Mata Kesejarahan Onghokam


(Majalah TEMPO, edisi 4-10 Juli 2011)


Oleh: DAMHURI MUHAMMAD



PAGI buta di sudut Jakarta, lelaki ringkih dengan muka pasi dan gigil lutut melangkah terhuyung-huyung. Ia berhenti di pinggiran got yang penuh-sesak gundukan sampah, lalu melepaskan beberapa muntahan, hingga dari kejauhan tubuhnya tampak meliuk-liuk, nyaris terjungkal. Seorang wartawan muda bergegas meminggirkan mobilnya, berhenti di belakang orang tua bersimbah muntah itu. Wajah lelaki tua itu tidak asing baginya, karena ia pernah mewawancarainya perihal peristiwa pembantaian massal anti-komunis pasca 1965. Dipapahnya pemabuk itu, dituntunnya masuk mobil, diantarkannya pulang.

Lelaki renta itu adalah Onghokam (1933-2007), sejarawan senior, doktor jebolan Yale University, AS (1975). Pagi itu adalah perjalanan pulang Ong selepas pesta wine entah di mana. Cerita ini dituturkan seorang alumnus sejarah FSUI yang pernah mengecap kuliah Ong, dosen “killer” yang tidak taat pada disiplin administratif perkuliahan. Buku absensi mahasiswa selalu hilang, mengajar tak taat silabus. Satu topik perkuliahan bisa terulang dalam tiga kali petemuan. Bila diingatkan, Ong ngotot dengan suara tinggi. “Memang harus tiga kali! Supaya sempurna tanaknya di benak kalian!”

Begitulah Ong, sejarawan nyentrik yang di era 1980-1990-an begitu produktif menyiarkan tulisannya di Kompas, Tempo, dan Prisma. Sepanjang riwayatnya, Ong bergelimang buku, memenuhi undangan kedutaan asing, diskusi sejarah, memasak, dan mabuk Scotch. Ia berbeda haluan dengan Sartono Kartodirjo dan Nugroho Notosusanto, dua sejarawan yang pernah “dinobatkan” negara sebagai penentu bulat-lonjong historiografi Indonesia. Ong tak peduli pada gelar profesor yang layak ia sandang. Alih-alih predikat guru besar, kepangkatan pegawai pun tidak ia urus, bahkan sampai pensiun. Ia sibuk menelaah buku-buku babon─dari George Lefebvre, Albert Soboul, Braudel─menerima tamu–tamu ilmuan dari luar negeri, dan tentu saja menulis guna memancangkan pemahaman tentang hakikat ilmu sejarah yang dianutnya.

“Apa artinya Indonesia bagi Ong?” begitu Andi Achdian, penulis buku “Sang Guru dan Secangkir Kopi” ini bertanya dalam sebuah obrolan. “Bila tidak ada Indonesia, kau akan berjalan membungkuk-bungkuk di hadapan raja-raja Jawa,” jawab Ong. Baginya, Indonesia adalah sebuah konstruksi realitas yang memungkinkan persamaan antara warganegara, dan membebaskan orang dari ikatan primordial dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah pencapaian paling ajaib sebuah negara-bangsa dengan wilayah geografis yang sebanding dengan perjalanan dari London menuju Istambul dari ujung barat sampai timur. Gerakan separatisme di Aceh dan Papua tidak mengakibatkan Balkanisasi, tidak pula terbelah sebagaimana India menjadi Pakistan dan Bangladesh (1947). Pada suatu masa ketika siswa-siswa Sekolah Menengah Belanda (HBS) ditawari pilihan menjadi warga negara Belanda atau tetap menjadi orang Indonesia, dari puluhan siswa di kelas itu hanya satu yang memilih Indonesia. Orang itu bernama Onghokham.

Lewat buku ini, Andi memetakan penglihatan mata kesejarahan Ong dengan cara tak biasa. Data-data ia himpun dari kenangan semasa menjadi murid sekaligus sahabat Ong sejak 2002. Cakrawala intelektualitas Ong yang sedemikian kaya itu tentu tidak terbuhul secara utuh, tapi obrolan yang melibatkan sisi personalitas Ong memperlihatkan cara kerja seorang sejarahwan yang unik dan khas. Tengoklah obrolan perihal kegemaran Ong meracik bumbu saat memasak makanan kegemarannya. Awalnya hanya soal merica, tapi obrolan meluas menjadi sejarah mula-mula pelayaran orang Eropa guna memburu rempah-rempah, sebagaimana pelayaran Vasco Da Gama dan Cornelis de Houtman. Diceritakan, ketika para perempuan Inggris mencampurkan rempah-rempah ke dalam masakan, rasanya lebih enak, makanan lebih awet dan tak perlu dimasak setiap hari. Maka, perempuan-perempuan itu menyuruh suami mereka mencari rempah-remah, hingga para suami takut istri itu menjadi pelaut-pelaut tangguh.

Mata kesejarahan Ong yang disingkap Andi─disebut-sebut murid paling bungsu Ong─memaklumatkan pemahaman sejarah sebagai “his-story,” sejarah tentang manusia, bukan sejarah institusi, struktur, bukan pula sekadar peristiwa. Dengan mata itulah Ong melahirkan gagasan brilian dalam Brotodiningrat Affair, yang menurut Andi adalah masterpiece Ong. Pilihan yang kurang masuk akal, sebab tulisan itu masih berupa paper yang belum sempat terbit. Tarikh kecil tentang kehilangan gordin penutup ruang depan sebuah rumah keresedinan di Madiun abad ke-18. Asisten residen menuding kehilangan itu tak lepas dari peran Bupati bernama Brotodiningrat, yang hendak menelanjangi wajah kemaruk kolonialisme. Karya sejarah yang alegorik dan metaforik.

Di mata kawan-kawan, kedekatan Andi dengan Ong menimbulkan kecurigaan bahwa sejarawan muda ini hendak mendompleng popularitas. Tapi, menimbang perbincangan dari hati ke hati sebagaimana tersuguh dalam buku ini, kenyataannya malah terbalik. Seamsal dunia persilatan, di akhir hayatnya justru Ong yang ingin mewariskan jurus paling sulung pada Andi, si murid paling bungsu itu.


DATA BUKU

Judul : Sang Guru dan Secangkir Kopi
Penulis : Andy Achdian
Penerbit: Kekal Press, Bogor
Cetakan : I, April 2011
Tebal : 139 halaman

Comments

Popular Posts