Dalam Kebencian, Cinta Tak Hilang…
Damhuri Muhammad
(versi cetak artikel ini tersiar di harian Kompas, Selasa, 29 November 2016)
“Bayangkanlah
seorang gadis belia di Israel. Ia hidup di zona nyaman dan tak pernah bertemu
muka dengan orang-orang Palestina”, demikian salah satu penggalan percakapan
Niza Yanay, penulis buku Ideology of
Hatred; The Psychic Power of Discourse
(2012) dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh www.aljazeera.com (14/11/2012).
“Secara personal, mungkinkah gadis itu memiliki kebencian terhadap warga
Palestina atau semua orang Arab? Tapi,
kenapa begitu banyak warga Israel--yang
tak pernah dilukai oleh rakyat Palestina--kemudian
membenci saudara-saudaranya di Palestina?” lanjut Niza, menjelaskan bagaimana cara
kebencian bekerja. Baginya, kebencian bukan lagi sekadar hasrat yang membara di
labirin personal, tapi kesadaran palsu yang sudah bergerak secara massal,
karena dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang tak kasat mata. Atas dasar itu,
ia berkesimpulan, kebencian telah beralih rupa menjadi ideologi.
Dalam realitas politik di Indonesia hari
ini, pengandaian associate professor Departemen Sosiologi dan Antropologi Universitas
Ben Gurion, Beer Sheva (Israel) itu cukup masuk akal. Mungkinkah seorang anak
muda di pedalaman Sumatera bisa membenci sejawat dunia mayanya--katakanlah ia bermukim di Jakarta--meskipun keduanya tak pernah bertatap
muka secara langsung? Tapi di media sosial, dua anak muda yang berbeda pilihan
politik itu tiada henti-henti saling memaki, tiada sudah-sudah saling menyerang--dengan berbagai macam argumen, alibi, dan
fitnah guna mempertajam kebencian masing-masing--dan tak kunjung letih dari aktivitas saling mengejek, saling
mempermalukan, saling menantang.
Pengandaian
Niza Yanay dapat pula diputarbalikkan ke kutub yang berlawanan. Bagaimana
mungkin dua orang yang bersahabat karib selama bertahun-tahun, hidup setikar-setempat
tidur, lapar-kenyang dan sedih-riang bersama, bisa pecah kongsi kemudian saling
membenci, karena berbeda pilihan politik dalam sebuah kontestasi Pilkada? Dalam
perseteruan yang berkesinambungan itu, ucapan selamat ulang tahun, atau ungkapan
turut berduka pun dapat ditimbang sebagai muslihat dan ancaman. Pilihan politik
yang berbeda telah mengakibatkan jembatan persahabatan mereka runtuh,
pertemanan yang karib pecah berkeping-keping, dan yang tersisa hanyalah
kebencian.
Inilah
sisi tak terbayangkan dari pergaulan dunia maya yang sedang merebak di
mana-mana. Di awal pertumbuhannya, media sosial mendekatkan kembali semua yang
renggang, menyatukan kembali orang-orang yang terpisah selama bertahun-tahun,
dan menghadirkan rasa menemukan bagi
sekian banyak orang yang dulu merasa
kehilangan. Media sosial juga dapat membiakkan kasih sayang dan cinta di
antara orang-orang yang sebelumnya tak pernah bertemu muka. Banyak orang, yang
sedemikian bahagianya menikmati asmara tanpa temu muka, lalu menganggap perjumpaan
fisik hanya akan menyusutkan kedalaman perasaan mereka. Namun pada sisi yang
kelam, pergaulan dunia maya juga dapat menjauhkan yang semula berkerabat, merenggangkan
yang semula akrab, menghancurkan banyak hubungan persahabatan, dan menistai
etos kepedulian yang telah dibangun sejak lama. Kehangatan, kebersamaan, dan
solidaritas berubah wajah menjadi sinisme, kedengkian, dan caci-maki yang tiada
henti, hanya karena pilihan politik yang berseberangan. Seorang tokoh penting
tidak lagi dianggap sebagai bagian dari kampung halamannya, lantaran ia memiliki
pandangan yang berbeda dengan orang-orang
di tanah kelahirannya. Sejak kapan berbeda
pendapat menjadi dalil guna membenci seseorang? Begitu pertanyaan seorang
kawan di laman medsosnya.
