Takhayul dan Nalar yang Lumpuh
(versi asli dari artikel opini yang sebelumnya telah tersiar di harian Kompas, Jumat, 7/10/2016)
Jaman boleh maju, sains modern boleh pula tegak sebagai tonggak peradaban mutakhir, tapi mitos dan takhayul belum musnah dari rahim kultural kita. Dalam ketergesaan berkendara di lalu lintas Jakarta yang padat senantiasa, sekali waktu seseorang mungkin pernah melindas seekor kucing secara tak sengaja. Saat itu, biasanya ia akan langsung terhubung dengan nasihat orang-orang dahulu, bahwa segeralah hentikan kendaraan, bungkuslah jasad kucing yang berlumur darah itu dengan kain putih, lalu pusarakanlah secara layak.
Perilaku
semacam itu diselenggarakan bukan atas dasar pertimbangan etik, tapi digerakkan
oleh seperangkat dalil mistik. Bila prosedur itu diabaikan, katakanlah si
pelaku tancap gas belaka, sementara kucing yang naas dibiarkan terkapar tak berdaya,
dipercayai akibatnya fatal; si pelaku bisa celaka. Ditabrak truk, atau mengalami
kecelakaan tunggal, dan tewas seketika. Setidaknya begitulah pesan-pesan mistik
yang kita warisi secara turun-temurun, dan rasanya masih menjadi “tauladan”
hingga kini.
Perjalanan mudik boleh jadi telah dipandu oleh perkakas canggih bernama Google Maps, tapi saat melintasi tikungan berbahaya yang konon telah meminta banyak korban, seketika kita akan melambatkan laju kendaraan, lalu melemparkan satu-dua koin limaratusan ke sisi jurang, sebagai sajen agar hantu penunggu tikungan keramat itu tak murka dan mencelakai. Kita bisa tak selamat bila mengabaikan prosedur ganjil itu. Kendaraan bisa terguling tanpa sebab yang masuk akal, lalu terjun bebas masuk jurang. Sekali lagi, etos kesantunan di medan-medan rawan kecelakaan itu, tak berlangsung dengan prinsip-prinsip etik, tapi diamalkan atas dorongan sugesti-sugesti mistik. Di situ, benda canggih abad mutakhir bagai tak berdaya. Google Maps bertekuk lutut di hadapan takhayul.
Sahabat saya, master
filsafat lulusan universitas terkemuka di Paris, pernah dilanda kecemasan tak
terkira. Istrinya sedang hamil muda dan mengidamkan sebutir buah manggis
mengkal, sementara kios-kios buah di kotanya tidak menyediakan buah pengidaman
itu lantaran musim manggis belum tiba. Ia sudah berusaha keras, mendatangi setiap
kios buah-buahan di segenap penjuru kota kecil tempat tinggalnya, tapi hasilnya
nihil. Istrinya kecewa, dan ia amat khawatir bila nanti bayinya lahir sebagai
anak ngences, dengan liur yang
meleleh terus menerus dari bibirnya, lantaran pengidaman yang tak kesampaian.Saat itu, dalil-dalil
rasional dan gagasan kefilsafatan yang penuh-sesak di kepalanya bagai lumpuh
seketika. Ia dikepung oleh hawa mistik dan klenik, hingga nalarnya buta. Ia
hanya memikirkan bayi yang sudah lama dinantikannya, yang bisa jadi akan lahir
sebagai anak yang kurang sempurna. Ia merasa bersalah, hanya karena tidak mampu
mengabulkan keinginan istri tercinta yang sedang mengidam.
