Nelayan yang Malas Melepas Jala
Damhuri Muhammad
(versi cetak dari cerita ini telah tersiar di harian Kompas, Minggu 6 November 2016)
Bagaimana sebaiknya kau mengumpamakan persekutuan
dua manusia yang sama-sama meringkuk di lubuk asmara, tapi tak mungkin hidup
bersama? Seorang penasihat hubungan percintaan spesialis usia setengah tua (es-te-we) pernah menyarankan; andaikan kau
dan kekasih gelapmu sedang dilanda kegemaran mencari kesenyapan di sebuah pulau
asing, atau sebut saja pulau tak bernama. Tapi kalian hanya boleh berada di sana
sepanjang petang! Sebelum malam sempurna kelam, kalian sudah harus berlayar
kembali ke pulau masing-masing. Kau pulang ke pangkuan suamimu. Kekasih gelapmu
kembali menunaikan tugas mengurus keluarganya.
Bagaimana
bila kelak pulau tak bernama itu sudah menjadi target intel-intel swasta guna
memotret setiap gerak-gerik penghuninya, lalu kabar akan tersiar di pulauku dan pulau kekasihku?
Tanyamu pada suatu senja sambil memasang muka was-was ketimbang waspada. Di pulau tak bernama, cinta juga tak bisa dinamai,
kata kekasih gelapmu, sekadar menenangkan kecemasan berdua. Intel-intel swasta
yang mungkin dikirim khusus dari pulaumu--tentu juga dari pulau kekasih gelapmu--membawa kamera tersembunyi, dan mereka
tak perlu perkakas bahasa saat melaporkan rupa-rupa peristiwa.
Akhirnya
kau tidak lagi percaya pada konsultan asmara itu, meski belum sedikit pun
terbersit niatmu untuk menyudahi persekutuan ganjilmu. Kau dan kekasih gelapmu
tetap melepas rindu, paling tidak seminggu sekali, baik di ruang terbuka maupun
di tempat-tempat rahasia. Kalian tetap bertukar kabar dalam situasi sepayah
apapun. Kekasih gelapmu maklum, bahwa sebelum senja tiba kau mesti pulang, dan
itu berarti perjumpaan kalian mesti bubar sampai di situ. Ia tak pernah ngeyel menahanmu barang sejenak. Justru ia
tak pernah alpa menjadi alarm bagi waktu berpisah, yang sama-sama kalian benci.
Kenapa ia tak
pernah protes bila aku terlambat membalas pesan-pesan singkatnya? Tanyamu pada
seorang peramal hubungan gelap yang lagi-lagi
spesialis perselingkuhan kaum setengah tua. Kekasih gelapmu adalah pribadi yang
tidak hobi berburuk sangka. Di matanya, apapun yang kau lakukan adalah benar.
Apa saja yang kau perbuat adalah wajar. Dadamu berdebar saat mendengar komentar
dukun kekinian itu. Sedikit-banyaknya mekar juga rasa banggamu karena punya
kekasih yang tidak cerewet, apalagi kepo
tak karuan.
Kau
masih ingat saat mengunggah foto bersama suamimu tatkala kalian merayakan ulang
tahun pernikahan? Kau merangkul bahu suamimu sekuat kau memeluk bantal guling
di kala hujan lebat tengah malam--sementara suamimu sedang dinas ke luar kota. Saking eratnya,
seolah-olah bahu suamimu menyatu dengan sekujur kulit di tubuhmu. Celakanya
lagi, itu kau selenggarakan sambil mendaratkan sebuah kecupan modern di pipinya,
bukan? Hampir semua teman dekatmu di laman media sosial itu memberi selamat, serta
mendoakan kejayaan sejarah perkawinanmu. Apakah selepas itu kekasih gelapmu
merajuk atau setidaknya menampakkan muka cemburu? Alih-alih bersedih, ia malah
ikut menumpang bahagia dan bersuka-cita. “Usia pernikahan boleh bertambah, tapi
umur kemesraan hendaknya kekal di masa muda. Berbahagialah sampai usia renta,”
begitu bunyi sebuah kalimat yang termaktub dalam sebuah surat panjang. Ia mengirimkannya
menjelang dini hari, mungkin sebelum suamimu terjaga untuk memberi selamat.
