K E S U M B A


Damhuri Muhammad


(versi cetak cerita ini tersiar di harian Jawa Pos, Minggu, 16 April 2017) 

1
Peternak Kecemasan

Anak-anakku. Di usia yang menjelang renta ini, tibalah saatnya Ibu kisahkan kepada kalian tentang seorang lelaki yang sanggup melakukan apa saja demi hidup Ibu, kecuali bersetia!
Ibu menyebutnya peternak kecemasan. Sebagaimana lelaku peternak, cemas yang saban hari ia rawat, diberinya pakan terbaik, dibiarkannya kawin-mawin secara leluasa, hingga beranak-pinak dari waktu ke waktu. Sebuah rongga di dadanya--yang Ibu andaikan sebagai kandang dari ternak-ternak itu--menjadi penuh-sesak, dan mungkin tak memadai lagi sebagai kandang. Akibatnya, kecemasan itu melimpah-limpah, lalu menjalar ke sekujur tubuhnya.
Lututnya menggigil hebat bila Ibu terlambat berkabar, hanya untuk memastikan apakah Ibu telah selamat sampai di rumah, atau barangkali kereta api yang Ibu tumpangi mengalami gangguan signal di perjalanan. Kabar dari Ibu bagai siraman air yang senantiasa ia butuhkan guna memadamkan bara kecemasan yang menyala di pembuluh darahnya.   
“Sudah merapatkah kapalmu di dermaga, Kesumba?” begitu ia bertanya dengan isyarat-isyarat ganjil melalui pesan singkat.
Sepanjang tanya itu belum dijawab, ia akan terus membuat pertanyaan-pertanyaan baru.
            “Apakah pelayaranmu diamuk badai?”
            “Kau tidak salah membaca arah angin?”
            “Ah, semoga kau baik-baik saja!”
Demikian cara ia beternak kecemasan. Kenyinyiran itu biasanya ia sampaikan bersamaan dengan gigil lutut yang sulit diredakan. Padahal, penyebab dari pesan-pesan yang tak berbalas itu begitu remeh. Setiba di rumah, Ibu dilanda kantuk yang tak dapat ditawar-tawar, lalu terkapar pulas hingga dini hari. Ibu tak sempat memeriksa pesan-pesan pendek yang masuk selama perjalanan. Lagi pula, bila Ibu sudah di rumah, mata ayah kalian sangat awas, seperti mata pengintai kelas berat yang tak mau abai pada gelagat sekecil apapun. Agar level kewaspadaannya tidak meningkat menjadi curiga, Ibu langsung rebah saja di sampingnya.
            Dari pagi hingga malam, peternak kecemasan bertugas memastikan keadaan Ibu aman, dan terhindar dari segala bahaya. Dalam situasi serepot apapun, ia selalu hadir saat Ibu sedang menginginkan seorang teman. Bila janji berjumpa kami sepakati di tempat ramai, jangan coba-coba muncul pakai rok mini. Perkaranya akan panjang. Dia akan bilang, cara berpakaian Ibu terlalu mencolok, dan mengundang perhatian banyak mata.
        “Mencolok apanya? Ini masih di bawah lutut,” begitu kilah Ibu mempertahankankan pilihan.       
“Rokmu di atas,  lututmu di bawah. Itu yang kau maksud di bawah lutut?” bantahnya, lugas.
Ibu memang jengkel. Tapi, diam-diam Ibu merasa diperhatikan, merasa dibimbing, dan yang paling Ibu kenang adalah, Ibu merasa terlindungi. Berada di dekat si peternak kecemasan membuat Ibu tidak takut lagi hidup sendirian. Ibu jadi pemberani. Termasuk berani melawan dalam pertengkaran-pertengkaran yang berkesinambungan  dengan ayah kalian.
Kalian tahu, hampir satu dekade lamanya Ibu merasa sendiri. Selama itu pula  sekeping demi sekeping keriangan masa muda Ibu, hilang tak berjejak. Sejak Ibu menikah hingga kalian menginjak usia remaja, Ibu tidak lagi mendengarkan musik, sebagaimana kegemaran Ibu semasa gadis. Ibu absen menonton ke bioskop, hingga Ibu menjadi buta sinema. Dan, yang paling berbahaya dari semua kehilangan itu adalah, Ibu tidak lagi berminat untuk berdandan. Wajah Ibu seperti daun yang meranggas dari ranting mati. Bibir Ibu kerontang setelah digilas kemarau. Tubuh Ibu jauh dari bugar. Kedatangan peternak kecemasan itu seperti suara klakson kapal yang menyeruakkan lengkingan lantang, hingga laut mati tidur panjang Ibu bergejolak tak tanggung-tanggung. Sekeping demi sekeping dari yang hilang itu hendak Ibu raih kembali. Apa yang di masa lalu menjadi milik Ibu hendak Ibu kuasai kembali.
