Menggali Pusara Bagi Bangkai Kenangan
Damhuri
Muhammad
(esai pengantar novel Maha Cinta karya Aguk Irawan MN, 2014)
Keriangan masa muda boleh saja berlalu.
Usia yang senantiasa menua tentu tak bisa dibendung. Di jagad yang fana ini,
tak ada yang sanggup melawan keringkihan. Setiap tubuh bakal lapuk, setiap yang
tangguh bakal rapuh, lantaran ia terus bergerak menuju keusangan. Renta,
ringkih, dan rapuh adalah sebuah keniscayaan. Namun, dalam tarikh manusia,
rupanya ada yang tak lekang dihempas waktu, yang tak mempan dimakan masa, yang
terus-menerus hadir di sekitar kita, dan tak terlupa hingga dunia dan semesta raya
digulung sekalipun. Ia bernama “kenangan,” atau lebih tepatnya; kenangan pada
kisah cinta. Berakhir bahagia atau malah terpelanting ke dalam bahaya, banyak
aral yang melintang atau lancar-mulus saja, tragik, dramatik atau melankolik, kenangan
setiap orang pada kisah cintanya, tiada pernah terkelupas dari ingatan. Ia akan
terus berkembang biak, beranak-pinak, dan secara tak sengaja diwariskan secara
turun-temurun, dari kurun ke kurun.
Kalaupun
ada upaya hendak melupakannya, bahkan obsesi untuk membenamkannya di lubuk-lubuk
telaga tak berdasar, nyalanya tetap akan menguap ke permukaan, puing-puing
wewangiannya mengalir ke mana-mana. Dalam sebuah riwayat, seorang laki-laki
yang menapaki jalan kesendirian seumur hidupnya akibat pengkhianatan cinta,
pernah memaklumatkan bahwa romantika yang dulu berbunga-bunga itu telah
dipusarakan dan kini sudah terkubur sebagai bangkai kenangan. Anehnya, saban
hari ia senantiasa mengendus-endus, mencari aroma tak sedap yang menyeruak dari
bangkai itu, hingga hidungnya tiada lagi dapat mengenal aroma lain. Ia sedemikian kecanduan menghisap aroma
bangkai kenangan itu. Hidupnya seolah-olah kiamat bilamana terpisah jauh dari pusara
kenangan masa silamnya.
Begitulah
“hukum kekekalan kenangan,” yang tak pernah dapat dimusnahkan. Sesaat mungkin bisa
dialihkan pada individu atau obyek-obyek lain, namun itu sekadar batu loncatan
untuk kemudian kembali berpulang pada romantika sejatinya. Sejarah cinta
berserakan di mana-mana, bertebaran hampir di seluruh belahan dunia. Ada yang hanya
dikenang dalam semesta kesunyian, ada yang dicatat lalu disembunyikan
rapat-rapat dalam lembaran-lembaran nukilan rahasia, dan ada pula yang sengaja
atau tak, dimonumentasikan dalam karya-karya masterpiece para pujangga. Sebutlah misalnya, tragedi cinta Romeo
dan Juliet, mahapetaka cinta Steven dan Magdalena, Layla dan Majnun, atau kasih
tak sampai Zaenuddin dan Hayati, yang tak bosan-bosan dibaca-ulang oleh segenap
penggila kisah-kisah cinta.
Kisah-kisah
itu telah menjadi rujukan, menjadi sandaran, dan dalam batas-batas tertentu
diperlakukan sebagai perkakas guna mengungkit-ungkit kembali kisah-kisah lain
yang bersarang dalam perasaan masing-masing pembaca. Akibatnya, kita mengalami
semacam De Javu, bahwa malapetaka cinta yang terjadi dalam roman-roman kelas
dunia itu, juga berlangsung dalam tarikh hidup masing-masing pembaca. Oleh
karena itu, romantika tragik yang telah menguras airmata dalam roman Tenggelamnya Kapan Van der Wijck, bukan
lagi milik Hamka sebagai pengarang semata, tapi telah menjadi milik semua
penikmat yang terbawa hanyut oleh deras arus kepiluannya.
Nama
Hayati dipancangkan sebagai monumen kenangan tentang pengkhianatan cinta. Ia
memilih Engku Aziz, laki-laki tajir bergelimang harta, orang beradat, orang
bermartabat. Diabaikannya Zaenuddin, cinta platoniknya, laki-laki tuna-silsilah,
miskin, dan tak berwibawa, demi nasib dan peruntungan yang lebih menjanjikan,
demi hidup yang bergelimang kemewahan, demi mimpi-mimpi masa datang yang bagai
“bersayap uang kertas.” Maka, Zaenuddin adalah monumen yang kedua, artefak luka
yang senantiasa berdarah, yang terus menyimpan harapan, mengendus-endus bangkai kenangan. Memiliki
Hayati dalam arti seutuh-utuhnya adalah mustahil, hingga ia hanya dapat hidup
dan bernapas bersama kenangan, dalam kenangan, untuk kenangan, selama-lamanya.
