Tuan Menyita, Kami Membaca…
Damhuri Muhammad
(versi cetak dari artikel ini tersiar di harian Kompas, Sabtu, 14 Mei 2016)
“Caesar,
maukah nama Paduka dikenang anak cucu sebagai tentara barbar yang terlampau
bodoh untuk mengerti nilai penting buku-buku?” kata Theodotus pada Caesar di sebuah
adegan dalam lakon Caesar and Cleopatra
karya George Bernard Shaw (1856-1950). Fernando Baez, penulis buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (diedisi-Indonesiakan oleh Penerbit Marjin
Kiri, 2013) mengutip dialog itu demi menegaskan
fakta tentang luluhlantaknya gedung Perpustakaan Nasional Baghdad berikut jutaan
koleksi bukunya, Mei 2003, seiring dengan jatuhnya kuasa Saddam Hussein. Ribuan
kertas berhamburan. Ruang baca, kartu katalog, dan tumpukan buku-buku, telah
rata. “Inilah bab terakhir pendudukan Baghdad. Harta karun berupa dokumen-dokumen
bersejarah dari zaman Ottoman, termasuk arsip kerajaan kuno di Irak berubah jadi
abu dalam panas 3000 derajat,” tulis Robert Fisk, koresponden Independent untuk Timur Tengah, seperti
dicatat Baez. “Kenangan kita tak ada lagi. Tempat lahirnya peradaban, tulisan,
dan hukum, musnah terbakar,” keluh seorang profesor sejarah yang berdengung
langsung di kuping Baez.
Baez
seketika teringat ungkapan kemarahan Theodotus itu. Dan, yang lebih memilukan,
ingatannya terpelanting jauh ke masa lalu, pada peristiwa tahun 1258 di negeri
yang sama. Masa itu pasukan Hulagu Khan menaklukkan kedigdayaan Dinasti
Abbasiyah, menghancurkan semua buku di semua perpustakaan kota Baghdad dengan
membuangnya ke sungai Tigris. Tinta dan darah bersenyawa, dan mengalir sampai
jauh. “Yang terbakar di sana adalah ingatan umat manusia,” kata Theodotus,
melanjutkan kemurkaannya pada Caesar.
Para
biblioklas (istilah yang digunakan untuk para perusak
buku) sesungguhnya tidak memusuhi kertas-kertas
berjilid, tapi membenci ingatan yang dimonumentasikan oleh buku. Ingatan yang
mungkin menakutkan, atau mengingatkan pada dosa-dosa masa silam. Novel 1984 karya George Orwell bahkan
menggambarkan sebuah negara totaliter di mana pemerintahnya harus membentuk kementerian
khusus yang bertugas menemukan, sekaligus melenyapkan ingatan masa lalu. “Masyarakat
demokratis pun tak segan-segan menghancurkan buku demi memperkokoh penolakan
identitas yang lain,” ungkap Baez.
Inilah
jawaban bagi kegemparan akibat aksi penyitaan buku oleh aparat negara yang kerap kali terulang. Bila berpijak pada argumentasi dan hasil kajian Fernando Baez, ada perlindungan
hukum atau tak, pelarangan, penyitaan, bahkan pemusnahan buku akan sukar
dihindari. Kaum biblioklas, tak akan
pernah bosan, sepanjang buku masih ditulis dan disiarkan. Bagi mereka, ikatan kuat
antara buku dan memori membuat teks harus dibaca sebagai patrimonium budaya
utama. Baez menjelaskan, “patrimonium” berasal dari bahasa Yunani dan merujuk
pada Padre (ayah) dan Moneo (mengetahui, mengingat). Maka,
“patrimonium” berarti yang diingat oleh
ayah.” Berbeda dengan “matrimoni”
(pernikahan) yang berarti yang diingat
oleh ibu. Patrimonium budaya dimaknai sebagai yang paling
representatif secara kultural dari suatu negeri. Ia menggugah rasa afirmasi dan
kepemilikan, memperkuat atau menstimulasi identitas masyarakat di suatu
wilayah. Perpustakaan, arsip, museum adalah patrimonium budaya, dan semua
bangsa memandangnya sebagai kuil-kuil memori.
