Kami Mudik, Maka Kami Ada...


Damhuri  Muhammad



(artikel ini sebelumnya telah disiarkan di harian Kompas, 11 Juli 2015)
 

Silsilah linguistik mudik dapat diurai dari kata dasar udik. Dalam ungkapan yang menyehari, mudik jamak dipahami sebagai perjalanan menuju hulu. Oleh karena wilayah hulu itu jauh di pedalaman, terpelosok di lereng-lereng perbukitan, maka terminologi udik mengacu pada daerah pedesaan, atau perdusunan. Demikian peneliti Sastra Melayu, Maman S Mahayana, menjelaskan dalam sebuah konferensi di UI, beberapa tahun lalu.




Di sini makna udik  masih stabil, netral, dan tak bernada pejoratif.  Bila saya mengaku “orang udik,” itu hanya berarti, saya datang dari dusun pedalaman atau dari pelosok jauh. Tapi seiring dengan pesatnya pertumbuhan kota di berbagai wilayah, dan Jakarta terpancang sebagai parameter segala bentuk kemajuan, terma udik mulai memikul beban. Maknanya bergeser menjadi wilayah yang belum tersapu peradaban. Kampungan, tertinggal, terbelakang, melekat sebagai sidik-jari kata udik. Ia bertolak belakang dengan kemajuan, ketumbuh-pesatan, dan keterdidikan masyarakat urban.
Saban tahun, menjelang lebaran hingga selepas Idul Fitri, dua kutub yang bersimpang jalan itu, bertemu dalam momentum Pulang Mudik. Jutaan orang berduyun-duyun menuju kampung halaman. Betapapun kritisnya ekonomi keluarga, berlebaran tetaplah di tanah kelahiran. Semelonjak apapun ongkos mudik, tetap tak semahal kesempatan berkumpul dengan keluarga, dan sanak-famili di hari lebaran. Kita rela terjebak kemacetan berjam-jam lamanya, mau berhimpitan di atas motor bebek di bawah terik matahari siang, senang hati berdesak-desakan dalam antrean guna memperoleh tiket mudik. Penyair Leon Agusta, dalam Gendang Pengembara (2012) secara satiristik menggambarkan peristiwa itu. TOTAL KORBAN TEWAS DALAM 13 HARI/596 ORANG/Judul sajak ini adalah judul berita utama/pada sebuah koran Ibukota/Bukankah kami bahagia? (sajak Orang Jawa Mudik Lebaran).
Di masa lalu, bertemu dengan ibu-bapak dan segenap keluarga besar di tanah asal mungkin hanya dapat dicapai dengan perjumpaan fisik, dan pilihannya selalu jatuh pada momentum lebaran. Tapi, di era telpon seluler yang begitu massal ini, berbicara langsung dengan mereka saban pagi pun, nyaris tak ada kendala. Jalur transportasi udara memungkinkan penerbangan dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan, atau Sulawesi ditempuh secara Pulang-Pergi (PP). Orang bisa mudik setiap akhir pekan. Tapi, pasalnya tak sesederhana itu. Mudik bukan hanya urusan sungkem pada ayah-ibu, bukan sekadar melunaskan kerinduan nostalgik pada alam kultural tempat kita tumbuh dan dibesarkan--sebelum merantau, lalu menjelma manusia urban.
Mudik juga ikhtiar melarikan diri dari kebisingan kota dengan segala persoalannya. Kemajuan, ketumbuh-pesatan, keterdidikan yang tadi  diniscayakan melekat pada insan perkotaan, tidak begitu dalam kenyataannya. Pergulatan demi pergulatan guna mempertahankan hidup di Jakarta misalnya, tidak lagi memungkinkan kita merawat akar keguyuban dan kehidupan komunal bawaan dari kampung. Rutinitas membuat orang kota menjadi individu yang gemar menyendiri di balik pagar rumah sendiri. Tak cukup waktu untuk bergaul, apalagi membaur dengan sesama warga kota. Kita riang dan antusias untuk bertemu klien atau rekan bisnis, tapi mencari banyak alibi guna menghindar dari forum arisan RT, atau pertemuan rutin komunitas perantau. Basis komunal telah beralih-rupa menjadi mental individual yang miskin kepekaan sosial. 
