Jawul Menggerek Bendera
“Itu barang berharga, masa kamu lupa?” bentak nyonya Sonia
pagi itu.
“Coba
cari di lemari pakaian bekas, kalau ndak ketemu,
cari di gudang! Pokoknya bendera itu harus ketemu. Paham?” sambung nyonya lagi,
suaranya sedikit meninggi.
“Iya
Nya, iya…” jawab Sumi, gugup.
Meski
Sumi mengobrak-abrik lemari pakaian bekas atau membongkar tumpukan barang-barang
di gudang, ia tidak bakal menemukan barang yang dicari. Sebab, bendera itu kini
ada di dalam celana Jawul. Setelah dikibarkan pada hari ulang tahun kemerdekaan
tahun lalu, Sumi memang menyimpannya di gudang, tapi diam-diam Jawul mengambilnya, lalu membawanya
ke tukang jahit untuk dibuat jadi celana
pendek. Unik juga hasilnya, celana pendek Jawul memiliki dua warna. Sisi sebelah
kiri putih, sisi kanannya merah. Karena serat bahannya kasar dan murahan,
setelah hampir setahun dipakai Jawul, celana pendek itu mulai lusuh. Sisi kiri
tak bisa disebut putih lagi, kuning juga bukan. Begitu juga sisi kanan, merah
tidak, cokelat pun bukan. Kusam.Lusuh
“Sampean
lihat bendera ndak?” tanya Sumi.
“Lho,
yang nyimpan sampean malah nanya aku,” balas Jawul, pura-pura tidak tahu.
“Gawat
Mas, gawat!”
“Apanya
yang gawat?”
“Nyonya
bisa marah besar kalau bendera itu ndak ada.”
“Walah,
soal bendera aja kok gawat? Apa susahnya? Beli aja yang baru. Gonta-ganti mobil
tiap tahun, masa beli
bendera aja ndak bisa?”
“Tapi
Nyonya tahu kalau bendera tahun lalu masih bagus. Mubazir kalau beli lagi,
katanya.”
Sebenarnya
Jawul tidak tega melihat Sumi uring-uringan seperti itu. Lagi pula, bila
bendera itu tidak ditemukan, yang diomeli nyonya Sonia bukan Sumi saja. Sebagai
satpam, tentu Jawul lebih bertanggungjawab dalam urusan pengibaran bendera. Ia
bakal kena getahnya juga. Jadi, mau tak mau Jawul harus ikut memikirkan
bagaimana caranya agar pada 17 Agustus nanti, bendera mesti berkibar. Semula Jawul ingin berterus terang saja
pada Sumi, tapi setelah ditimbang-timbang dan dipikir-pikir lagi, pengakuannya tidak
akan mengubah keadaan, percuma. Kalaupun Sumi tahu bendera yang hilang itu
telah disulapnya jadi celana pendek, nasi sudah jadi bubur. Kain bendera sudah
jadi celana pendek, dan celana pendek tak mungkin jadi bendera kembali.
Parahnya lagi, satu-satunya celana pendek yang dimiliki Jawul hanyalah celana
pendek dari bahan kain bendera itu, itupun sudah penuh tambalan di pinggul
kiri, paha kanan, pun di bagian selangkangan.
Jawul
dan Sumi agak lega setelah mereka membongkar tumpukan barang-barang di gudang
belakang. Mereka menemukan ratusan lembar bendera baru, dan menurut Sumi belum
pernah dikibarkan sama sekali. Hanya saja, bendera-bendera itu tidak seperti
bendera yang diinginkan majikan mereka. Kombinasi warnanya bukan merah putih,
tapi kuning menyala.
“Nah,
gimana kalau pakai yang ini saja?” tanya Jawul
“Ojo ngawur sampean! Itu bendera milik
Bapak. Sisa kampaye bulan lalu. Bukan itu yang kita cari,” Sumi menggerutu.
“Siapa
tahu nyonya setuju kalau kita pakai bendera kuning ini. Bendera-bendera ini
masih baru, belum pernah dipasang pula.”
“Ndak
usah cari masalah! Pokoknya aku ndak mau. Titik!”
“Lho,
asal kamu tau, justru bendera-bendera ini yang bikin jabatan Bapak jadi awet. Dan,
kita bisa cari makan di sini. Gitu lho,” jelas Jawul, sok pintar.
“Tapi
yang kita cari bendera merah putih. Ini hari ulang tahun kemerdekaan, bukan
musim kampanye, ngerti sampean?”
Ulang tahun kemerdekaan
tinggal satu hari lagi. Sumi dan Jawul makin gelisah, sebab barang yang mereka
cari belum kunjung ketemu. Sumi hanya bisa berharap semoga Jawul melakukan sesuatu
supaya besok pagi bendera sudah terpasang di halaman rumah majikan mereka.
“Jika bendera itu tidak
ditemukan sampai besok pagi, saya pecat kalian! Mengerti?” nyonya Sonia mulai naik pitam.