Kompleks
permukiman yang baru saja saudara tempati, dulu adalah area rawa-rawa yang
dipercayai warga sekitar sebagai daerah tempat jin membuang anak! Kabar ini
juga kerap terdengar. Atas dasar itulah biasanya kita menggelar doa selamatan
dengan mengundang orang-orang yang dipercayai mampu mengusir energi gaib. Bila
prosedur itu tidak dilakukan, maka kekuatan gaib akan mengusik ketenangan, dan
tak jarang dapat menyebabkan penyakit ganjil yang berakibat buruk bagi masa
depan sebuah keluarga. Tahayul tetap hadir di ruang tamu dan kamar tidur kita,
setinggi apapun tingkat pendidikan, betapapun canggihnya kemampuan nalar. Di
tengah malam, bila samar-samar terdengar lolongan anjing, biasanya kita percayai
sebagai pertanda kerumunan hantu yang sedang bergentayangan. Jangan menjahit baju di malam hari, jangan
duduk di depan pintu, jangan mandi di sungai di tengah hari, jangan masuk hutan
bila cuaca gerimis, begitu rupa-rupa nasihat orangtua di masa kecil, yang
hampir semuanya bukanlah pesan etis, tapi mengandung muatan mistik dan
metafisis.
Barangkali “habitus”
inilah yang menjadi basis argumentasi sastrawan Mochtar Lubis (1978) untuk
mencatat “percaya tahayul” sebagai salah satu ciri manusia Indonesia. Bagi
Mochtar, kepercayaan purba manusia Indonesia yang identik dengan animisme dan
dinamisme mengakibatkan betapapun majunya cara kita bernalar, kita masih
mempertahankan kesetiaan pada dunia supranatural. Mungkin itu pula sebabnya beberapa
waktu lalu ketika pimpinan Padepokan Syekh Sangga Buana Putra bernama Abdul
Muhjib menjual tiket ke surga seharga dua juta rupiah, sejumlah orang di
Karawang (Jawa Barat), dengan senang hati membelinya.
Demikian pula dengan
sekelompok anak-anak muda yang terobsesi hendak menjadi artis. Mereka merasa
perlu digembleng mentalnya oleh seorang penasihat spritual. Sekali waktu, sang
penasihat spritual mengaku sebagai kolektor jin dengan segenap kemampuan gaib
yang akan mengantarkan anak-anak muda polos dan lugu itu menggapai cita-cita.
Di kesempatan lain, ia bisa pula menobatkan dirinya sebagai titisan nabi yang
bekerja dengan bantuan malaikat. Kemampuan istimewa tersebut ditegaskan dapat
melapangkan jalan, baik bagi anak-anak muda yang hendak menjadi bintang
terkenal, maupun orang-orang yang sedang dilanda nestapa akibat prahara rumah
tangga. Di titik ini, kekuatan nalar mengalami kelumpuhan sementara, sama
halnya dengan prinsip-prinsip rasionalisme, empirisisme, dan positivisme sains--yang dianut oleh sahabat saya di atas--yang tak bisa bekerja, hanya karena gagal
dalam ikhtiar memperoleh manggis mengkal bagi istri tercinta.
Revolusi
keilmuan yang berlangsung di Eropa sejak zaman Renaisance dan Aufklarung memang
telah mengantarkan manusia modern ke puncak kemampuan kognitif tertinggi yang
dalam istilah filsuf August Comte (1798-1857) disebut fase “positivistik.”
Bahwa fase “teologis” dan “metafisis” telah terlampaui, dan manusia sudah bebas
dari kuasa dogma, mitos, dan klenik. Tapi di republik yang di musim Pilkada
para kandidatnya datang meminta restu dan dukungan pada dukun-dukun
kontemporer, atau dalam tradisi keilmuan ketika seorang akademisi telah
menyandang predikat guru besar, tapi masih rajin mengoleksi keris pusaka, rasanya
teori Comte tidak terlalu berguna.
Maka, tidaklah mengherankan bila seorang cerdik-cendikia lantang membela Dimas Kanjeng Taat Pribadi, pemimpin sebuah padepokan di Probolinggo (Jatim). Dimas disebut-sebut mampu menggandakan uang dengan kekuatan gaib, tapi kemudian berstatus tersangka atas dugaan sebuah tindak pidana. Bila dalam sejarah filsafat Barat, mitos binasa setelah akal berkuasa, di negeri kita, tahayul justru sanggup melucuti nalar seorang doktor lulusan Amerika…
Comments
Saya suka tulisan ini. Terimakasih sudah menulisnya. Tulisan Bapak menginspirasi saya dan menjadi acuan saya menulis http://blog.unnes.ac.id/sriutami/
Keep inspiring..