Citra Mendua
Janda Calon Arang




Oleh : DAMHURI MUHAMMAD

(GATRA, edisi Kamis, 10-16 Januari 2008)

Sebuah cerita, betapapun fiktifnya ternyata mampu mendedahkan pencitraan buruk yang bahkan tak lekang dihantam jaman. Tengoklah cerita Calon Arang yang sudah berbilang kurun menikam jejak pencitraan perihal seorang pandita perempuan pemuja Dewi Durga, kemudian berubah jadi bengis dan sadis. Ia menyalahgunakan kesaktiannya untuk menzalimi orang-orang tak berdosa. Riwayat mencatat, Calon Arang murka lantaran tidak seorang lelaki pun yang tertarik meminang Ratna Manggali, putri kesayangannya. Itu sebabnya, ia memohon kesediaan Dewi Durga untuk menyebarkan wabah penyakit mematikan di seluruh penjuru wilayah Daha (ibukota kerajaan Kediri) yang kala itu dipimpin Airlangga. Calon Arang punya banyak murid yang kedigdayaan mereka sudah menjadi cerita turun temurun. Disebut-sebut, ia dan murid-muridnya kerap melakukan tirakat ; berkeramas dengan darah manusia. Inilah salah satu versi cerita Calon Arang yang berkembang di Jawa. Purbatjaraka menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda, kemudian dimacapatkan (dilagukan) oleh Raden Wiradat dan diterbitkan Balai Pustaka pada 1931. Versi lain cerita Calon Arang berkembang di Bali. Pramoedya Ananta Toer (1954) membenarkan bahwa ada sedikit perbedaan di antara kedua versi cerita itu, namun katanya, tak perlu dipanjanglebarkan.

Meski tidak sepatah katapun menyebut nama Calon Arang, Janda dari Jirah, novel terbaru Cok Sawitri ini dapat disambut sebagai satu serpihan cerita Calon Arang yang berserakan di Bali. Lebih jauh, buku ini dapat dimaklumi sebagai cerita tandingan terhadap Calon Arang versi Jawa yang terlalu sarkastis menggambarkan watak jahat janda dari Jirah itu, padahal di Bali hingga hari ini, cerita Calon Arang masih menjadi rujukan dalam ritual ruwatan. Maka selayaknya, novel ini bukan sekedar membenarkan adanya ‘sedikit’ perbedaan antara Calon Arang versi Jawa dan versi Bali, tapi hendak memaklumatkan bahwa perbedaan itu amat mencolok, bahkan saling bertolak belakang. Bila naskah-naskah kuno di Jawa menggambarkan Calon Arang sebagai penyihir jahat yang telah menelan banyak korban, Cok Sawitri malah membangun pencitraan Calon Arang sebagai perempuan suci yang sangat dihormati. Saking sucinya, pejabat istana tidak berani menginjakkan kaki di tanah Kabikuan Jirah, tempat tinggal Rangda Ing Jirah (begitu novel ini menyebutnya). Mereka takut melanggar tatakrama Kabikuan Jirah yang dijaga oleh sang Ibu Kebajikan (begitu Calon Arang dijuluki). Barangsiapa melanggar, akibatnya sangat berbahaya, masa kecermelangan Kediri bisa padam seketika. Para pengikut ajaran Rangda Ing Jirah menjalani laku asketik, menjauhi urusan duniawi, lebih-lebih perkara politik.

Cerita bermula tatkala di istana Kediri sedang terjadi perseteruan diam-diam antara pendukung Airlangga dengan para pejabat yang ingin membangkitkan kembali kejayaan wangsa Isana setelah mengalami kehancuran. Airlangga (putra sulung Udayana yang datang dari Bali) tidak disukai karena ia hanyalah menantu Dharmmawangsa Tguh, tak pantas menggenggam tahta, sebab tidak berasal dari wangsa Isana. Semula Rangda Ing Jirah tidak mau terlibat ‘perang dingin’ itu, tapi Mpu Narotama, pengawal Airlangga kerap datang menemuinya di Kabikuan Jirah. Narotama kerap minta nasehat perihal niat Airlangga yang akan menobatkan anak perempuannya sebagai putri mahkota. Karena itu, Rangda Ing Jirah merasa perlu mengurai silsilah wangsa Isana jauh sebelum Airlangga berkuasa. Ia juga menjelaskan sebab-musabab kenapa orang-orang Kabikuan Jirah dari masa ke masa nyaris tak tersentuh kewajiban membayar upeti. Percakapan kedua orang ini menjadi pintu masuk untuk menyingkap wajah baru Calon Arang. Sekali waktu Rangda Ing Jirah berkisah pada Narotama ; di suatu masa seusai melakukan sembah di tempat pemujaan Brahma, sepasang suami-istri lupa membawa tempayan air suci mereka. Keesokan hari, dari tempayan air itu lahir seorang bayi perempuan, bayi itu adalah Rangda Ing Jirah. Penggalan riwayat ini kerap dirujuk untuk menjelaskan ontologi penciptaan manusia dalam ajaran Budha Tantra. Air simbol kebajikan, maka Calon Arang adalah Ibu Kebajikan (muasal segala kebaikan), bukan Ibu Kejahatan sebagaimana ditemukan dalam teks-teks kuno di Jawa.

