Pergaulan Tanpa Perjumpaan
Damhuri Muhammad
Sepuluh tahun lalu,
warung kopi barangkali masih lazim menjadi tempat berkumpul, ruang yang lapang
untuk bertemu-muka, dan bercengkrama dengan kawan-kawan sebaya. Tapi di era
digital ini, kedai kopi--atau yang di
kota-kota besar dimoderenkan menjadi cafe--telah beralih-rupa menjadi ruang untuk bersembunyi, tempat yang
paling layak guna mengasingkan diri. Saban petang selepas jam kerja, dua orang yang
selama berminggu-minggu duduk berdampingan meja di café yang sama, bisa tidak
saling menyapa, apalagi berkenalan.
Masing-masing sibuk
dan asyik memencet keypad telpon
pintar, tanpa peduli kanan-kiri. Keganjilan itu lumrah dan mungkin bisa
dimaklumi, karena hampir semua pengunjung di café itu datang dengan itikad yang
serupa; mencari kesendirian. Maka, jangan mengharapkan ada tegur-sapa yang ramah
di sana--sebagaimana perjumpaan di kedai kopi masa
silam--kecuali basa-basi yang tampak sangat dipaksakan.
Ini
pula yang terjadi saban pagi di gerbong-gerbong kereta api listrik (commuterline) di Jakarta. Dalam situasi
keberhimpitan--ketika lutut nyaris tak bisa digerakkan
dan kuduk hampir beradu dengan siku penumpang lain--setiap orang masih nyaman dan tampak lincah
memainkan tombol-tombol telpon pintar dengan sebelah tangan, sementara tangan
satu lagi tetap kuat berpegangan. Orang-orang yang bahu dan lengan mereka setiap
hari saling bersentuhan di gerbong yang sama, boleh jadi tak pernah saling menyapa,
apalagi berbincang dengan saling bertatapan, karena mereka mempercayai dunia
lain yang lebih menggembirakan; media
sosial. Bahkan, agar terhindar dari percakapan, banyak yang sengaja memasang perangkat
handsfree di telinga masing-masing. Bagaimana
kalau ada yang tiba-tiba pusing, lalu pingsan dalam situasi penuh-sesak itu?
Beberapa
orang sahabat lama yang bertemu setelah belasan tahun mereka terpisah oleh
jarak dan waktu, kecewa karena reuni singkat itu jauh dari harapan. Betapa
tidak? Setelah berbasa-basi sekadarnya, lantas sedikit bernostalgia tentang
masa-masa bersama di sebuah restoran, satu per satu kemudian sibuk dengan gawai
sendiri-sendiri. Meja pertemuan yang semula dibayangkan bakal riuh dan riang,
tiba-tiba sunyi dari obrolan dan canda-tawa. Kerinduan yang meluap-meluap itu tak
terlunaskan. Rencana pertemuan selanjutnya mungkin tak layak dilanjutkan. Reuni
itu dingin dan tak bermutu.
Begitulah
kemarau kehangatan yang sedang melanda, karena kita gandrung bersembunyi di rumah
virtual dalam telpon pintar. Hubungan persahabatan yang secara manusiawi direkat
oleh ekspresi muka yang berseri-seri, kini menjadi sekadar angka-angka jumlah friendship di facebook, jumlah follower di twitter dan instagram.
“Untuk apa berjumpa bila setiap urusan beres dengan cara mengudara di dunia
maya,” begitu kira-kira semboyannya. Lalu, di mana wajah (le visage) yang dalam gagasan filsuf Emmanuel Levinas (1906-1995)
dipandang sebagai syarat utama perjumpaan? Bagi Levinas, hidup bersama adalah hidup
yang terus berdenyut dengan pertemuan antarwajah. Demikian pula dengan
keseharian kita. Kekariban sesungguhnya hanya terwujud atas dasar muka bertemu
muka. Ekspresi dan emosi yang terpancar di raut wajah adalah bagian paling inti
dalam relasi persahabatan.
