Sejumlah Elegi Alazhi

 
Oleh: Damhuri Muhammad

(Jawa Pos, Minggu, 24/2/2013)



Di Paris, seorang perempuan bercadar sedang berbelanja. Setelah mendapatkan barang-barang kebutuhan, lekas ia menuju kasir untuk membayar. Kasir minimarket  yang dituju adalah perempuan keturunan Arab dengan busana modern. Sinis ia menatap perempuan bercadar. Ia menghitung nilai barang-barang belanjaan perempuan bercadar, lantas melemparkannya secara kasar ke atas meja. Tapi, perempuan bercadar begitu tenang, hingga kasir kian geram. "Kita punya banyak masalah di Prancis dan cadar kamu itu salah satu masalahnya. Di sini kita berbisnis, bukan untuk pamer agama. Kalau kamu mau mengenakan cadar, pulanglah ke negerimu dan jalani agamamu sesukamu!" Sesaat perempuan bercadar berhenti memasukkan barang belanjaan ke dalam tas. Lekas ia membuka cadar, lalu menatap mata kasir. Wajah di balik cadar ternyata wajah perempuan kulit putih dengan sepasang mata biru. "Aku perempuan Prancis tulen. Begitu pula ibu-bapakku. Ini Islamku dan ini negeriku. Kalian telah menjual agama kalian, dan kami membelinya..."
Kasir cantik dalam kisah yang santer dibincang di media jejaring sosial itu, mengingatkan saya pada nestapa Alazhi, muslimah etnis Uyghur, Kashgar, provinsi Xinjiang, dalam Alazhi Perawan Xinjiang, novel karya Nuthayla Anwar. Lepas dari kekolotan, alih-alih modernitas membebaskannya, justru menjadi tirani dalam hidupnya. Sebagaimana Gulina dan Aisha--dua adik perempuan Alazhi--yang lebih dahulu menerabas adat Uyghur, Alazhi bimbang; kembali ke pangkuan Ana (ibu) dan Dada (ayah) di Kashgar atau bertahan dalam hingar-bingar kota metropolitan Guang Zhou, yang jangankan membuat ia kian terhormat, malah membuat ia jatuh sebagai pribadi terhina. Keberangkatan Gulina dan Aisha ke Guang Zhou, dengan tipu-daya di malam buta, telah membuat ibunya terluka dan ayahnya merasa gagal--bukan saja sebagai ulama panutan umat, tapi juga sebagai ayah yang selayaknya tidak membuat anak gadisnya merasa ditindas oleh norma-norma keluarga.
Demi “menjadi modern”, Alazhi juga melanggar pantang; lari dari rumah, menuju Guang Zhou. Tapi setelah beralih-rupa menjadi Lian Ting (nama Mandarin Alazhi)--membuka kerudung, melenggang dengan rok mini, sepatu hak tinggi--Alazhi tak sungguh-sungguh bisa bertelanjang. Tabiatnya tetap Alazhi, gadis Kashgar yang besar di bawah asuhan Ana dan Dada. Tak ada yang berubah dari Alazhi selain busana. Setiap perubahan yang ditempuhnya, tetap saja parameternya tradisi yang membesarkannya. Bila Alazhi berbuat baik atau bersikap santun pada orang lain, itu bukan karena ia taat pada kaidah-kaidah etis humanisme universal yang dipuja-puji oleh peradaban dunia, tapi karena ibu-bapaknya mengajarkan cara berperangai mulia sejak kecil.
Mata sastra menimbang kebudayaan sebagai jejak-jejak pikiran yang dari kurun ke kurun telah menjadi pakaian dalam keseharian, bukan sebagai produk yang bisa dijual, dimodifikasi, apalagi diproduksi secara massif. Novelis Mesir, Radwa Ashour, dalam Tsulatsiyah Gharnathah (2003), jernih menggambarkannya. Koleksi kitab di perpustakaan Granada (Spanyol abad pertengahan) boleh saja dibakar, gedung sekolah boleh dirubuhkan, bahkan ratusan masjid disulap menjadi katedral, namun pikiran yang telah menjadi tarekat dalam hidup mereka tak dapat musnah. Ini pula yang terjadi pada kearifan etnis Uyghur. Betapapun orang-orang Han bersiasat guna membersihkan mereka dari Xinjiang, pikiran tak bisa ditaklukkan oleh senjata.