Kekasih gelapmu
adalah seorang fotografer, spesialis potret keluarga. Soal membaca jiwa dari
sebuah potret keluarga, mungkin kemampuannya melampaui ketajaman mata batin cenayang-cenayang
metropolis yang sering kau sewa. Ia tak sembarangan
mengumbar ucapan “selamat berbahagia” bila jiwa yang ia tangkap dalam potret
keluarga itu adalah nestapa yang disamarkan. Maka, kekasih gelapmu telah
memastikan bahwa kau dan suamimu adalah pasangan yang sejahtera lahir-batin, tak
kurang satu apapun juga.
Masih ingat
perjumpaan di sebuah restoran tepi laut, saat ia mendiskusikan hasil
pengamatannya terhadap foto-foto reunian yang berseliweran di laman-laman media
sosial? Busana, pose, sudut pandang, dan latar-tempatan boleh saja
berbeda-beda, tapi jiwa dari sebagian besar foto-foto itu menurutnya punya
corak yang serupa. Riang-gembira, tapi diam-diam seperti menyimpan luka. Bersahaja,
tapi menyembunyikan ambisi tak terkira. Bersuka-ria, tapi memelihara dengki
yang tak kasat mata. Berbahagia tapi sekadar
basa-basi yang dipaksakan. Suci dan berseri-seri, tapi mengoleksi banyak laku
hipokrasi.
Sandiwara dalam pose-pose itu mengingatkan
ia pada pesan seorang kerabat dekat bahwa ia sudah lama tak berkunjung ke
rumahnya, ia sudah bertahun-tahun tak menjaga silaturahmi, ia hanya datang dan
berjabat tangan bila sudah ada yang mati di sana. Itupun kalau hatinya sedang
terpanggil. Lalu, ia bilang, kenapa yang harus datang berkunjung itu selalu
yang lemah kepada yang kuat, yang muda kepada yang tua, dan yang paling sering
terjadi adalah yang miskin kepada yang kaya? Pernahkah sekali saja pihak-pihak
yang kuat itu beritikad untuk menjenguk saudara lemahnya, yang tua berkenan
singgah sejenak di rumah saudara mudanya?
***
Bandingkan
dengan sikapmu setelah kekasih gelapmu menyiarkan sebuah foto keluarga saat ia
dan istrinya merayakan hari jadi putri mereka. Pose yang sama sekali tak
mengumbar keintiman mencolok. Meski terbilang dekat, di antara kekasih gelapmu
dan istrinya masih dibatasi oleh tubuh putri kecilnya yang tampak sedang meniup
lilin di atas permukaan kue. Apa yang terjadi selepas itu? Kau mengirim surat panjang yang bila
disimpulkan dapat berarti kau telah menudingnya sebagai laki-laki jahat yang tak
pandai menjaga perasaan perempuan. Lebih dari dua pekan kau tak merespons satu pun
pesan pendeknya. Kau diserang penyakit ngambek
stadium parah, meski kekasih gelapmu tidak panik dan malah segera memaafkanmu.
“Ia mungkin
bukan laki-laki yang baik, apalagi laki-laki yang suci dari rupa-rupa kenakalan
pada perempuan. Tapi, saya pastikan ia orang yang jujur!” kata konsultan amatir
yang diperkenalkan seorang sejawatmu selepas menghadiri seminar bertajuk “Usaha
Mencegah Kerut Ketuaan” di sebuah pusat perniagaan. Kau tidak menunjukkan sikap percaya. Sebaliknya,
kau cuek sambil menulis komentar atas pesan-pesan sampah di sebuah chat-group kumpulan ibu-ibu hebring kurang piknik. Tapi, ramalan cenayang
pemula itu membuatmu tak bisa lupa obrolan ringan dengan kekasih gelapmu, tepatnya
pada pertemuan ketiga sejak kalian berkenalan di dunia maya.
