Indonesia ke gerbang sastra dunia. Begitu juga lembaga
pemerintah yang berperan menjalankan kerja diplomasi kebudayaan, belum menunjukkan
perhatian pada sastra, sebagai bagian dari identitas Indonesia. Satu-dua novel
Indonesia telah diterbitkan oleh penerbit major
label di luar negeri, namun diupayakan oleh individu sastrawan yang
bersangkutan.
Para
sastrawan gelisah, karena tidak maju-maju, tak berpeluang terseleksi oleh
komite juri Nobel sastra, dan merasa tertinggal oleh tradisi sastra di negara-negara
Asia lainnya. Inferioritas semacam ini cukup membebani iklim kekaryaan.
Seolah-olah, penerjemahan itu satu-satunya jalan guna membuat sastra kita go international. Muncul kesan, sastra
Indonesia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, jika belum tersedia dalam bahasa
asing, sehingga upaya menawarkan buku-buku sastra ke penerbit-penerbit asing adalah
harga mati yang tak mungkin dihindari.
Dalam arti sesungguhnya,
dapatkah karya sastra diterjemahkan? Bisakah cita-rasa bahasa dalam sebait puisi
dipindahkan begitu saja ke dalam bahasa yang berbeda alam kulturalnya? Berapa
banyak penerjemah yang akhirnya menyerah dalam menerjemahkan istilah khas
Indonesia yang tak ada padanannya dalam bahasa asing? Hitung pula berapa banyak
novelis yang merasa ungkapan prosaiknya terdistorsi, bahkan digunting
semena-mena, oleh kerja terjemahan.
Kesusasteraan,
di belahan dunia manapun, lahir karena para sastrawan berhadap-hadapan dengan
kerunyaman persoalan bangsanya masing-masing. Wiji Thukul mendedahkan
sajak-sajak perlawanan dalam corak yang militan karena iklim ketertindasan
akibat represi rejim otoritarianisme Orde Baru. Begitu juga dengan novel-novel
Pramoedya Ananta Toer, yang lahir dari gelora semangat kebangsaan kaum terdidik
pribumi. Para peneliti asing mustahil dapat memahami, apalagi mendalaminya,
bila hanya mengandalkan teks terjemahan Inggris. Bila mereka ingin menyelami
kedalaman sastra Indonesia, jalan yang paling patut adalah tinggallah
bertahun-tahun di Indonesia, pelajari kebudayaannya, dalami bahasanya! Itulah yang
dilakukan Hary Aveling, Keith Foulcher,
Andy Fuller, dan lain-lain.
Bila kita
hendak melakukan studi tentang sebuah tradisi sastra, katakanlah sastra Prancis,
kita rela untuk bertahun-tahun mempelajari bahasa dan kebudayaan bangsa itu,
karena tidak cukup hanya dengan membaca teks terjemahan Inggrisnya. Maka, kalau ada orang asing yang
ingin tahu tentang sastra Indonesia, adalah lazim jika ia berkenan mempelajari
bahasa Indonesia, fondasi utama sastra kita. Tak sekadar membaca teks yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Maka, para praktisi sastra tidak
perlu mengeluh, apalagi meniscayakan bahwa ukuran maju atau tidak-majunya
sastra adalah terbit atau tidak-terbitnya karya mereka dalam bahasa Inggris.
Alih-alih kasak-kusuk mencari peluang penerjemahan,
kenapa tidak mutu yang diperbaiki, kenapa tidak kedalaman yang terus digali? Mo Yan,
novelis asal China pemenang Nobel 2012, juga tidak menulis dalam bahasa
Inggris, tapi dalam bahasa bangsanya. Lantaran dianggap penting dan mengandung
kedalaman, penerbit asing datang meminangnya. Novelis kawakan Iwan Simatupang
yang bertahun-tahun hidup di Eropa, penyair Sitor Situmorang yang bermukim di
Paris, tidak pernah terpanggil untuk menulis dalam bahasa asing. Iwan dan Sitor
tetap menulis dalam bahasa Indonesia, bahasa ibunya, bahasa yang membesarkannya.