Cinta sucinya pada Hayati tak pernah lusuh, gejolak rindunya tiada kunjung
berhenti menderu, bahkan hingga Hayati meninggal dunia. Bagi Zaenuddin, Hayati,
sebagaimana namanya, adalah “hidupku” adalah “nyawaku,” dan mencintai perempuan
itu adalah kerelaan menerima perih dan ngilu luka akibat pengkhianatannya.
Agaknya,
di sini pulalah medan tempat berpijaknya roman bertajuk “Maha Cinta” karya Aguk
Irawan ini. Cinta yang akbar. Cinta yang tak tertandingi kebesarannya. Cinta
yang tiada duanya. Adalah Imran, laki-laki yang tengah menapaki perjalanan
cinta itu bersama kembang desa Sembungan, Wonosobo, bernama Marwa. Pangkal-soal
dari kasih tak sampai itu bermula dalih
yang klise sekaligus klasik; status sosial. Marwa berasal dari keluarga juragan
tembakau, Haji Nurcahya, tuan tanah yang sangat disegani di Sembungan. Sementara
Imran hanya pemuda desa biasa, ayah-ibunya petani tembakau sebagaimana orang
kebanyakan, dan bukan keluarga terhormat. Maka, sudah gampang diterka, Haji
Nurcahya memandang hubungan remaja yang akan segera menamatkan studi di bangku
SMA itu sebagai aib, yang tak mungkin direstui. Tak berhenti sampai di situ,
ayah Marwa sampai menegaskan penghinaan pada Ali, ayah Imran hingga menyulut
amarah dan ketegangan, yang tak henti-henti dipergunjingkan di tengah kampung.
Pengarang
membuhul roman ini dengan latar belakang budaya santri yang kental. Oleh
karenanya, jangan dibayangkan percintaan Imran-Marwa sebagai hubungan yang liar
sebagaimana pergaulan muda-mudi masa kini. Mereka hanya bertemu di majelis
pengajian, tanpa berbincang-bincang secara langsung, apalagi bergandengan
tangan. Kontak fisik paling mungkin hanyalah saling bersitatap yang kemudian berujung
dengan senyuman yang terus dikenang saban petang. Selebihnya, diselesaikan
dengan surat-menyurat sebagaimana layaknya cara berkasih-kasihan di era tahun
80-an. Jauh sebelum demam Blackberry dan Android mewabah dan menjangkiti siapa
saja. Dengan jalan pengisahan yang jadul dan usang begitu, maka pertaruhan
roman ini tidaklah main-main, pengarang sedapat-dapatnya harus merancang
kekuatan ungkapan prosaik, yang sama sekali berbeda dengan jaman pesan pendek
yang sedang merajalela di kurun ini.
Dalam
beberapa bagian, narasi-narasi yang ditancapkan terasa masih verbal, cair, dan
datar, hingga pembaca akan bergegas melampauinya untuk sampai pada
dialog-dialog eksperimental sesuai dengan semangat masa itu. “Hati hanya satu,
maka cinta tak bisa dibagi,” demikian ungkap Imran suatu ketika. Ungkapan yang genuine, khas, memorable line, dan cepat bersarang di benak pembaca.
Imran
dan Marwa sejatinya tak pernah goyah, apalagi menyerah. Mereka berjanji akan
terus bersetia hingga tiba masanya Haji Nurcahya luluh dan berdamai dengan
ketulusan cinta mereka. Marwa dikirim ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah, sementara
Imran memang sejak mula bertekad hendak kuliah di Yogyakarta. Mereka terpisah
hampir 5 tahun lamanya, meskipun surat-menyurat terus berlangsung. Janji-janji
terus disemaikan. Impian masa datang yang bahagia terus pula dibayangkan. Marwa
hanya diijinkan pulang ke Sembungan bilamana Imran tidak pulang. Begitu
sebaliknya, hingga mereka tidak pernah bertemu muka. Masing-masing hanya dapat
mengandalkan kabar dari Muniri, Rowiyatin, Zamroni, Hikmah,
Sirhadi, Rufiah, Khotibi Miratul, teman-teman karib yang selalu ada di
Sembungan. Itu saja sudah terasa melegakan, meski rindu yang menggebu tentulah tidak
tertuntaskan.