“Boleh aku menyebutmu
sebagai pendekar pemetik bunga?” tanyamu dengan nada mengejek. Kata “pemetik”
dalam kalimatmu menurutnya berkonotasi
kegemaran mencari. Sementara ia bukan tipe pencari atau sebutlah pemburu. Maka,
kata “pendekar” sebaiknya diganti dengan “nelayan.” Itupun kalau bisa nelayan
yang diumpamakan tidak sedang membentangkan jala. Bayangkan saja nelayan itu sedang
mendayung perahu di sebuah danau, sementara jala menggumpal dan teronggok begitu saja di sudut perahunya. Hanya beberapa
bagian ujung jala yang menjuntai ke permukaan air. Di situlah sesekali ikan
kecil datang dan kerap terjaring tak sengaja. Demikianlah, ia tak pernah mencari,
tapi sekadar menyambut setiap perempuan yang berkenan singgah.
“Lalu sudah
berapa ekor ikan yang datang suka-suka ke dalam jalamu?” tanyamu, ketus.
“Setiap yang
datang biasanya sudah punya rencana
pamit sendiri-sendiri.”
“Iya. Sudah
berapa yang pamit setelah kau karantina dalam perangkapmu?”
”Dan, sampai
kapan kau membiarkan jala itu menjuntai di permukaan air hingga ikan-ikan terperangkap
silih berganti?”
Kau mencecarnya dengan banyak pertanyaan.
Makin lama suaramu makin terdengar sebagai kemarahan.
***
Pada perjumpaan
selanjutnya ia tegaskan bahwa kasusmu sedikit berbeda dengan hikayat nelayan
yang enggan melepas jala itu. “Sebelum menemukanmu, nelayan itu sedang dilanda
keinginan hendak melepas mata kail,” katanya. Bukan kau yang merapat sukarela ke
jalanya, tapi ia yang gigih hendak menangkapmu.
Lalu, ia
menyerupakan dirinya seperti sepeda motor yang akan turun mesin. Mur dan baut
di tubuhnya sudah berguguran. Ada yang lepas sendiri lantaran aus, ada yang direnggut
paksa sekuat tenaga. Ia mengaku telah bertelanjang di hadapanmu. Tak ada lagi
yang belum ia singkap. Tentang ikan-ikan yang sukarela melekat di jalanya, rencananya
melacak kembali kesendirian yang lenyap sejak ia berkeluarga, dan keberuntungan
tak terduga sejak ia bertemu perempuan yang ternyata juga pecandu kesunyian,
hingga terbangunlah hubungan gelap yang amat mendebarkan, sekaligus rawan-ketahuan
itu.
Kau punya anak-anak
yang manis dan lucu. Ia punya anak-anak yang girang dan menyenangkan. Kau punya
suami yang tekun bekerja dan sayang keluarga. Ia punya istri yang tabah
mempercayai kesetiaan seorang laki-laki. Hubungan gelap kalian adalah cinta
yang mustahil. Rencana-rencana kalian percuma. Kau bahagia bersama keluargamu.
Ia rukun-tentram bersama istri dan anak-anaknya.
Tapi kalian
tetap hobi meringkus senja di pulau tak bernama. Tetap gemar melarikan diri
dari sumbu-sumbu kebahagiaan masing-masing. Sehari saja kalian tak bertukar kabar,
bagai akan tiba amuk badai, mengguncang tugu kerinduan yang kalian lestarikan
di sana. Itu sebabnya kau masih mencari umpama yang relevan bagi hubungan
rahasia, dan konon terus diincar oleh mata liar intel-intel swasta.
Aku bukan
konsultan orang kasmaran. Bukan pula ahli nujum kontemporer yang bisa meramal
masa depan permainan serong. Tapi baiklah, kusumbangkan sebuah permisalan yang
paten. Andaikan kau dan kekasihmu sebagai dua narapidana. Kalian meringkuk di
sel yang bersebelahan. Di antara selmu dan selnya ada sebuah meja kecil dengan
papan catur yang terbuka, berikut dengan bidak-bidak yang siap digerakkan.
Julurkan tanganmu dari balik jeruji besi. Kekasih gelapmu juga melakukan
gerakan serupa. Bermainlah sepanjang hari. Jangan pernah berhenti. Kalian memang
sedang menanggung vonis berat, tapi menyudahi permainan itu akan mengakibatkan
kalian menjadi terpidana seumur hidup…
Comments