Terorisme dan Bunuh Diri Ganda

-->
 
-->
Damhuri Muhammad

 
-->

(versi cetak kolom ini tersiar di majalah Esquire Indonesia, edisi Januari 2016)




Luka yang menganga di Paris, selepas peristiwa berdarah 14 November 2015, adalah luka yang perih bagi seluruh umat manusia. Ratusan orang tak berdosa tewas di gedung teater Bataclan, saat menyaksikan aksi panggung band rock asal California (AS), The Eagles of Death Metal. Penonton panik, lalu berhamburan mencari perlindungan, lantaran digasak tembakan membabibuta. The Guardian (14/11/15) melaporkan, 89 orang tewas di sana. Nick Alexander, merchandise manager TEODM, salah satu korban tewas malam itu. "Ia berdarah karena tak ingin orang lain tersakiti," ungkap Jesse Hughes, vokalis TEODM sambil bercucuran airmata.

Darah juga tertumpah di Stade de France, stadion sepakbola kebanggaan Prancis, saat laga persahabatan Prancis-Jerman berlangsung, dan presiden Francois Hollande yang berada di lokasi segera diamankan. Dari enam lokasi penembakan (disertai penyanderaan), dan ledakan akibat bom bunuh diri, 129 orang tewas, 89 di antaranya di teater Bataclan, 352 orang lainnya cedera, termasuk 99 yang luka serius. The Telegraph (14/11/15) menulis, serangan itu aksi paling mematikan di Prancis sejak Perang Dunia II, dan di Uni Eropa sejak bom kereta api Madrid 2004.

Beberapa hari selepas itu, media-media internasional penuh sesak oleh kosakata Terorisme, ISIS--yang mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab--serta Perang atas Terorisme. Kemarahan yang sedemikian murka itu kembali mengingatkan kita pada maklumat George W Bush, selepas malapetaka 9/11 (2001). Ini bukan perang bangsa Amerika. Apa yang terguncang bukan hanya kebebasan Amerika. Ini perang dunia. Ini perang peradaban.

Tapi, bagaimana cara memerangi terorisme? Ia bagai makhluk tanpa tubuh. Bila disebut musuh, ia musuh-musuh tak berteritori, laksana jiwa-jiwa yang bergentayangan, di mana-mana. Meski banyak yang mati, itu hanya mati-raga, bukan mati-sukma. Terorisme tak akan bisa mati, lebih-lebih sejak kosakata “terorisme” itu sendiri dilahirkan, atau lebih tepatnya; diciptakan. Para filsuf mengamsalkannya seperti unslaying hydra, hewan imajiner dalam mitologi Yunani, yang tak bisa mati. Dalam khazanah cerita wayang Jawa, ia seperti Candabirawa, raksasa sakti, jimat raden Narasoma, yang patah tumbuh, hilang berganti.



Prancis, sesungguhnya tak berjarak dengan terma “teror.” Adalah Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), politisi Prancis sendiri, yang pertamakali menggunakan kata itu. Proudhon mendeklarasikan diri sebagai anarkis tulen, penganut anarkisme yang bercokol di era Revolusi Prancis. Penganut anarkisme Rusia, Mikhail Bakunin (1814-1876)--sebagaimana dicatat  Teguh Wahyu Utomo--menetapkan langkah-langkah penting dalam usaha menghancurkan struktur sosial, di antaranya;  bunuh mereka yang paling cerdas; culik orang kaya dan orang berkuasa; susupi para politisi (untuk menjatuhkan mereka); bantu penjahat (untuk membingungkan masyarakat tentang hukuman dan keadilan); bela mereka yang membuat pernyataan berani dan berbahaya; dan matangkan para pendukung kehancuran sistem sosial. Sejak 1875 hingga 1912, kaum anarkis membunuh, atau berusaha membunuh para pemimpin puncak di sembilan negara--termasuk Presiden AS, William McKinley, pada 1901. Di era 1970-an, Brigade Merah berhasil menghabisi PM Italia, Aldo Moro. Kelompok teroris abad 20 antara lain, Tentara Merah di Jepang, Baader-Meinhof di Jerman, Weatherman di AS, gerakan Zapatista di Meksiko, hingga Al Fatah yang melawan Israel di Palestina.

Bagi filsuf Antonio Negri (2004), terorisme adalah konsep politik. Ia merujuk pada tiga fenomena utama; pembangkangan pada pemerintahan yang sah, aksentuasi kekerasan politik oleh negara terhadap warganya, dan penggunaan kekuatan yang menyalahi rules of engagement, misalnya penyerangan terhadap warga sipil. Dengan begitu, pijakan utama dari terorisme adalah politik. Bukan agama, sebagaimana yang disangka selama ini. Pemikir muslim, Bassam Tibi (1988), menegaskan bahwa fundamentalisme yang melahirkan terorisme adalah sebuah ideologi politik, bukan agama Islam. Fundamentalisme adalah ketaatan pada keyakinan dengan cara pandang politis. Membedakan antara Islam sebagai keimanan dengan ideologi politik Islam sebagai fundamentalisme agama, sangat penting,  untuk menyangkal klaim para teroris sebagai representasi Islam.