Dengan
begitu, dibaca atau tak, buku bakal tetap dianggap sebagai ancaman. Tengoklah aksi
membakar buku berjudul Pemikiran Karl Marx;
dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Prof Franz Magnis
Suseno, oleh Aliansi Anti Komunis, 19 April 2001. Dalil pembakaran adalah klaim
bahwa buku itu bagian dari propaganda dan penyebarluasan Marxisme-Leninisme
yang dilarang oleh TAP MPRS No.XXV tahun 1996. Padahal, sebagaimana disinyalir
oleh Robertus Robet--dalam kata
pengantar untuk buku Penghancuran Buku
dari Masa ke Masa--jika dibaca
dengan saksama, buku itu justru mengandung kritik tajam terhadap ideologi Marxisme.
Pemusnahan
buku tak kunjung berhenti. Pada 2007, Kejaksaan Tinggi Semarang yang diikuti
oleh Kejaksaan Tinggi beberapa daerah menghancurkan ribuan buku Pelajaran
Sejarah SMP dan SMA, atas dasar keberatan sejumlah pihak lantaran dihapusnya
kata “PKI” dari kelaziman istilah Orde Baru: “G30S/PKI.” Di tahun yang sama,
Jaksa Agung RI melarang peredaran lima judul buku, antara lain: Dalih Pembunuhan Massal (John Rossa), Gereja Umat Penderitaan (Socrates Sofyan Yoman), LEKRA Tak Membakar Buku (R Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan),
Enam Jalan Menuju Tuhan (Dharmawan), Mengungkap Misteri Keragaman Agama (Syahrudin
Ahmad). Meski dunia buku kemudian beroleh kabar baik dengan keluarnya keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK), 13 Oktober 2010 yang menyatakan bahwa pelarangan buku
bertentangan dengan konstitusi, tapi aksi kaum biblioklas bagai tak kunjung letih. Terulang kembali, dan mungkin
akan begitu seterusnya, sepanjang dunia buku masih berdenyut.
Di
kurun ketika ruang bagi kebebasan berekspresi telah sedemikian lapang dan tidak
lagi terbatas di atas kertas-kertas berjilid, rupa-rupa dalil pelarangan akan
sia-sia belaka. Bagi para pengarang--apalagi saudagar buku--aksi pelarangan buku justru ditunggu, diam-diam tentunya. Heboh
akibat penyitaan buku baru-baru ini akan membuat banyak orang memburu buku,
bahkan kelompok yang anti-buku sekalipun. Bila penerbit kesulitan
menyediakannya dalam bentuk buku berjilid, teknologi digital dengan segera akan
mengantarkan buku-buku itu ke tangan pembaca, tanpa halangan yang berarti, dan
pasal-pasal dalam kitab hukum, akan kepayahan mengejarnya.
Dalam kemarau
pembaca yang senantiasa melanda dunia literasi di republik ini, kita akan berhutang
banyak pada kaum biblioklas, baik aparat negara maupun “intel buku” dari macam-macam
aliansi anti ini-itu. Sitalah buku-buku itu, kami akan lekas membacanya! Kepada tuan-tuan biblioklas yang budiman, mungkin para pembaca hanya perlu menyuarakan
maklumat ringan bahwa, yang
semestinya tuan ringkus adalah pikiran. Bukan buku-buku yang tanpa membacanya, lalu
tuan anggap berbahaya. Perbuatan menyita buku adalah pertanda kekuasaan yang
tegak di atas kepandiran...
*artikel ini telah menjadi bagian dari buku bertajuk Takhayul Milenial (2020), dalam sub topik Memenggal Mata Rantai Kedengkian. Pembaca yang berminat memiliki buku tersebut dapat melakukan pemesanan di sini:
Comments