Damullah Musha dan jamaahnya tak gamang menyambut propaganda, intrik-intrik politik, monopoli lapangan kerja hingga kuasa tertinggi. Perhatikan betapa dalamnya rasa bersalah Hanipa pada suaminya, setelah ia membiarkan Alazhi berangkat ke Urumqi tanpa pengawasan. Lebih berdosa lagi ketika ternyata kepergian sulungnya bukan sesaat, tapi untuk selamanya. Mari bandingkan dengan penyesalan Nenek Melon, yang begitu dicintai suaminya. Rela laki-laki itu meninggalkan pekerjaannya di Nanjing, demi Wu Mingzhu--nama Mandarin Nenek Melon--yang tinggal di Kashgar sebagai peneliti. Bertahun-tahun ia mengurus Wu; memasak, mencuci baju, menyiapkan segala keperluan istrinya. Namun, di ujung riwayatnya, laki-laki itu pulang ke Nanjing lantaran kanker usus yang dideritanya. Berkali-kali ia berkabar perihal sakitnya pada Wu, namun perempuan itu tak kunjung menjenguknya, hingga suatu pagi Wu menerima kabar kematiannya. Itulah muasal penyesalan Nenek Melon, yang menjadi beban seumur hidupnya. Mana yang lebih manusiawi? Hanipa yang hormatnya pada suami dan ia mengaku bahagia, atau Nenek Melon, yang konon telah meraih “kebebasan sebagai perempuan”, tapi menyesal sepanjang hidup? Mana yang lebih modern? Hanipa atau Wu? Inilah pilihan yang secara tak sengaja tersuguhkan oleh novel setebal 438 halaman itu, tanpa kesan menggurui, tanpa harus berkhutbah, sebagaimana risalah-risalah moral yang menyaru sebagai karya sastra sejak beberapa tahun belakangan.
Khazanah kuliner dengan segenap masakan khas etnis Uyghur, ruang-ruang kota tua, taksi keledai, hingga arketip bangunan-bangunan bersejarah sangat rinci digambarkan. Ungkapan-ungkapan prosaiknya jernih,  sesekali getir dan elegik. Akan lebih dramatik lagi bila pengarang merancang hubungan asmara Alazhi dengan lelaki dari etnis Han. Romantikanya akan berlangsung, atau justru bersudah secara tragis, dan akan tersingkaplah konsekuensi-konsekeunsi etisnya pada militansi perlawanan Alazhi terhadap dominasi orang-orang Han. Selain itu, dapat diselami pula akar-akar kebencian kaum Han terhadap komunitas muslim Uyghur yang memuncak pada kerusuhan Juli 2009, yang telah menggemparkan dunia. Namun, suara lain dari sayap yang bersebelahan tampaknya kurang menjadi perhatian.
Beruntung ada karakter Ishmaili, pemilik Xinyue Moslem Restaurant, lelaki Uyghur tulen tapi menggunakan nama mandarin; Wang. Ia benci tatanan kultural Xinjiang, meski tetap mempertahankan restorannya, sumber penghidupannya, sebagai Restoran Muslim Xinjiang. Sikap bermuka-dua yang membuat Alazhi makin merasa berdosa pada tanah kelahirannya. Wang salah satu donatur yang membiayai propaganda-propaganda penggusuran rumah milik orang-orang Kashgar, termasuk keluarganya.
            Huru-hara antaraetnis Uyghur dan etnis pendatang Han merenggut nyawa  Upur Rahman, sahabat Musha. Juga Mammet Hassan, lelaki yang pernah melamar Alazhi, namun ia menolak, hingga akhirnya ia mempersunting Gulimaina, saudara sepupu Alazhi. Mammet memilih Guli, karena gadis itu mirip Alazhi. Dan, yang paling membuat Alazhi menyesal adalah kematian Musha, ayahnya. Ana  memohon-mohon kepulangannya saat Musha sakit keras, namun Alazhi tak kunjung tiba. Di sepanjang riwayatnya, perawan Xinjiang itu bakal karam dalam penyesalan, sebagaimana penyesalan Nenek Melon. Alazhi memang sudah bebas dari kekolotan, dan terlahir sebagai manusia baru di negeri orang, namun kerinduan yang tertanggungkan pada Ana, pada kenangan makan malam bersama almarhum Dada, akan menjelma darah dalam setiap pembuluh di tubuhnya.



DATA BUKU
Judul       :  Alazhi  Perawan Xinjiang
Penulis    :  Nuthayla Anwar
Penerbit  :  Qonita, Bandung
Cetakan  :  I,  Desember 2012
Tebal      :  438  halaman



Comments

Popular Posts