Mariam Mengasah Pisau

 

https://id.pinterest.com/


Damhuri Muhammad




Gerakan tangannya saat menancapkan ujung pisau di antara kulit, lemak, dan daging, setenang gerakan tangan perempuan saat mengiris kue lapis sebelum tersuguh di ruang tamu. Perlahan, tapi mengena sampai dalam. Sayatan demi sayatan tak pernah meleset, hingga tak ada potongan daging yang bercampur dengan serpihan-serpihan lemak. Ketajaman pisaunya memastikan kerja penyembelihan tanpa rasa sakit. Cara menguji ketajaman itu mudah saja. Layangkan selembar kertas di atas mata pisau, niscaya lembaran itu akan terbelah dua. Maka, ketika mata pisaunya bersentuhan dengan urat leher seekor domba, rasanya akan seperti elusan tangan penggembala belaka, lalu dalam sekali tarikan napas, urat itu putus. Tak ada erangan, tak ada lenguhan, apalagi hentakan kesakitan. Di tangan dingin jagal bertubuh liat dan kekar itu, hewan-hewan qurban bagai tersenyum bahagia menjemput kematian.

“Ajari saya cara menguliti daging bahu,” sapa seorang nyonya muda, tak lama setelah ia menuntaskan pekerjaan mengiris-ngiris daging. 

Sejak ia membenamkan mata pisau di setiap leher sapi dan domba, hingga  menguliti hewan-hewan qurban yang bergelantungan di halaman masjid raya, nyonya muda itu mengamatinya dengan cermat dan saksama. Baginya, jagal itu bukan lagi karyawan rumah potong hewan pada umumnya, tapi seniman yang mampu menyulap situasi penyembelihan bergelimang darah menjadi sebuah pertunjukan yang menakjubkan. Orang-orang yang menyaksikan pertunjukan itu tidak memposisikan dirinya seperti algojo pencabut nyawa, tapi sebagai malaikat yang dengan penuh kelembutan mengantarkan hewan-hewan itu menuju kehidupan baru. Atau seperti malaikat yang memandu jalan ke surga bagi orang-orang saleh di alam akhirat. 
    
“Bahu sapi, maksud Nyonya?” katanya dalam suara sedikit tertahan, sambil mengelap  gagang pisau setelah dibersihkan dari noda-noda merah. 

Area yang dinaungi tenda ukuran besar di halaman masjid raya itu sudah sepi. Para pembawa kupon sudah pulang membawa jatah daging masing-masing. Hanya tersisa satu-dua petugas kebersihan yang sedang membereskan barang-barang inventaris masjid. 

“Bahu suami saya!” bisik si nyonya muda. 

Ia berusaha tenang. Sedapat-dapatnya tidak memperlihatkan keterkejutan, apalagi rasa penasaran. Ia pura-pura sibuk mengemasi perkakas penjagalan ke dalam tas yang dicantolkan di pagar masjid. Atau sekadar menggulung tali temali yang masih berserakan di area di bawah tenda. 

“Kenalkan, saya  Sonya. Salah satu jamaah yang berqurban di sini!” 

“Saya Aulad! Tapi maaf, itu bukan bidang saya,” balas si Jagal, berbasa-basi.

“Hmn….Menguliti sapi saja Anda sangat piawai, apalagi menguliti manusia. Bukankah bahu domba tak sekenyal bahu manusia? Akan mudah bagi Jagal ternama seperti Anda.”

“Atau ajari saya cara mengasah pisau!”

Kali ini Aulad mulai gugup. Ia tak bisa mengelak lagi.  Tampaknya Nyonya Sonya tidak main-main. Ia betul-betul sedang butuh pertolongan. 

“Apa yang salah dengan bahu suami Nyonya?” tanya Aulad. 

“Di bahu suami saya melekat aroma tubuh perempuan. Saya ingin memusnahkan aroma sialan itu…” 

Hening sesaat. Ketimbang lekas menanggapi, Aulad lebih tergoda mematut-matut wajah nyonya muda di hadapannya. Bibir merah basah, sorot mata liar, alis tebal (tapi palsu), hingga warna kutek yang begitu kontras dengan putih jari-jari tangannya. Dari semua itu, yang paling menggoda bagi Aulad adalah wangi yang menyeruak dari tubuh seksinya. Aroma yang bagai menghisap bau anyir dari sisa-sisa pencincangan daging. Jarak yang hanya sepertiga langkah dari posisi berdiri Aulad memungkinkan aroma mewah itu menghisap seluruh bau tak sedap di sekitar  halaman masjid raya, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah wangi tubuh Nyonya Sonya. Sekilas penampilannya mengingatkan Aulad pada istri bos-bos peternakan kelas berat yang kerap berurusan dengan juragannya di rumah pemotongan hewan. 