Sama sekali tidak ada dendam-kusumat, apalagi permusuhan antara Airlangga dan Rangda Ing Jirah. Buku ini juga tidak menyebut-nyebut tirakat keramas darah Calon Arang sebagai syarat terkabulnya teluh seperti yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Cerita Calon Arang (1999). Alih-alih menyebarkan wabah penyakit di wilayah kekuasaan Airlangga, orang-orang Kabikuan Jirah malah membina masyarakat Dusun Buangan, mengajarkan mereka bertani dan berladang hingga dusun itu jadi makmur karena hasil pertanian. Kalaupun ada permusuhan, Airlangga yang justru mencurigai gerak-gerik Rangda Ing Jirah. Ia menyimpan sak wasangka bahwa kelak orang-orang Kabikuan Jirah bisa saja bersekutu dengan orang-orang Wura-wuri yang kabarnya sedang merencanakan sebuah pemberontakan.

Sebelum Bahula melamar Ratna Manggali, memang tidak ada yang berminat mempersunting putri Rangda Ing Jirah itu. Tapi pinangan itu atas kemauan Bahula sendiri, bukan karena siasat Mpu Bharadah (guru Bahula) untuk mencuri kitab, sumber kesaktian Calon Arang sebagaimana cerita yang jamak terdengar. Dalam teks ini, Mpu Bharadah bukan orang asing, penasehat istana itu adalah kakak seperguruan Rangda Ing Jirah, dan mereka tidak pernah bermusuhan.

Tapi, terasa janggal ketika pengarang mengungkit-ungkit sikap bijak Rangda Ing Jirah membesarkan seorang bayi dan menyembunyikan harta pusaka peninggalan wangsa Isana. Kelak bayi itu diperkenalkan sebagai Samarawijaya, cucu Dharmmawangsa Tguh, orang yang paling berhak mewarisi tahta kerajaan Kediri. Setelah ia beranjak dewasa, Rangda Ing Jirah menyerahkan sejumlah daerah binaannya pada Samarawijaya, luasnya hampir separuh wilayah kekuasaan Airlangga. Inilah muasal pecahnya kekuasaan Airlangga menjadi Kediri dan Jenggala. Tanpa pasukan, tanpa pertumpahan darah, Rangda Ing Jirah berhasil menobatkan Samarawijaya menjadi raja. Tapi, bukankah ini urusan politik yang sejak mula hendak dijauhi oleh tatakarama Kabikuan Jirah? Tidakkah perkara duniawi ini akan menodai kesucian ajaran Rangda In Jirah? Ah, barangkali Calon Arang memang tak sungguh-sungguh suci. Pembaca akan bimbang memosisikan ketokohan Calon Arang, apakah ia layak disebut pahlawan ataukah musuh dalam selimut? Tapi jangan lupa, ini teks sastra, bukan buku sejarah! Sudah sepatutnya buku ini membuka kemungkinan tafsir ganda.

Novel ini juga mencantumkan kisah usang tentang Uma (nama lain Dewi Durga) yang diusir ke bumi oleh Siwa (suaminya), karena sebuah kesalahan. Semula Uma turun dengan kecantikan yang sempurna, kemudian menjelma raksasa yang menakutkan. Di sebuah kuburan, Uma bertemu Kalika (raksasa yang wajahnya mirip dengan Uma). Keduanya terlibat perkelahian hebat, hingga Brahma datang mendamaikan. Uma dan Kalika akhirnya dibimbing Brahma, lalu berubah wujud menjadi dua perempuan cantik dan dipercaya menjadi juru tulis Brahma. Menimbang kisah ini, boleh jadi Dewi Durga yang dipuja Calon Arang versi Jawa adalah Kalika, bukan Dewi Durga sebenarnya. Bila yang dipuja Calon Arang adalah Dewi Durga yang sesungguhnya, tentu ia tak bakal berkeramas dengan darah manusia.




DATA BUKU

Judul : Janda dari Jirah
Penulis : Cok Sawitri
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : 187 halaman

Comments

Anonymous said…
Kang Dam, aku Sultan di Batam. Aku kemarin kirim naskah novelku ke Koekoesan. Hantu-hantu Pohon Randu. Semoga berkenan.

Popular Posts