Tentang
hal ini, ada pelajaran berharga dari persahabatan Buya Hamka dengan Mr. Mohamad
Yamin, sebagaimana diikhtisarkan kembali oleh situs www.ranah.id (12/11/2016). Sidik jari
politik Yamin adalah PNI, sementara Hamka mewakili Partai Masyumi yang
menghendaki Islam sebagai ideologi negara. Pidato keras Hamka di konstituante
menjadi awal mula permusuhan keduanya. Bagi Yamin, Hamka bukan hanya musuh
ideologis tapi juga seteru pribadi. Setelah konstituante dibubarkan dan
Demokrasi Terpimpin dijalankan, Yamin menjabat sebagai Menteri Sosial dan
Kebudayaan, sementara Partai Masyumi dibubarkan. Hamka kian terjepit karena
tuduhan keterlibatan Masyumi dalam PRRI/Permesta. Sikap Yamin yang memusuhi
PRRI di kampung halamannya membuat ia terus dipercaya dalam pemerintahan. Pada
1962, Chairul Saleh mendatangi rumah Hamka. Menteri Perindustrian itu membawa
pesan dari Yamin yang sedang sakit di RSPAD. Pada musuh ideologisnya itu, Yamin
meminta agar ia didampingi menjelang akhir hayatnya, dan jika Hamka berkenan
agar memakamkan jenazahnya di Talawi, Sijunjung. Yamin khawatir, orang
kampungnya tidak mau menerima jenazahnya, karena sikapnya yang memusuhi PRRI.
Permintaan itu ikhlas ditunaikan oleh Hamka. Yamin meninggal dalam genggaman
tangannya di RSPAD. Hamka pula yang mengantarkan jenazah Yamin ke Minangkabau.
Kisah ini membuktikan ungkapan Niza Yanay; In
hate, love is never lost (dalam benci, cinta tak pernah hilang).
Kini,
dalam arus kebencian yang begitu deras, ikhtiar menyampaikan pendapat pribadi
saja bukanlah perkara yang gampang. Di musim Pilkada, bila dilakukan secara
terang-terangan, itu sama saja dengan berdiri di hadapan gerombolan anak-anak berandalan
dengan ketapel di genggaman masing-masing. Inilah risiko yang mesti ditanggung orang-orang
yang hidup di era personal politic.
Tak ada yang tak bisa dikaitkan dengan politik. Sekadar menginformasikan kemacetan
parah selepas hujan di jalur tertentu, bisa ditanggapi sebagai sikap politik. Ibu
rumah tangga yang mengeluh tentang harga cabai yang terus melambung, adalah
juga pernyataan politik yang bisa direspon macam-macam. “Tak ada yang kebal
dari jaring laba-laba politik. Dunia sedang bernapas politik. Makan politik.
Berak politik”, kata sastrawan Argentina, Luisa Valenzuela.
Begitu
pula ideologi kebencian bekerja. Kebencian bukan lagi hasrat individual, tapi hasrat
komunal untuk bertahan dari rasa takut. Dalam iklim Pilkada, tentulah itu rasa
takut akan kekalahan. Iklim politik yang minim pikiran, menyambut baik karnaval
kebencian itu. Bila realitas politik di masa lalu adalah arena pertarungan
gagasan demi kemaslahatan bersama, politik masa kini semata-mata meringkus
kuasa dengan karnaval kebencian sebagai kendaraannya. Selepas kompetisi,
kebencian tak menyusut, ia meluas ke mana-mana. Dalam kebencian, cinta mungkin
tak hilang, tapi akal sehat yang sekarat bisa mengubah pesta demokrasi menjadi sekadar
kisah panjang tentang sumbu-sumbu yang pendek…
*artikel ini telah menjadi bagian dari buku berjudul Takhayul Milenial (2020). Pembaca yang ingin memiliki buku tersebut dapat melakukan pemesanan di link berikut: https://www.tokopedia.com/ngobralbuku/takhayul-milenial-antologi-kolom-sosial-budaya?whid=0
Comments