“Setelah kulit bahu itu terkelupas, Nyonya yakin aroma itu bakal lenyap?”

“Seyakin Anda pada kelihaian menyembelih hewan tanpa lenguh kesakitan.”


***       

Predikat jagal terbaik yang melekat pada nama Aulad sesungguhnya dimulai dari ketekunan Mariam. Istri yang saban hari setia menaik-turunkan tubuh pisau suaminya di atas batu asahan. Selain mengurus dapur dan merawat bayi, Mariam masih mengemban tugas khusus, yakni mengasah pisau guna menjaga reputasi Aulad. Baik di rumah pemotongan hewan tempat ia bekerja sehari-hari, maupun di panggung-panggung penyembelihan hewan qurban setiap kali Idul Adha tiba. 

Sedemikian setianya Mariam merawat ketajaman pisau kebanggaan Aulad, batu asahan di sudut dapurnya makin lama makin tipis. Bahkan karena terlalu sering mengasah, sesekali ia merasa pisau dan batu asahan itu sebagai benda-benda bernyawa yang bisa bercakap-cakap dengannya, terutama saat ia kesepian, atau keletihan lantaran pekerjaan ibu rumah tangga yang tiada sudah-sudahnya. 

“Sudah begini tipis tubuhku karena tiap hari digilas tubuhmu, tapi yang dapat nama tetap saja si Jagal itu,” demikian percakapan antara pisau dan batu asahan yang tiba-tiba muncul dalam imaji Mariam.  

“Aku akan jadi besi tua bila tak menggilas tubuhmu,” balas pisau yang seolah-olah terngiang di kuping Mariam.

“Tubuhmu hanya menipis lantaran digilas mata pisau. Sementara aku mengabdikan seluruh umurku untuk kejayaan suamiku,” batin Mariam sambil terus menekan mata pisau di atas batu asahan. 

“Wadaw. Bos jadi ikut-ikutan baper.”

“Hei pisau, jangan mentang-mentang ya! Gimana aku tidak baper, Jagal itu lebih membanggakanmu ketimbang aku, istrinya!” 

Bagi Aulad, pisau itu adalah mahkota. Jagal tanpa pisau ibarat tentara tanpa senapan. Pisau yang ketajamannya dirawat dengan cinta oleh Mariam, adalah kunci ketersohoran Aulad. Kalau ada yang bisa melampaui ketajaman pisau Aulad, itu pasti  lidah orang-orang yang dengki pada rejeki keluarga kecil Mariam yang bertambah-tambah sejak suaminya kebanjiran order penyembelihan. 

“Suaminya pulang malam terus? Udah kayak pejabat aja.”

“Iya. Jangan-jangan lagi menjagal di café dangdut. Hiks”

“Atau mengasah pisau di rumah yang lain?”

Itu contoh bisik-bisik tetangga yang tersimak lebih tajam di kuping Mariam. Namun, Mariam tak bimbang. Ia percaya, Aulad punya jadwal yang padat. Tak bisa berlama-lama di rumah sebagaimana dulu. Dan, kesepian yang melanda hari-harinya, tak perlu pula disesali. Bukankah ketekunannya dalam mengasah pisau itu pangkal soalnya? Tanpa sentuhan Mariam, tentu nama Aulad tak akan sebesar kini. Order sampingan tak akan seberlimpah sekarang, dan jam pulangnya tentu akan normal seperti karyawan kebanyakan.

****

Kursus privat mengasah pisau di rumah Nyonya Sonya berjalan sesuai rencana. Tapi sudah pasti hasilnya tak bakal maksimal. Sebab, keahlian menjagal yang dimiliki Aulad bukan berarti juga keahlian mengasah pisau. Nyonya muda berlimpah harta itu tidak tahu bahwa ada peran Mariam di balik nama besar Aulad. Ada pula batu asahan yang kian tipis lantaran terus menerus digasak Mariam saat ia mengasah pisau. Merawat ketajaman pisau itu bagi Mariam, seperti merawat cintanya pada Aulad. 

