Mengasah Cerita dengan Ketajaman Mata
Oleh: Damhuri Muhammad
(Kompas, 7 Oktober 2012)
Selama berkurun-kurun filsafat modern
telah memartabatkan akal sebagai pusat
dalam setiap subjek manusia. Pikiran dinobatkan sebagai satu-satunya penguasa
yang berwenang sebagai penentu segala arah, cikal dan muasal segala gerak,
nakhoda dari sebuah bahtera bernama tubuh. Kesadaran Cogito, demikian Rene Descartes menamainya. Maka, tubuh-kasar
menjadi sekadar sarang, sekadar kandang bagi akal. Sejak itu, tubuh terpelanting
ke dunia tepi, dunia yang mutlak menjadi bangkai bila akal sudah mati.
Meski begitu, dalam situasi yang paling menyehari, sejarah kerap
memperlihatkan sejumlah momentum ketika akal bertekuk lutut di hadapan tubuh.
Tengoklah seorang pekerja keras yang nekad begadang semalam suntuk guna
melunaskan beban deadline yang kian
mendesak. Satu-dua pekerjaan barangkali dapat ia tuntaskan, tapi di separuh
malam, atau beberapa saat menjelang dini-hari, ia jatuh tertidur. Pikiran yang
semula menjadi pusat dalam subjek pekerja keras
itu akhirnya takluk oleh kuasa kantuk, oleh mata yang tak
bisa berdamai, oleh tubuh yang sudah terlanjur dipandang rendah itu. Bayi yang
sedang belajar berjalan kerap pula menjadi contoh perihal tubuh yang berpeluang
menjadi pusat. Menurut sejumlah filsuf─khususnya mereka yang menyangkal regim
akal─bayi yang sedang belajar melangkah, tidak dipandu oleh pikiran, melainkan
oleh keseimbangan tubuhnya. Maka, pada fase tumbuh-kembang tersebut, tubuh
adalah pusat dari subjek bayi itu.
Raut muka, sorot-mata, telinga, adalah anggota tubuh yang kerap
menggulingkan kuasa akal. Mata, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah cerita
dalam antologi Wajah Terakhir karya
Mona Sylviana ini, bukan mata yang dipandu, apalagi dikuasai oleh pikiran,
melainkan mata yang berdaulat menentukan jauh-dekat, dalam-dangkalnya sebuah
kerja penglihatan. Mata yang mampu berpikir dan melampaui kedalaman selaman
pikiran. Periksalah betapa kokohnya “hafalan-mata” Andin─dalam cerpen Mata Andin (hal 29)─yang tidak saja
mendokumentasikan aneka rupa peristiwa pertengkaran ibu-bapaknya lantaran
kemiskinan yang tak bersudah, siasat bapak menutupi aib kelaki-lakiannya,
hingga kenekatan ibunya menjual satu ginjal dengan harga miring, tapi juga
membendakan peristiwa-peristiwa tersebut, hingga pikiran tak perlu
bersusah-payah membangun analogi dan permisalan guna menjelaskan
duduk-perkaranya. Semuanya tampak utuh, dan terasa penuh. Begitulah, kuasa akal
dalam subjek Andin telah terguling oleh kejeniusan matanya.
Penggulingan kuasa akal terjadi pula pada cerpen Mata yang Menyala (hal 103).
Kali ini Mona membangun semacam ruang tempat beradunya dua subjek yang
masing-masing mengandalkan ketajaman mata. Satu mata musang pelaku pemerkosaan
yang menyeret mangsa di malam buta, satu lagi mata kejora bocah perempuan yang
menyaksikan mata musang itu tatkala meringkus tubuh ibunya. Bertahun-tahun
bocah itu mempertahankan “hafalan-mata”
agar ia tak lupa raut wajah pemerkosa ibunya, agar bila tiba waktunya
menuntut balas, ia tidak salah-orang. Nyala mata pemerkosa itu bagai terus
menerus mengasah ketajaman matanya hingga menjelma sebagai mata kejora. Maka, lagi-lagi mata─sebagai
tubuh─menumbangkan kuasa akal. Pikiran bocah perempuan itu bisa saja
dipelintir, dibohongi, atau bahkan “dicuci-bersihkan,” namun matanya telah
mengunci sebuah sosok yang mustahil dilupakan. Siasat dan muslihat sejahat
apapun tiada bakal melengahkan ia dari kenangan yang telah dibendakan oleh mata
kejoranya.