Ia memanggil Ibu dengan nama Merah Kesumba. “Merah yang tak akan luntur. Seperti keriangan hidupmu yang tak akan redup lagi,” katanya suatu ketika. Itulah titik awal Ibu mulai sibuk merenovasi tubuh yang hampir tumbang. Hari-hari Ibu tak pernah lepas dari kegiatan bersolek. Ibarat merehab rumah yang sudah lama tak berpenghuni, dari teras, ruang tamu, hingga dapur dipugar sedemikian rupa oleh tukang-tukang handal. Si peternak kecemasan memilih anting-anting terbaik di sebuah toko perhiasan yang kami kunjungi. Tak lama berselang, tanpa diduga ia mengajukan sebuah penawaran yang terdengar ganjil. Ia meminta Ibu memakai gelang kaki.
“Ah, jangan aneh-aneh kau!” kata Ibu sambil menggerutu.
“Tumitmu seksi. Akan lebih menakjubkan bila dilingkari dengan sebuah gelang kaki,” katanya sambil mengeluarkan sebuah gelang kaki dari kotak perhiasan berwarna merah kesumba. Si peternak kecemasan telah memesan perhiasan itu jauh-jauh hari, entah dari mana.
Ibu masih ingat sentuhan jari tangannya yang gemetar saat memasangkan gelang itu di kaki kiri Ibu. Gelang dari bahan titanium halus dengan logo ikan kecil di bagian tengahnya.
“Ikan kecil ini pertanda bahwa aku telah menelan umpanmu?” tanya Ibu waktu itu.
“Ikan jinak tak perlu diringkus dengan umpan. Ia hanya perlu air yang baru.” 
Hari-hari Ibu semarak oleh lagu-lagu terkini pilihan si peternak kecemasan. Waktu senggang Ibu bagai tak pernah cukup lantaran selalu kami gunakan untuk menonton di film-film favorit. Ibu menyadari, si peternak kecemasan ternyata juga beternak kegembiraan yang saban hari berkembang-biak hingga tumpah-ruah ke dalam hidup Ibu. Dalam keberlimpahan suka-cita itu, Ibu hampir lupa bahwa si peternak kecemasan adalah lelaki yang bisa melakukan apa saja demi Ibu, kecuali bersetia!
Ia memang orang baik, tapi daftar mantannya lebih panjang dari tabel pengalaman kerja di curriculum vitae. Pacarnya di mana-mana. Seperti seorang pelaut, di mana kapalnya berlabuh, selalu saja ada perempuan yang berlabuh di pelukannya. Mungkin karena kecemasannya yang berlebih-lebih itu, ia harus mendistribusikannya pada banyak perempuan.
Saat itu Ibu dilanda mabuk keriangan. Ibu sungguh-sungguh tentram di bawah perlindungannya. Lalu, Ibu ingin menggenggamnya. Ibu ingin kecemasannya yang militan itu hanya untuk Ibu seorang. Namun, dari situ pulalah bermulanya ngilu di dada Ibu. Kedatangan si peternak kecemasan itu hanya  membuat Ibu makin sakit. Ibu sudah bergantung sepenuhnya kepadanya, tapi ia tidak selalu bisa datang, apalagi di saat-saat genting, ketika Ibu sangat membutuhkannya.
Semakin Ibu merindukannya, Ibu semakin sakit. Tubuh Ibu letih dibuatnya. Itu sebabnya Ibu melawan keinginan untuk mencintainya. Mencintai si peternak kecemasan, sama saja dengan memasrahkan hidup pada penyakit yang tak akan sembuh. Ibu menyayanginya, tapi pada saat yang sama, Ibu meronta-ronta hendak membebaskan diri dari perangkapnya.
“Aku akan terus menjagamu, Kesumba!”
“Aku bisa beli anjing Buldog sebagai penjaga!”
“Aku bisa melakukan apa saja untukmu!”
“Kecuali setia, bukan?”
Begitulah anak-anakku. Keping-keping kegembiraan masa belia yang  telah sempurna di genggaman Ibu, harus Ibu bayar mahal dengan kehilangan si peternak kecemasan.
            “Aku tidak menghilang, tapi sedang mengurangi jumlah kedatangan!” 