Sialnya, pesta sudah usai. Tepat
pada saatnya Imran hendak menaiki bis menuju Jogja, Marwa dan teman-temannya
dari Jakarta sampai di Sembungan. Sekilas Marwa melihat Imran, namun bis sudah
melaju kencang. Alih-alih kepulangan
itu melunaskan rindunya pada Imran, Marwa malah membawa persoalan; Maman.
Muniri, Rowiyatin, dan sejawat-sejawat Imran yang lain mencurigai laki-laki
asal Bogor itu sebagai kekasih baru Marwa, dan itu berarti ia telah berpaling
dari Imran. Apalagi, Haji Nurcahya kemudian tergiur dengan basa-basi Maman. Gagah,
kaya, dan sudah rela berkorban mengantarkan putrinya jauh-jauh dari Jakarta.
Di pihak Imran, pengarang
menghadirkan karakter Dewi Halimatus Sa’diyah, lagi-lagi sosok gadis santri. Hubungan mereka sangat karib, bahkan
Dewi pun diam-diam kagum pada kepribadian dan kesalehan Imran. Petaka kedua tak
terelakkan. Betapa tidak? Saat Marwa menyambangi Imran ke pesantren, tempat
Imran beraktivitas sembari kuliah, ia beroleh kabar bahwa Imran, Dewi dan Zaid baru saja bertolak
ke Jakarta. Ketiganya terpilih sebagai peserta studi banding di sebuah
perusahaan bonafid di Jakarta. Marwa dibakar cemburu. Sementara itu, saat
menyambangi tempat kos Marwa di bilangan Grogol, Imran tiba-tiba harus mundur
selangkah. Pasalnya, ia melihat laki-laki lain di pintu kamar Marwa. Tak
tanggung-tanggung, dari kejauhan Imran menyaksikan laki-laki itu mencium tangan
Marwa. Hangat, mesra, penuh gairah. Hal yang belum pernah ia lakukan pada
kekasihnya. Laki-laki itu tidak lain adalah Maman, si antagonis kita.
Lambat laun nama Imran semakin
bersinar di kampung halaman. Calon sarjana Pertanian yang tak tercerabut dari
akar kesantrian masa remajanya. Aktivis organisasi. Cerdas, santun, dan
bergelimang prestasi. Orang-orang Sembungan memperkirakan masa depannya akan
cemerlang, meski ladang tembakau ayahnya telah terjual untuk membiayai
sekolahnya. Surat-surat Imran pada Marwa tidak lagi berbalas. Ia sudah
menjelaskan duduk-perkara hubungan pertemanannya dengan Dewi, namun itu ternyata
tidak bisa lagi mengubah keadaan. Marwa berbalik membencinya, hingga ia jatuh
ke pangkuan Maman. Keluarga Nurcahya berpaling memuja-muja Imran, dan berubah
merestui hubunganya dengan Marwa. Tapi apa boleh buat, Marwa tidak lagi bisa
percaya pada kesetiaan Imran. Ia menuding Maman telah berkhianat, dan cinta
mereka tak perlu diselamatkan.
Sedalam apa dosa yang telah
diperbuat Marwa dan Maman, sebesar apa ketakjuban keluarga Nurcahya pada
kehalusan budi Imran--pemuda
miskin yang kini telah naik-daun menjadi orang paling berpengaruh di perusahaan
perkebunan milik tuan Subrata yang berkantor di salah satu gedung jangkung di
Jakarta--dan apa upaya
Muniri, Rowiyatin, Dewi dan Zaid untuk
menyembuhkan luka-luka Imran, rasanya tidak perlu saya singkapkan dalam ulasan ini.
Yang pasti, setelah beroleh kabar tentang kematian Marwa--beberapa saat selepas kelahiran bayi yang diwasiatkannya bernama
“Imran Maulana”--Imran
benar-benar jatuh dan terpuruk ke dalam liang kepedihan yang tak terpermanai.
Menyelami kepedihan yang
terpiuh-piuh dalam roman ini seperti menziarahi pusara yang telah digali Imran
guna menyemayamkan jenazah kenangan masa silamnya bersama Marwa. Meski begitu, “Hati hanya satu, maka cinta tak bisa
dibagi,” Imran tak hendak bergeser sedikit pun. Cintanya pada Marwa tidak
mungkin disudahi, sebagaimana cintanya pada Tuhan. Tarikh Marwa dalam hidupnya
telah menjelma sebagai nyawa, sebagai nyala semangatnya, sebagai keriuhan dalam
kesepiannya. Selama-lamanya. Sekekal-kekalnya…
Comments