Tapi, Aulad tidak lagi peduli. Alih-alih memikirkan ketajaman pisau Nyonya Sonya (yang dipersiapkan untuk menguliti  bahu suaminya), saat tangannya berhimpitan dengan punggung tangan Nyonya Sonya (dan jari-jari berkutek itu dapat digenggam dengan dalih berlatih),  Aulad lebih berminat membayangkan betapa aroma tubuh Nyonya Sonya sangat potensial untuk meresap ke dalam pori-pori kulitnya. Sudah bertahun-tahun Aulad bersekutu dengan amis darah dan anyir daging, termasuk aroma tak sedap yang menyeruak setelah pisaunya membelah perut sapi.  Sedemikian lamanya ia berkhidmat sebagai jagal, aroma ganjil itu telah melekat pula di  tubuhnya. Mungkin sudah tiba saatnya Aulad memusnahkan bau usang di tubuhnya dengan aroma baru yang berasal dari tubuh murid kursus privatnya. 

Lama-lama keakraban Aulad dan Sonya semakin intens, hingga yang diasah si nyonya muda bukan lagi pisau semula, tapi pisau pusaka milik si jagal ternama. Bila Mariam tak letih-letih mengasah pisau jagal di sudut dapurnya, Sonya juga tak bosan-bosan mengasah pisau pusaka yang melekat di tubuh Aulad. Sonya dan Mariam sama-sama ingin membahagiakan si jagal idola, dengan cara yang juga sama-sama rahasia.

***

Bisik-bisik tetangga terasa makin tajam bagi Mariam. Ia hampir percaya pada gosip-gosip yang berseliweran, bahwa suaminya yang jarang pulang bukan karena order-order sampingan, tapi karena ia telah mendua dan lebih kerap pulang ke rumah pasangan serongnya. Sebagai idola, tentu mudah bagi Aulad untuk bergonti-ganti selera. Kalaupun ia  pulang, itu hanya untuk memastikan ketajaman pisau jagalnya setelah diasah oleh tangan dingin Mariam. 

“Jika Mariam mengasah pisau betulan untuk suaminya, di rumah yang lain, Aulad mengasah pisau kejantanannya. Wkwkwkwk…”

Itu contoh ketajaman mulut tetangga yang bagi Mariam terasa mengiris-iris sebongkah daging di dalam tubuhnya. Cara kerjanya barangkali lebih kasar dari goresan mata pisau jagal saat membuat dendeng.      

Dalam kesendirian sebelum  suaminya pulang sebagai persiapan penyembelihan hewan qurban di masjid raya, Mariam menimbang-nimbang, apa yang sebaiknya dilakukan untuk membuat suaminya kembali ke pangkuan. Mendesak dengan tangisan agar Aulad mengakui hubungan gelapnya? Atau bertanya apakah Aulad sudah bosan hidup dengan pasangan yang itu-itu saja? Dalam kebimbangan itulah, Mariam duduk termenung di dapur, tak jauh dari batu asahan yang telah menjadi bagian dari kesehariannya. 

Musnahkan aku, Mariam. Korbankan aku demi menyelamatkan cintamu. 

Begitu suara khayali yang mendengung di kuping Mariam, seolah-olah berasal dari si batu asahan. Dengan berat hati, Mariam memenuhi permintaan itu dengan berkali-kali pukulan martil berkekuatan amarah. Batu asahan seketika hancur berantakan seperti hancurnya perasaan Mariam.

Aulad tak bisa berbuat banyak. Panitia qurban yang menanti-nanti kedatangannya, kalang kabut. Pisau kebanggaannya sudah majal, lalu turun derajat sebagai pisau dapur belaka. Batu asahan kesayangan Mariam telah mengorbankan dirinya lebih dulu, sebelum Aulad menumbangkan sapi dan domba di halaman masjid raya…   


Depok, 2022
 

Cerita ini sebelumnya telah dipublikasikan di www.tinemu.com (Juli, 2022)        





Comments

Ry said…
Kalau aku yg jadi Mariam, maka tubuh Aulad yang menjadi batu asahnya. Hahaha. Keren, Uda.
Damhuri Muhammad said…
Terimakasih, sudah berkenan mampir, Mas

Popular Posts