Perempuanologi
catatan ringan untuk buku "Negeri Atas Angin" kumpulan cerpen karya Wina Bojonegoro
1.
Laki-laki sebagai Prosa, Perempuan
sebagai Puisi
Saya punya dua anak. Satu laki-laki, satu
perempuan. Jarak usia mereka hanya terpaut tiga tahun. Semula saya mempercayai laki-laki
atau perempuan sama saja, sebagaimana jargon program Keluarga Berencana (KB) warisan
penguasa Orde Baru. Sama-sama bakal diasuh-dibesarkan, dituntun, dididik hingga
mereka tumbuh menjadi anak-anak masa datang, yang mampu tegak dengan kaki
sendiri, mampu merancang hidupnya secara mandiri. Namun--setelah menjadi ayah bagi sepasang anak
yang akan saya kenang sebagai bagian paling ajaib dalam hidup saya--ternyata saya keliru besar. Laki-laki dan
perempuan rupanya ibarat langit dan bumi. Bila laki-laki dapat diamsalkan
sebagai prosa, maka perempuan adalah puisi. Yang disebut pertama luwes,
sportif, stabil, dan konsisten. Sementara yang kedua, maju-mundur, tarik-ulur, labil,
dan inkonsisten. Pendeknya, perempuan adalah sebuah kompleksitas yang runyam
sekaligus misterius.
Anak laki-laki saya
gampang diberi pengertian--apalagi
dengan memberi contoh--dan mudah diajak
bernegosiasi. Meski tingkahnya urakan dan aktivitas fisiknya lebih aktif, saya sama
sekali tidak kesulitan mengendalikannya. Bila hendak melarang sebuah aksi yang
membahayakan keamanannya, saya cukup menatap matanya tanpa harus berkata-kata.
Ia pun paham, lalu mundur teratur. Atau bilamana saya hendak mengajarkan
sesuatu, hanya perlu sekali-dua saya memberi contoh di hadapannya, ia mengerti
dan selanjutnya ia akan terbiasa. Tapi anak perempuan? Sejak usia tiga tahun, ia
sudah terasa sangat berbeda. Judes dan cerewetnya mulai muncul. Sinisme dalam
setiap ungkapannya yang masih cadel itu, mampu membangkitkan kembali ingatan
saya pada perempuan-perempuan masa silam, yang pernah saya kenali. Ngomongnya
meletup-letup seperti suara kacang yang merengkah-rengkah dalam wajan
penggorengan. Apa saja dikomentarinya, nyinyir ditanyakannya dengan nada sinis,
hingga tak jarang saya juga sinis memberi jawaban.
Ia selalu meminta
perhatian lebih. Keranjingan dipuji. Manja minta ampun, dan yang paling ajaib
adalah merajuk tanpa sebab. Saya pernah iseng mencatat daftar permintaan
ganjilnya. Dalam sehari, tak kurang dari 85 permintaan, meski waktu saya bersamanya
sangat terbatas bersamanya. Bangun tidur, ia minta dipeluk, lalu minta susu.
Saat saya mulai berkemas, ia minta boneka Barbie yang lupa ia taruh sebelum
tidur. Begitu saya di kamar mandi, ia berteriak dari kamar, meminta saya segera
keluar karena ia kebelet pipis. Sesaat saya mengecek surat-surat elektronik
sebelum berangkat, ia minta dicarikan satu properti mainan alat-alat memasak
yang hilang entah di mana. Baru mulai online, ia minta baju bermotif Hello
Kitty yang katanya akan dipakai selepas mandi. Sebelum berangkat, tepatnya
ketika satu-dua suap sarapan pagi mendarat masuk mulut, ia minta dicebokin
karena sudah selesai BAB, hingga jadilah saya masuk kamar mandi lagi.
Itu baru
kesibukan-kesibukan kecil yang sudah menyehari bersamanya. Belum termasuk
bisikan-bisikan di kuping sesaat sebelum saya meninggalkan rumah. Sepatu kets
warna pink, kaos kaki motif Angry Bird, DVD Bakcyardigan seri terkini, yang
sudah harus ada di dalam tas kerja saya nanti malam. Bila kurang yakin punya
waktu yang cukup untuk mencari pesanan nyonya kecil itu, maka jangan terlalu
banyak mengumbar janji. Sebab, kurang satu pesanan saja, risikonya berat. Saya
akan dicuekin. Pelukan saya akan ditolak dengan memasang bibir manyun.