Pada
tingkat yang lebih janggal, telpon pintar telah sukses membuat banyak orang
gamang pada perjumpaan. Banyak yang hampir percaya, bukan hanya muka dan
segenap anggota tubuh, tapi perasaan juga bisa di-online-kan. Sepasang kekasih merasa telah berbahagia dengan
romantika artifisial via blackberry
messenger (BBM) atau whatsapp
messenger (WA). Keduanya saling berimajinasi, memupuk kerinduan, saling
bertukar-gambar, tapi takut menghadapi perjumpaan fisik. “Jumpa-darat” hanya akan menggerogoti angan-angan dan
khayalan, mendistorsi semarak-nyala kerinduan, dan sangat mungkin menyebabkan
perpisahan. Tapi, apanya yang berpisah? Bukankah bertemu saja belum?
Di
masa lalu, bila kita hendak mencari sebuah alamat, ada pribahasa lama yang
selalu memandu; malu bertanya sesat di
jalan. Maka, sebelum tiba di tujuan, kita bisa dua-tiga kali bertanya pada
warga sekitar. Bukan bertanya pada aplikasi Global
Positioning System (GPS) di perangkat telpon pintar, sebagaiman kini. GPS
mungkin tak pernah salah dalam menunjuk arah, tapi ia mengasingkan para penggunannya dari relasi
sosial yang lumrah, menjauhkan kita dari keramahan (hospitality) yang sejak lama telah menjadi basis kebudayaan kita.
Banyak orang tak lagi mengandaikan keberadaan manusia di sekitarnya, atau
bahkan tidak lagi memerlukannya. Bila tersesat, bukankah ada nomor yang bisa
dikontak? Tapi bagaimana kalau signal tiba-tiba
hilang, atau telpon pintar tiba-tiba kehabisan daya?
Demam
gawai tak mungkin dibendung. Harganya semakin terjangkau. Selain karena
iming-iming cicilan ringan, kita memang gemar berbelanja barang-barang yang sebenarnya
tak dibutuhkan. Menurut data terkini Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik, Kemkomimfo RI, seperti diberitakan Kompas (13/4/2015), sejak 2013, jumlah gawai yang terdiri dari telpon
pintar, komputer genggam dan komputer tablet, telah melampaui jumlah penduduk
Indonesia. Jumlah gawai 240 juta unit, sedangkan jumlah penduduk Indonesia
sekitar 230 juta. “Jangankan anak-anak sekolah, tukang beruk pun kini punya hape,” begitu sinisme seorang petani di
kampung saya, saat anak perempuannya--kelas III SMP--merengek-rengek minta dibelikan telpon genggam layar-sentuh.
Di desa pedalaman, seorang petani lebih gelisah bila tak ada pulsa di telpon
genggamnya, ketimbang tak ada beras di dapurnya.
Di
pelosok-pelosok jauh, dalam jarak hanya empat-lima rumah, seorang ibu rumah
tangga yang hendak meminjam wajan dan
rupa-rupa perkakas makan untuk sebuah hajatan, tak perlu berjalan kaki menyampaikan
maksudnya. Cukup dengan menelpon, dan beres persoalan. Tapi, bagaimana dengan
kekerabatan bertetangga yang dulu berpijak pada hubungan antarmuka? Bagaimana dengan
etos keguyuban yang tak mungkin ada tanpa bertemu-muka? Rumah virtual yang kita
pancangkan di telpon genggam telah merenggutnya sedemikian rupa, hingga kita
merasa tidak lagi butuh perjumpaan ragawi. Dunia cyberspace memang telah melipat ruang spasial, tapi pada saat yang
sama, ia juga menggali jurang sosial yang nyaris tak terjembatani. Inilah etos pergaulan
tanpa perjumpaan di era digital. Alih-alih
memperkokoh relasi sosial, ia justru melahirkan personalitas yang a-sosial…
Comments