Politik Tanpa Urat Malu
Damhuri Muhammad
(versi cetak artikel ini tersiar di harian Padang Ekspres, Kamis, 17/9/2015)
Sekali
lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Begitu kearifan lama, yang dalam riuh
gelanggang politik masa kini tiada berdengung lagi. “Sekali lancung ke ujian,”
yang dapat ditafsirkan dengan “sekali saja berbuat jahat,” bisa menggugurkan
kepercayaan orang selamanya, dalam kontestasi politik justru menjadi modal
sosial. Kejahatan korupsi misalnya, selalu mengundang perhatian, pelakunya
kerap tampil di layar kaca, lalu tersohor seketika. Terkenal atau tercemar
bukan soal pokok lagi. Batas antara keduanya bagai lebih tipis dari kulit
bawang. Yang pasti, dua kata itu mengandung apa yang hendak direngkuh para
politisi dalam persaingan menuju kekuasaan;
popularitas.
Dalam
kenduri demokrasi menjelang Pilkada serentak pada Desember 2015, popularitas
sekali lagi menjadi kata kunci dan syarat-rukun paling mula. Tak dapat
disangkal, mantan Napi--apalagi Napi
kasus korupsi--adalah individu-individu yang raut
mukanya akrab dalam ingatan kita (ternama meski tercela), dan tentu punya
kesanggupan membiayai ongkos politik yang tinggi. Itu sebabnya Parpol menimbang
mereka berpeluang memenangkan Pilkada. Maka, mengharapkan kemampuan leadership yang andal, komitmen pada
perubahan, visi-misi guna mewujudkan kesejahteraan rakyat, akan terdengar samar
saja dalam perayaan kemasyhuran itu.
"Kita
punya masa lalu. Saat persoalan sudah selesai kita harus berbaik sangka. Kita
menghargai orang yang telah tobat," kata fungsionaris partai pengusung
Cabup eks-Napi di Kabupaten 50 Kota, Sumbar (www.tempo.co 31/7/2015). Cabup
yang sudah resmi terdaftar di KPU itu adalah mantan anggota DPR-RI (2004-2009),
terpidana
kasus korupsi alih-fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Kabupaten
Banyuasin (Sumsel) menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api. Parpol biasanya punya
ukuran yang diperoleh dari hasil survei internal sebelum mengusung calon. Pertanyaannya,
pemilih dari jenis apa yang menjatuhkan
pilihan pada eks-Napi? “Barangkali itu kerumunan
orang-orang malas yang gampang lupa,” begitu sinisme M Rahmat Yananda, penulis
buku Branding Tempat; Membangun Kota,
Kabupaten, dan Provinsi Berbasis Identitas (2014). Kejahatan berat yang pernah menimpa kita mungkin dapat dimaafkan,
tapi biasanya sulit dilupakan. Mungkinkah kita begitu tergesa melupakan--sekaligus memaafkan--koruptor
yang telah menggerogoti uang rakyat dengan akibat yang terasa sampai ke periuk
nasi kita? Ajaibnya, ada yang dengan sadar menaruh kepercayaan kepadanya.
Calon eks-Napi muncul pula di Manado, Sulawesi Utara. Ia mendaftarkan diri
dengan kepala tegak dan segenap kegirangan tim pemandu sorak. Cawalkot itu bebas
Maret 2015, setelah menjalani 7 tahun hukuman karena dinyatakan bersalah dalam
perkara korupsi APBD Kota Manado tahun 2006, senilai Rp 64 miliar. Begitu juga
di Semarang, satu dari tiga pasangan
Cawalkot yang terdaftar juga mantan Napi korupsi. “Saya terbuka mengenai status
hukum saya. Silahkan warga kota Semarang menilainya,” kata sang calon (Kompas, 29/7/15). Sampai di sini, kita
patut bertanya, di mana sesungguhnya biang penyakit itu? Undang-undang, partai
politik, atau justru menjalar dalam kerumunan pemilih yang tak terdefinisikan?