Pendeknya, saya akan dibuat merasa bersalah, lalu membujuk-bujuknya dengan
sejumlah janji baru. Itu juga masih terbilang biasa. Adapun yang paling ganjil
adalah merajuk tak tentu sebab. Tak ada angin tak hujan, tiba-tiba berubah
dingin. Tak mau diajak bercanda, tidak tergiur oleh tawaran es krim, tidak
menjawab bila ditanya “ada apa?”. Banyak modus telah dicoba, ia tetap manyun
dengan muka cemrungut, hingga saya tidak tahu lagi cara merayunya. Dalam
situasi kalut seperti itu, saya hanya bisa bilang pada ibunya; “tolong urus
anakmu, saya repot!”
Begitulah
tabiat anak perempuan saya yang baru menanjak 5 tahun. Anehnya, semua
“keganjilan” yang saya lihat dalam personalitasnya, juga pernah saya hadapi
pada masa-masa ketika saya berteman dekat dengan beberapa perempuan, di masa
lalu tentunya. Pertanyaan saya adalah, apakah semua perempuan begitu? Sulit
ditebak isi hatinya, gampang merajuk tanpa sebab, gandrung memonopoli
perhatian, dan gemar membuat lawan jenisnya merasa bersalah, hingga harus
bertekuk lutut di hadapannya.
Serba-serbi
keganjilan, atau barangkali “keanehan” tabiat perempuan inilah yang saya catat
dari beberapa cerpen karya Wina Bojonegoro dalam buku ini. Naomi dalam cerpen Rumah Rahasia misalnya. Ia tampil
seolah-olah peduli dan bersimpati pada
kaumnya sesama perempuan, terutama Layla. Tapi dalam kenyataannya, ia tidak
sudi kehilangan perhatian dari Kiby. Buktinya, sudah tujuh tahun ia “menguasai”
Kiby. Naomi dan Kiby membangun sebuah rumah rahasia, di luar rumah “resmi”
masing-masing. Pengarang kemudian merancang sebuah adegan yang bercorak sinetronik,
yang membuat Layla akhirnya menemukan rumah rahasia itu. Pasti dapat ditebak
apa yang terjadi dalam peristiwa tatap mata segitiga itu; Layla, Naomi, Kiby.
Dikatakan, rahasia Kiby-Naomi terbongkar, Layla tahu ternyata suaminya telah
menjalin hubungan dengan Naomi, seniman musik terkemuka itu, jauh sebelum ia
menikah dengan Kiby. Anehnya, dalam cerpen ini, tabiat keperempuanan Naomi
terasa lebih alamiah dan kodrati; menguasai, merebut perhatian, bahkan dalam
batas-batas tertentu, mempertahankan Kiby dalam situasi bersalah bila abai
mendatangi “rumah rahasia”. Sementara Layla, problemnya terasa klasik, klise,
dan banal; dinikahi hanya untuk mendapatkan keturunan, mungkin hidup dalam
keberlimpahan, namun tanpa cinta. Wina lebih memperlihatkan “kemenangan” Naomi
ketimbang upaya perlawanan Layla. Ia seolah-olah hendak mengafirmasi bahwa
perempuan memang bermuka dua. Mendapatkan cinta kalau bisa, dan menguasainya
sekaligus, bila perlu.
2.