Itu sebabnya, filsuf Slavoj Zizek, dalam Robespierre: Virtue and Terror (2007)--sebagaimana dikutip Zen R.S (2015)--tak bisa membuat jarak antara politik dengan kekerasan. Robespierre yang menjadi pusat kajian Zizek dalam buku itu, adalah pemimpin kelompok teroris Jacobin, yang mengambil-alih Prancis pasca revolusi 1789. Mereka menghancurkan Bastille dan melengserkan Louis XVI. Lalu muncullah “rezim teror” yang dipimpin Robespierre dengan para kaki-tangan yang sangat ganas. Siapapun yang kontra-revolusioner mereka habisi. 20 ribuan nyawa melayang di masa kepemimpinan Robespierre. Termasuk Raja Louis XVI dan Ratu Antoinette (Zen RS,  2015).

Filsuf Prancis Jacques Derrida (1930-2004) membaca retorika “terorisme” dan “perang atas terorisme” dengan logika “oto-imunitas” (auto-immunity), yang berkesimpulan bahwa, keduanya sama-sama bermasalah, dan pada tingkat yang paling nyata, sama jahatnya. Subyek teroris yang terus melakukan perlawanan--tapi pada saat itu pula menyudahi  hidupnya dengan bom bunuh diri--sama bermasalahnya dengan kedigdayaan adikuasa AS dan sekutu Eropanya, yang mendabik dada hendak membasmi terorisme, termasuk negara-negara yang dituding melindunginya (Irak, Afghanistan, atau Palestina). AS dan sekutunya, tak pelak lagi, kemudian menjadi penyebab dari kejahatan yang hendak diberantasnya. “Begitu seterusnya, sampai tak berkesudahan,” kata Derrida, dalam sebuah wawancara dengan Giovanna Borradori pasca peristiwa 9/11. Hasil wawancara itu dibukukan dalam Philosophy In a Time of Terror (2003).

Pelaku teror adalah personalitas yang terbelah. Ia berdoa bagi terciptanya dunia baru yang bebas dari penindasan dan hegemoni, tapi kemudian ia menghancurkan dirinya sendiri, bersama korban-korban yang dikehendakinya. Setali tiga uang dengan negara adikuasa yang melatih dan mempersenjatai kelompok mujahidin Afghanistan guna melawan invasi Soviet. Setelah Perang Dingin usai dan AS ternobat sebagai jawara, kelompok terlatih itu berbalik menyerang tuannya. Bagai petaka membesarkan seekor anak singa. Setelah besar, ia memangsai orang yang telah menghidupinya.  

Inilah bunuh diri ganda. Baik terma “terorisme” maupun “perang atas terorisme” sama-sama mengandung cita-cita mulia mewujudkan tata dunia baru dengan basis ideologi yang saling berpunggungan, tapi pada saat bersamaan, keduanya sama-sama bunuh diri. Lingkaran setan tak berkesudahan. Celakanya, dua terma besar ini telah menjadi kata kunci, bahkan “berhala” dalam arus pemberitaan yang tak terbendung di media-media abad mutakhir ini. Terorisme, seperti disinyalir Magnis Suseno (2009), bukan kata yang konsisten. Dua pemimpin kelompok teroris Yahudi, Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, berhasil menduduki kursi PM Israel. Sebelum itu, keduanya tercatat sebagai pemimpin “Palmach” (1940) dan “Irgun” (1944), organisasi teroris paling dibenci Inggris dan dunia internasional. Teroris yang dulu dikutuk dan dicela, kini dipuja sebagai pahlawan.

Terorisme tak bisa diniscayakan begitu saja bentuk tubuhnya, sidik-jari ideologinya, muasal etos perlawanannya, lalu genderang perang ditabuh guna membinasakannya. Sepanjang kesewenang-wenangan makna dipaksakan pada terma “terorisme” dan “perang atas terorisme”--yang tak henti-henti dikampanyekan--bunuh diri ganda tak akan berakhir. Telinga dunia akan terus mendengar lafal doa dari orang yang memohon keselamatan, tapi pada saat yang sama juga mendengar isak-tangis yang menyeruak dari upacara-upacara pemakaman…

*artikel ini telah menjadi bagian dari buku antologi kolom budaya bertajuk Takhayul Milenial (BinaBuku, Jakarta 2020), pembaca yang berminat memiliki buku tersebut, dapat melakukan pemesanan di link berikut ini:



Comments

Popular Posts