***









2
Rahasia Tentang Gelang Kaki

Anak-anakku. Dalam keringkihan yang mustahil dielakkan ini, perkenankan Ayah menyingkap rahasia perihal gelang kaki dari bahan titanium dengan motif berbentuk kail, yang kalian temukan di ruang penyimpanan barang-barang pribadi Ayah. Masa itu kalian berebut hendak memilikinya, tapi Ayah bersikukuh mempertahankannya.
            “Itu barang pribadi. Jangan coba-coba menyentuhnya!”  bentak Ayah.
“Bakal karatan bila disimpan saja,” ketus Rimba, dengan wajah cemberut.
“Kasih buat Bukit aja, Yah?” sambung Bukit, bersemangat.
“Rimba yang temukan pertama kali. Siapa cepat dia yang dapat!”
“Akan Ayah belikan gelang emas buat Rimba dan Bukit. Lupakan benda itu!”
“Tapi, siapa pemilik gelang itu? Dan, kenapa motifnya kail?”
“Seperti pemancing saja! Mancing perempuan, barangkali?”
            Anak-anakku. Dulu, gelang kaki itu sepasang. Satu bermotif kail yang bikin kalian penasaran itu, satu lagi bermotif ikan kecil, yang telah melingkar di pergelangan kaki seorang perempuan. Tangan Ayah sendiri yang memasang gelang itu di kakinya. Masih sempurna dalam ingatan Ayah, bentuk jari kakinya, dari jempol hingga kelingking. Begitu juga urat-urat halus yang membayang di permukaan punggung kakinya.Sejak itulah ikan dan kail bersekutu. Ayah percaya, persekutuan itu tak akan lepas sampai kapan pun.
Ayah menyebutnya si penyayang keras kepala. Sekali menjatuhkan pilihan untuk menumpahkan rasa sayang pada seseorang, ia bisa mengorbankan apa saja, termasuk hidupnya. Oleh karena tenaganya telah terkuras lantaran menyayangi seseorang dengan cara yang militan, sekali waktu tubuhnya akan mengalami keletihan, hingga Ayah menggambarkannya seperti rusa kecil yang tertatih-tatih di rimba raya. Rentan diterkam hewan-hewas buas.
Itulah yang terjadi saat Ayah menemukannya. Staminanya nyaris tak bersisa. Nyala hidupnya hampir padam. Ayah menyelamatkan rusa kecil itu agar ia tidak menjadi santapan dalam sekali terkam. Ayah menjaganya, karena Ayah menyukainya. “Ini saatnya kau menerima, setelah memberi tak henti-henti,” kata Ayah.  
Perlahan-lahan tenaganya pulih. Segala yang padam dalam tubuhnya kembali terang-benderang. Tapi, suatu hari Ayah terkejut mendengar permohonan ganjilnya. Ia meminta Ayah enyah dari hidupnya. Ia bilang, semakin Ayah menjaganya, ia semakin terancam oleh ketakutan. Semakin Ayah melindunginya, ia semakin tersiksa. 
            “Lepaskan tikaman mata kailmu dari mulut ikanku!”
            “Insangnya akan berdarah, Kesumba!”
            “Lebih baik berdarah sekali saja, daripada luka sepanjang masa!”
Demikianlah anak-anakku. Mata kail Ayah hanya menancap di bibir ikan itu. Sementara ada mata kail lain yang lebih dahulu telah menikam jantungnya. Kini, mata kail Ayah telah berkarat. Seperti hidup Ayah yang terus bergerak menuju sekarat…

Depok,  2017

Comments

Popular Posts