Dua Muka Kaum Perempuan
Saya punya sejawat yang hingga kini masih
bertahan sebagai bujangan. Pasalnya hampir-hampir bisa diterka; patah hati. Namun,
riwayat putus-cinta yang satu ini agak berbeda. Di masa lalu ia pernah jatuh
pada seorang perempuan. Kebetulan perempuan itu sudah janda dan beranak dua,
pula. Namun, sejawat saya itu menyadari betapa orangtuanya--khususnya ibunya--tiada bakal merelakan anak bujangnya
mempersunting perempuan yang tidak sepadan. Lazimnya, perjaka tingting tentu selayaknya mendapatkan perawan. Sebagai
anak yang patuh, ia tidak mampu berhadapan dengan kehendak ibunya. Maka, ia
memilih untuk mengalah, dan hingga kini tidak lagi tertarik untuk menikah. Poin
penting saya dalam kisah ini adalah ibunda dari sejawat saya. Ia ingin anak
bujangnya menikah dan berbahagia dengan pasangannya, tapi tidak dengan menikahi
janda. Sebab, ia merasa rugi bila menantunya “hanya” seorang janda, beranak dua
pula. Dengan begitu, atas kehendak dan otoritasnya, ia mesti tega melihat
anaknya membujang, bahkan mungkin untuk selamanya. Peristiwa ini terjadi dalam
cerpen Lebaran Untuk Palupi. Ibunda
Sakti sama sekali tidak menduga bila anaknya ternyata kecantol pada Palupi,
janda beranak dua. Perempuan itu teman sekolah Sakti di masa lalu, setelah
beberapa tahun mereka bertemu kembali, hingga dapat pula ditebak apa yang
terjadi. Sakti dianggap melanggar kelaziman, namun dalam cerpen ini pengarang
mengisahkan bahwa hubungan Sakti-Palupi akhirnya disetujui. Meski begitu, batin
sang mertua masih saja bergolak. “Dengan segala kelebihan yang dia punya,
mestinya ia pantas mendapatkan gadis jelita dengan karir mantap dan dari
keluarga baik-baik.” Persoalannya hanya karena Sakti memang sudah mesti
menikah, dan karena itu bagi ibunya; janda pun jadi, asal mau menikah. Namun,
kompromi semacam itu, tidak dapat membuat perempuan terselamatkan dari mentalitas
standar ganda.
Situasi
dilematis semacam itu terulang kembali dalam cerpen Hujan Bulan Januari. Bedanya, kali ini perempuan perawan yang jatuh
cinta pada laki-laki yang sudah berkeluarga. Sedemikian kerasnya karakter tokoh
rekaan bernama Pelangi itu, ibundanya sendiri tidak memiliki kekuatan untuk menghadang
langkah anak gadisnya. Meski sudah berkali-kali diingatkan betapa bejatnya
perangai merampas suami orang, Pelangi tiada goyah sedikitpun. Bahkan ibunya
sudah berterus-terus bahwa di masa silam ayahnya pergi, juga karena diambil oleh
perempuan lain. Ibunya tidak lain adalah korban dari perempuan selingkuhan,
sementara Pelangi melakukan perbuatan serupa secara terang-terangan. Suatu
ketika diceritakan, setelah cukup lama mengayuh bahtera keluarga, Pelangi kena
batunya juga. Suaminya pergi dan tak kembali. Ia harus berjuang sendiri
membesarkan anak-anak.Pelangi jadi tahu betapa menyakitkan dikhianati
laki-laki.
Pertanyaan
pentingnya adalah, kenapa ketika Sakti--laki-laki dalam cerpen Lebaran
Untuk Palupi--menikahi
seorang janda, pengarang tidak menceritakan betapa terhinanya Palupi yang
dipandang sebelah mata, atau katakanlah direndahkan oleh calon mertuanya?
Sementara ketika Pelangi--perempuan
dalam cerpen Hujan Bulan Januari--memilih
laki-laki yang sudah punya istri sebagai suami, pengarang begitu gairah
membangun peristiwa dramatik tentang sedemikian tragisnya nasib perempuan yang dilukai
oleh laki-laki? Kalau begitu, apa pilihan pretensi pengarang yang sesungguhnya?
Membela perempuan yang dilemahkan oleh laki-laki, atau justru berdiri di pihak
laki-laki yang sepanjang hidupnya dikendalikan oleh kuasa perempuan?
Mentalitas
standar ganda perempuan juga berlangsung dalam cerpen bertajuk Mozaik. Betapa tidak? Lewat tokoh
bernama Jo, guru privat piano yang kemudian menjadi pasangan selingkuh nyonya
rumah bernama Vie, kisah bergulir memperlihatkan betapa Jo hanya berperan
sebagai pelampiasan atas kekecewaan Vie akibat perlakuan suaminya. Laki-laki
yang dibayar oleh Bram (suami Vie) untuk menjadi guru piano agar istrinya punya
kesibukan, mampu membaca betapa dirinya tak lebih dari sekadar oase di tengah
padang gersang hubungan Bram-Vie. Namun, jika ditilik dengan perspektif lain,
cerpen ini sesungguhnya tidak hendak menyumpahi permainan liar Bram dengan perempuan-perempuan
selingkuhannya, melainkan justru menegaskan betapa berkuasa Vie. Tengoklah, ia
berhasil menguasai suaminya dalam urusan uang dan gelimang kemewahan. Pengarang
menyebut Bram sebagai mesin ATM bagi Vie, sementara Jo adalah laki-laki idaman
yang juga berhasil ia rengkuh untuk mereguk kepuasan yang lain. Alhasil, atas
nama harga diri, Bram kemudian menembak mati Jo, laki-laki yang telah meniduri istrinya.