Mata ketiga yang menjadi panggilan penciptaan Mona Sylviana adalah Mata Marza (hal 111). Mata pelacur muda
yang tak henti-henti membangun monumentasi bagi liang vagina yang
perlahan-lahan menggelambir, mulut rahim yang remuk, rasa ngilu dan perih
permanen, lantaran digasak laki-laki selama bertahun-tahun. Mata Marza bagai
lensa kamera berkemampuan tinggi yang berhasil mengabadikan momen-momen
bersejarah dalam tarikh kepelacurannya, dan kelak pada suatu masa,
peristiwa-peristiwa itu bakal dibendakan, hingga para lelaki yang pernah
menindih tubuhnya akan mengunjunginya sebagaimana mengunjungi sebuah museum.
Tiada satu pun peristiwa yang luput dari “hafalan-mata” Marza. Detail, jernih,
dan terpilah-pilah sedemikian rupa.
Matang tajam mata pula yang pada akhirnya dapat meniscayakan pelaku
pemerkosa gadis Cina bernama Maria dalam cerpen Wajah Terakhir (hal 121), yang menjadi tajuk buku ini. Cerpen
berlatar peristiwa pemerkosaan massal 1998 itu menumbangkan segala bentuk alibi
yang hendak menyangkal atau sekadar melunakkan kebiadaban yang berlangsung masa
itu. Perangkat akal tentu punya sekian banyak strategi guna menutup-nutupi aib,
namun mata Maria adalah kesaksian yang tak diragukan keabsahannya. Di sepanjang
sisa riwayatnya, wajah pemerkosa itu menyesaki semua ruang dalam rongga
matanya, bahkan muka sangar laki-laki keparat itu telah menjadi wajah
penghabisan yang direkamnya, hingga mustahil ia melupakannya. Kerap pikiran
memandunya untuk berdamai dengan dendam-khusumat pada laki-laki yang telah
membuat ia cacat seumur-umur, namun sekali lagi, dalam situasi semacam
ini, kuasa akalnya telah terguling oleh
kedigdayaan mata.
Semesta tubuh yang sejak lama terdistorsi dalam tradisi filsafat Barat,
di ranah sastra malah beroleh tempat yang sangat layak, bahkan dalam buku ini dipancangkan
sebagai pusat yang tak dapat diganggu
gugat. Tubuh tidak saja diperjuangkan,
dibela, dan dihargai, tapi juga dimanusiakan, sebagaimana filsafat memanusiakan
pikiran. Betapa tidak akan dibela? Bagaimana
saya akan mengarahkan pikiran, bila tidak bersama tubuh saya? Demikian ungkapan Afrizal Malna dalam sebuah
perbincangan. Penyair yang sajak-sajaknya juga berangkat dari momen-momen
ketubuhan.
Cerpen-cerpen Mona Sylviana tidak berpijak di atas pergulatan pikiran,
tapi terdedahkan dari ketajaman penglihatan. Ia menyingkirkan segala macam
dalih kenapa riwayat
kekaryaannya melulu disesaki oleh duka dan nestapa perempuan, dan kenapa
ia tidak menikam jejak perihal perlawanan perempuan atas iklim ketertindasan
yang terus menimpa mereka. Mata cerita Mona hanya memperlihatkan sejumlah
kesaksian tentang betapa tidak mujurnya nasib dan peruntungan menjadi makhluk
bernama perempuan. Oleh karena cerita-ceritanya terpancang di atas
“kesadaran-mata”, maka dalam batas-batas tertentu, akan cukup sukar dicerna
bila hanya dengan perkakas pikiran. Bukankah tajam sorot mata hanya dapat
diroboh-tumbangkan oleh tajam sorot mata pula?
DATA BUKU:
Judul : Wajah Terakhir
Penulis : Mona Sylviana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I,
Agustus 2011
Tebal : 143 halaman
Comments
Pikiran dan tubuh tidak mungkin dapat dipisahkan. Mata (:tubuh) dalam cerpen Mona pun jelas tidak menafikkan ingatan, pikiran, akal: bahkan merepresentasikan kebulatan pikiran dan tubuh