Putusan Mahkamah Konstitusi 9 Juli 2015 yang menyatakan
bahwa mantan narapidana dapat mengikuti Pilkada tanpa menunggu jeda lima tahun
setelah menjalani hukuman, memang tak dapat dibantah. Tapi selayaknya orang
yang pernah bersalah--sengaja
atau tak--dalam kelaziman
adab kita, biasanya akan menyingkir ke tepi-tepi, menjauh dalam jarak yang
tiada mungkin dijangkau orang banyak, bila perlu melenyapkan diri selamanya. Lebih
baik mati berkalang tanah, ketimbang hidup berkeranda malu.
Jangankan karena sebuah kesalahan fatal, hanya lantaran
haluan politik yang tak lagi seiring jalan, Bung Hatta melenggang turun dari
panggung kekuasaan. Dengan gagah dan berwibawa ia meninggalkan jabatan Wakil
Presiden pada 1956. Laku yang sebelumnya juga ditempuh politisi kawakan Natsir.
Setelah berselisih paham dengan Soekarno, pada 1951 ia mundur dari jabatan
Perdana Menteri. Kedudukan yang sejatinya masih pantas ditempati, namun ia
merasa tiada patut lagi mengenggamnya.
Etos “pantas” dan “patut” bagi
Hatta dan Natsir berakibat besar pada kemaslahatan rakyat.
Urat malu politisi masa kini telah direnggut oleh hasrat
berkuasa. Kepantasan dan kepatutan menguap dalam ambisi yang tiada kunjung
henti. Panggung demokrasi telah membelakang-bulat pada keteladanan warisan para
pemimpin masa silam. Bila
politik dulu adalah ikhtiar memperjuangkan gagasan demi kepentingan semua
orang, politik kini adalah arena balapan mendulang suara dengan cara menjajakan
popularitas. Bukan popularitas akibat pencapaian-pencapaian penting, tapi
ketersohoran palsu yang dirancang di balik layar, dan dimodali para cukong.
Penjahat bisa tampil dalam sosok yang sudah bertobat. Pasang badan sebagai orang
yang berpihak pada kepentingan rakyat, dengan kefasihan berbahasa yang
didiktekan oleh para konsultan politik. Popularitas boleh jadi menjulang
tinggi, tapi kelayakan memimpin berkarat di telapak kaki. “Mereka kami usung
karena popular dan berpeluang memenangkan Pilkada,” dalih seorang tokoh partai
pengusung Cawalkot eks-Napi di Manado (Kompas
1/8/15).
Pilkada
serentak yang diharapkan bakal melahirkan pemimpin-pemimpin bermutu, jauh-jauh
hari justru menimbulkan keterkejutan yang juga serentak. Dari 838 pasangan
calon yang telah terdaftar dalam Pilkada serentak tahap pertama, tercatat 9 orang mantan Napi, dan semuanya didukung
Parpol. Rata-rata mereka adalah bekas Kepala Daerah (kabupaten-kota), anggota
DPRD, dan DPR-RI. Artinya, mereka pernah dipercayai, tapi kemudian mengkhianati
amanah rakyat. Akan lebih menggemparkan bila nanti ada yang sukses memenangkan
Pilkada. Konstitusi, partai politik, dan kita semua--insan pelupa dan pemaaf--adalah kreator dari kepemimpinan yang
dekaden itu. Tiga unsur itu pula yang telah berperan penting dalam perhelatan
demokrasi level Pilkada dengan produk gagal bernama; politik dinasti. Maka, mengecam
apalagi menyesali napas kepemimpinan yang berdenyut tanpa urat malu, bagai
membasuh muka saban pagi, dengan air liur sendiri.
Meneriakkan
yel-yel dukungan pada calon-calon Kepala Daerah eks-Napi adalah menegakkan
tiang-tiang politik tanpa urat malu. Mendukung keternamaan yang bergelimang ketercelaan
seperti melihat masa depan dengan kacamata kuda. Tangan kotor yang berikrar
hendak mengemban laku membersihkan, adalah kemustahilan yang terang-benderang. Menobatkan
mantan penjahat sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap akal-sehat…
Damhuri Muhammad
Sastrawan
Comments