Pertanyaannya, bukankah dalam peristiwa ini, Bram dan Jo adalah korban dari
siasat keperempuanan Vie? Nyonya besar itu memang mengutuk kebejatan suaminya,
tapi bukankah ia masih dapat memanfaatkan Bram suaminya? Maka, alih-alih hendak memonumentasikan petaka
kaum perempuan, Wina akhirnya malah terjerumus menegaskan kuasa perempuan atas
laki-laki.
Akibat-akibat
tak tersengaja yang akhirnya menyingkap dua muka kaum perempuan sebagaimana
yang terjadi dalam beberapa cerpen Wina, mengingatkan saya pada sebuah film
berjudul Las Vegas (2013). Berkisah tentang empat orang laki-laki (Robert De
Niro, Michael Douglas, Morgan Freeman, Kevin Kline) yang bersahabat sejak masa
kanak-kanak hingga usia mereka mendekati 60 tahun. Billy--yang diperankan oleh aktor kawakan
Michael Douglas--diceritakan
akan mengakhiri masa lajangnya di usia 58 tahun dengan sebuah pesta di Las
Vegas. Ia menyampaikan kabar baik itu pada Paddy (Robert De Niro), Archie
(Morgan Freeman) dan Sam (Kevin Kline) yang tinggal di kota berbeda-beda. Berita ini cukup mengagetkan bagi tiga orang
sahabat Billy. Betapa tidak? Bukan saja
karena Billy hendak menikahi gadis yang terlalu muda untuk ukuran usianya yang
sudah hampir berkepala enam, tetapi juga karena mereka hampir mempercayai bahwa
Billy akan membujang seumur hidupnya. Namun, atas dasar kesetiaan, dengan
segala keterbatasan di usia tua, mereka tetap datang ke Las Vegas. Bahkan Paddy
yang baru saja kematian istri dan sangat kecewa pada Billy, setelah dibujuk
akhirnya juga bergabung dalam perjalanan yang melelahkan ke Las Vegas. Paddy hampir-hampir tidak bisa
memaafkan kesalahan Billy. Betapa tidak?
Mereka berteman sejak usia 7 tahun, tapi Billy tidak datang pada hari
pemakaman Sophie, istri Paddy. Padahal, di masa berkabung itu, Paddy sangat
mengharapkan kedatangan sejawat-sejawat karibnya--apalagi Billy--yang diinginkannya untuk menyampaikan pidato pemakaman
Sophie. Namun, dalam keriuhan pesta di
Las Vegas akhirnya terungkap juga penyebab kesalahan fatal Billy itu. Di masa
muda, Billy dan Paddy ternyata jatuh cinta pada perempuan yang sama; Sophie.
Paddy dan Billy meminta Sophie untuk memilih, dan mereka sama-sama siap untuk
menerima kenyataan. Dikisahkan, ternyata Sophie mendatangi Billy, ia
menjatuhkan pilihan pada laki-laki itu. Dengan begitu, Paddy mesti mengalah.
Namun, Billy tidak sampai hati membiarkan sahabatnya terluka karena ditolak
cintanya. Tanpa sepengetahuan Paddy, ia meminta Sophie mendatangi Paddy, dan
meminta perempuan yang dicintainya itu untuk memilih dan mencintai Paddy
saja. Billy tidak tega melihat teman
setianya kecewa. Alhasil, Sophie benar-benar memilih Paddy, mereka menikah, dan
rahasia tentang kedatangan Sophie ke rumah Billy, tentang permintaan Billy agar
Sophie mencintai Paddy, tersimpan rapi bahkan hingga Sophie meninggal dunia.
Pertanyaan
pentingnya adalah, kenapa Sophie mau saja melenggang dan meninggalkan Billy?
Padahal sudah jelas pilihan jatuh pada laki-laki itu. Apakah cinta bisa berubah
haluan seketika? Bagaimana dengan teori-teori yang mengklaim perempuan lebih
setia dari laki-laki. Apakah batinnya tidak bergejolak ketika melihat orang
yang disayanginya merana seumur-umur? Inilah kerunyaman personalitas perempuan
yang nyaris tak dapat dijelaskan, meskipun korbannya telah berjatuhan di
mana-mana.