Di kota besar pula, karena himpitan banyak persoalan, kita hampir tidak mampu lagi mendefinisikan diri sebagai manusia. Pejalan kaki yang terengah-engah melangkah lantaran jalur pedestrian penuh-sesak oleh lapak kaki lima, masih mungkin ditabrak sepeda motor yang sewaktu-waktu memanjati trotoar, terutama saat kemacetan Jakarta sedang parah. Bila Tuan pengendara roda dua, cobalah sesekali berhenti guna memberi jalan pada pejalan kaki yang melintas. Bila kurang segera, Tuan akan dibombardir oleh suara klakson berantai yang dapat meremukkan gendang telinga, ditambah caci-maki, lengkap dengan bahasa dari  kamus kebun binatang.
Di titik ini, manusia urban tak lebih dari semut yang sewaktu-waktu bisa digilas kuasa jalanan. Jangan coba-coba menegur pedagang sayur di pasar tumpah yang sengaja menyumbat jalan umum dengan gerobaknya. Ia akan lebih sangar karena merasa telah membayar sewa entah pada siapa. Kota besar bagai rimba raya dengan aturan yang hanya melingkar di pangkal lengan. Siapa yang kuat akan aman, sebelum datang yang lebih kuat lagi. Sedangkan si lemah terpinggir ke tepi-tepi, sebagai kutu-kutu yang bisa diinjak sewaktu-waktu.       
Warga kota metropolitan, apapun profesi dan status sosialnya, tak lebih dari sekrup kecil dari sebuah mesin urban raksasa. Tak gampang menemukan medan aktualisasi diri, apalagi mencari pengakuan. Di atas langit, masih banyak lapisan langit yang lain. Di atas yang kaya, ada yang lebih kaya lagi. Di atas yang sukses, ada yang lebih sukses lagi. Di atas yang beringas, ada yang lebih beringas lagi. Penghargaan atas eksistensi personal--pekerjaan, jabatan, pendidikan--sulit direngkuh di padang gersang perkotaan yang panas, dan  tak manusiawi.
Di sinilah kerinduan pada “yang udik” terus menyala. Di kampung, Tuan bisa menangguk puja-puji sebagai saudagar tersohor. Boleh jadi pula ditahbiskan sebagai tauladan bagi calon perantau yang masih gamang untuk hengkang dari kampung. Tapi celakanya, orang kampung masa kini tidak lagi se-udik yang kita duga. Televisi yang saban hari mengumbar kemewahan lewat sinetron-sinetron tak bermutu, informasi yang mengalir deras bagai air bah berkat kecanggihan gawai, termasuk histeria politik lokal yang bergelimang iming-iming uang, telah mengubah mental mereka menjadi lebih urban, dan hedonistik ketimbang manusia urban sejati.
Maka, pengakuan itu semakin mahal harganya. Decak-kagum hanya tersedia bagi kepulangan yang menghela keberlimpahan dan rupa-rupa kemewahan. Mobil mewah seri terkini mesti merayap di jalan berlubang.  Derma dan sumbangan harus disebar di setiap penjuru mata angin, termasuk janji-janji memugar kantor desa yang rusak-parah. Bila syarat itu tak mungkin dipenuhi, masih bisa dengan sedikit kamuflase. Sewalah mobil rental lengkap dengan sopirnya, berlagaklah seolah-olah itu milik pribadi. Bila beruntung, orang kampung akan mengacungkan jempol. Inilah laku berminyak air. Hakikatnya air, tapi dipaksakan tampak sebagai minyak.
“Dulu pemudik membawa pengetahuan dan kisah-kisah sukses yang berfaedah, kini kita mudik hanya untuk pamer kekayaan,” begitu sinisme seorang netizen. Mudik mustahil dibendung. Rupa-rupa kepalsuan demi meraih aktualisasi diri akan semakin kreatif. Tapi, ada laku mudik yang sebenarnya lebih menjanjikan.Bukan kepulangan spasial-temporal yang berulang-ulang, tapi mudik substansial-transendental. Pulang ke pangkal jalan, ke ranah kefitrian, lalu bertahan untuk tidak kembali terkotori…

*artikel ini telah menjadi bagian dari buku Takhayul Milenial, yang diterbitkan oleh BinaBuku, Jakarta 2020. Sahabat pembaca yang ingin memiliki buku tersebut, dapat melakukan pemesanan di sini:






Comments

Popular Posts