Kenapa kita mesti uring-uringan dengan impian semu dari kerja penerjemahan? Go international bukan sekadar persoalan
bahasa. Penyair Afrizal Malna yang kerap menjadi peserta writer in resident di Eropa, mengaku hanya bisa menulis dalam
bahasa Indonesia dan tidak pandai bercakap-cakap Inggris, tetap saja puisinya
dikaji karena dianggap penting dan bermutu.
Sindrom
Eropasentrisme semacam inilah yang hendak direspon oleh Asean Literary Festival
2014. Peristiwa seni yang dibuhul dalam semangat geopolitik Asia Tenggara itu
menggagas sebuah kemungkinan bagi munculnya habitus
baru; Sastra Asia Tenggara. Iklim kesusastraan di negara-negara ASEAN memiliki
satu garis identifikasi persoalan serupa. Indonesia, Philipina, Vietnam, Laos,
Thailand, Myanmar, Combodia, adalah negara yang sama-sama merasakan terjangan
kaki kolonianisme, dan pada masa-masa selanjutnya mengalami situasi politik
yang dikuasai rejim otoriter. Pete Lacaba tercatat sebagai tokoh perlawanan
terhadap rejim Marcos di Philipina. Sastra di negerinya berhadapan dengan
represi dan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi.
Maka,
terminologi “Sastra Asia Tenggara” menjadi sebuah hipotesa yang diuji
kemungkinannya dalam forum ALF 2014. Apakah “sastra kolonial” dalam kawasan
geopolitik Asia Tenggara dapat dibuhul menjadi sebuah kesatuan tematik? Apakah
perlawanan terhadap kaum kolonial dalam karya-karya mereka tidak akan membuat
jurang pemisah dengan tradisi sastra dunia--yang identik dengan kolonialisme? Dengan begitu, bisa saja
Sastra Asia Tenggara tegak dan berdiri sendiri, tanpa harus bergantung pada
Eropa dan Amerika. Selain itu, dapatkah Sastra Asia Tenggara menjadi pintu
masuk bagi kajian akademik bernama
studi Sastra Asia Tenggara?
ALF 2014 yang digagas oleh Yayasan Muara--lembaga non-pemerintah yang menaruh
perhatian pada dunia seni budaya--dihadiri oleh perwakilan 13 negara ASEAN, dan beberapa
sastrawan serta peneliti sastra dari negara non-ASEAN seperti Na Ye, Wang Gan
(Cina), Choi Jeongrye (Korea Selatan),
Laura Schuurman (Belanda), Andy Fuller (Australia). Festival yang dibuka
dengan kuliah publik oleh novelis terkemuka Philipina, Pete Lacaba, tersebut
dihadiri oleh 800-an peserta dari kalangan pembaca sastra, baik dalam maupun
luar negeri. ALF yang pertama kali diselenggarakan dan Indonesia berperan
sebagai tuan rumah itu, memberikan anugerah sastra pada Wiji Thukul, atas
dedikasi dan konsistensinya pada dunia kepenyairan, meski ia mengalami nasib yang
tragis.
You are not a writer, but a salesman, begitu sindirin seorang narasumber
menanggapi pertanyaan seorang novelis tentang sukarnya akses penerjemahan ke
bahasa asing. Sinisme itu dapat dimaklumi, pekerjaan penulis semestinya hanya
berkarya, tak perlu repot memikirkan bagaimana bukunya dapat diterjemahkan ke
dalam bahasa asing. Bila itu yang terjadi, pengarang akan beralih-rupa menjadi
pedagang (salesman).
“Saya tidak
terlalu gembira bila puisi saya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,” kata
penyair Joko Pinurbo, dalam sebuah perbincangan di Writer’s Corner dengan
beberapa penulis muda seperti Arafat Nur (Aceh), Aprila R.A Wayar (Papua), Dicky
Senda (Kupang), Zelfeni Wimra (Padang), dan lain-lain. Tak kurang dari 35
sastrawan Indonesia dari berbagai daerah hadir dalam forum ALF 2014. “Saya
menggeluti sastra karena masalah-masalah bangsa saya. Dunia tahu atau tidak,
saya tidak peduli,” ungkap penyair Hanna Fransisca. Sastra kita tidaklah akan
menjadi rendah, dan para sastrawan tidak perlu merasa inferior, hanya karena buku-buku
mereka belum atau tidak dialih-bahasakan. Sebab, bangsa kita sendirilah yang
akan membesarkannya…
Comments