3.
Sebuah Kemungkinan Perempuanologi?
Hingga ulasan sederhana ini saya tulis,
saya masih angkat tangan dengan lapisan-lapisan topeng yang senantiasa menutupi
wajah perempuan. Saya sungguh-sungguh belum berhasil menyelami kedalaman dunia
keperempuanan. Perempuan, bagi saya, bagai sumur tanpa dasar. Tiada bakal ada
ujungnya. Barangkali Anda tidak pernah membayangkan ada seorang perempuan yang
menyelenggarakan majelis Yasinan keluarga, guna meyakinkan bahwa anak
laki-lakinya sudah mati. Padahal anaknya masih sehat dan segar-bugar, nun jauh
di tanah rantau. Pasalnya sederhana, anaknya
menikah dengan perempuan rantau, tidak direstui, dihukum haram menginjak
kampung halaman, dan dianggap sudah tiada. Itu sebabnya dibacakan Yasin. Bukan
untuk mendoakan arwahnya, melainkan untuk memaklumatkan pada khalayak bahwa
anak durhaka itu sudah meninggal. Perempuan dan ibu macam apa yang bisa segila
itu? Saya pastikan ia nyata adanya.
Dapatkah disiplin ilmu sosial semacam psikologi menjelaskan tentang
perempuan yang berkesimpulan bulat bahwa
kekasihnya tidak lagi mencintainya hanya karena laki-laki itu lupa hari ulang
tahunnya? Atau hanya karena pasangan laki-lakinya lupa warna pink kesukaannya?
Bagaimana mungkin hal-hal remeh dapat menjadi tolak ukur cinta atau tidak-cinta?
Percaya atau tidak, di kurun mutakhir ini banyak pasangan putus di tengah jalan
hanya karena laki-lakinya tidak gandrung bertanya; “apa kabarmu say?” “lagi di
mana”? “Lagi ngapa,” “Udah makan belum?”. Tapi anehnya, karena kuasa perempuan,
laki-laki sekeras dan sekaku apapun, bisa bersimpuh di hadapannya. Teman tajir
saya yang seumur-umur tidak pernah memikul beban berat, demi seorang perempuan
pujaan, rela hati mengusung dan menjinjing barang bawaan di bandara. Laki-laki
yang tidak biasa berbelanja barang-barang keperluan perempuan, bisa dibuat
pulang dengan tas belanjaan berisi lingerie, celana dalam, bahkan pembalut
wanita. Itu semua bisa terjadi karena kuasa perempuan yang menakjubkan itu.
Jangan
coba-coba mengabaikan perempuan, Anda bisa menderita dibuatnya. Tengoklah
berapa banyak laki-laki yang siap berbaku-hantam demi perempuan, laki-laki yang
setengah gila setelah ditinggal pergi perempuannya, laki-laki yang
menyia-nyiakan keluarga demi perempuan selingkuhannya, laki-laki yang hancur
berantakan karirnya karena perempuan, bahkan laki-laki yang jatuh merana
lantaran kekayaannya dikuras-tuntas oleh perempuan pujaan. Saya tidak bisa
memahami mengapa perempuan bisa setangguh itu? Memasuki dunia keperempuanan
bagi saya, seperti memasuki alam metafisis, yang tiada bakal tersingkap
misterinya. Seorang sahabat, korban kedigdayaan perempuan, pernah mengungkapkan
bahwa kalau Saudara ingin tahu siapa sesungguhnya makhluk bernama perempuan,
hanya ada satu cara; menjadi perempuan. Masuki alam bawah sadarnya, sibak semua
lapisan tabirnya, lepaskan semua topengnya.
Ia menyebut studinya dengan “Perempuanologi”. Sebuah disiplin yang belum
terdaftar dalam khazanah ilmu-ilmu sosial dan humaniora mutakhir.
Sebagian besar
cerpen karya Wina Bojonegoro dalam buku ini berkemungkinan menyediakan banyak
pintu menuju alam keperempuanan yang menyimpan banyak tanda tanya, misteri, dan
teka-teki itu. Namun, betapapun runyamnya hidup berdampingan dengan perempuan,
betapapun repotnya melayani segala kebutuhan perempuan, betapapun abu-abunya
warna perempuan, hingga saat ini, anehnya, saya belum sanggup hidup tanpa
perempuan…
Comments