“Cari
sampai ketemu!”
“Di
gudang banyak bendera Nya, tapi warnanya kuning semua,” sela Jawul.
“Saya
mau bendera merah putih. Kalau bendera kuning juga banyak di lemari kamar
saya.”
“Ada
apa Ma? Kok ribut-ribut?” sapa Bapak yang baru muncul dari kamarnya.
“Ini
lho pa, kita belum punya bendera untuk dikibarkan besok pagi.”
“Bendera
bekas tahun lalu hilang.”
“Sudahlah,
beli saja yang baru!”
“Tolong
kamu yang cari Wul!” suruh Bapak pada Jawul sambil memberikan sejumlah uang.
“Baik
Pak!”
***
Jawul sudah mendatangi lapak-lapak
pedagang kaki lima yang menjual atribut-atribut partai di setiap penjuru kota,
begitu juga toko-toko bahan pakaian di pasar inpres, tapi
ia belum mendapatkan bendera itu.
“Kenapa
Bapak ndak menjual bendera? Kan banyak yang butuh,” tanya Jawul pada seorang
pedagang.
“Bukan
tidak mau Mas, sulit mendapatkan bahan kain warna merah dan warna putih.”
“Maksudnya?”
“Stok
kain warna putih dan warna merah itu katanya sudah habis untuk bikin bendera
partai.”
“Lalu,
di mana saya bisa dapatkan bendera merah putih itu?”
“Saya
cuma butuh satu bendera saja. Sangat
butuh!”
“Coba
cari di pinggir-pinggir jalan utama!”
Jawul menelusuri ruas-ruas jalan
utama, pelataran-pelataran trotoar, halte-halte pemberhentian bis kota, sisi
kiri dan sisi kanan traffic light.
Tapi, tak seorangpun pedagang bendera yang menggelar dagangan di sana.
“Di
jalan ini dilarang jualan bendera. Merusak keindahan kota, katanya. Udah lama tidak
ada pedagang bendera di sini, Mas,” begitu jawab tukang tambal ban di pinggir
jalan ketika ditanya Jawul. “Tahu pindahnya ke mana?” Orang itu menggeleng.
Jawul
makin cemas. Karena ulah bendera itu ia terancam bakal kehilangan pekerjaan. Ia
mampir di sebuah warung, tak jauh dari tempat tukang tambal ban tadi. Melepas
lelah sambil menyumpal perut yang mulai keroncongan. Setelah menggasak sepiring
nasi ditambah dua buah tempe bacem, saat menjangkau serbet yang tergantung di
pojok warung itu, Jawul tersentak kaget. Kain serbet yang masih dipegangnya
ternyata selembar bendera. Meski kotor, ia yakin kalau serbet itu pasti dulunya
bendera. Sisi sebelah bawahnya hitam karena daki tangan, tapi warna merahnya
masih lumayan kinclong. “Nah, ini dia.” Jawul membatin.
“Apa
sampean ndak punya serbet lain? Ini kan bendera, kok dijadikan lap tangan?”
tanya Jawul.
“Udah syukur saya jadikan serbet, dulu saya
temukan di tong sampah. Lalu saya rendam pakai deterjen dan lumayan kan? Masih
bisa jadi lap tangan. Masih bermanfaat,” jawab pemilik warung itu.
“Brengsek!” maki Jawul dalam hati.
“Kalau
saya beli, situ mau jual ndak?”
“Ntar
saya nggak punya serbet lagi dong?”
“Situ
kan bisa beli serbet baru dengan uang saya ini.”
“Nggak
lah Mas. Lap tangan nggak perlu bagus-bagus
amat. Ini aja udah cukup.”
“Kualat sampean!”
Jalan
mulai lengang. Deru mesin kendaraan tak terdengar lagi. Jawul nyaris hilang
harapan untuk memperoleh bendera. Tak bisa ia membayangkan betapa paniknya
suasana di rumah nyonya Sonia, karena saat ini jam sudah menunjukkan pukul
00.30 WIB, sementara ia belum juga datang membawa bendera. Jawul tak mungkin
kembali tanpa bendera itu. Dengan langkah gegas, tersengah-sengah, setengah
berlari ia melesap pulang ke rumah kontrakannya.
Setiba
di rumah, langsung saja Jawul melucuti seragamnya, mencopoti baju dan celana,
dan sudah pasti menanggalkan celana pendek itu. Dibelahnya kedua sisi celana
pendek kesayangannya itu, lantas dijahitnya dengan jarum tangan sekenanya
hingga utuh jadi bendera. Meski sisi atas yang berwarna merah lebih kecil dari
sisi bawah yang berwarna putih. Timpang.
“Mau
dibawa ke mana Mas?” tanya Lastri, istrinya.
“Aku
ndak mau dipecat hanya gara-gara bendera celaka ini.”
“Dipecat
gimana Mas?”
“Masa kalau ndak ada bendera sampai
besok pagi, aku dan Sumi akan dipecat
nyonya?”
“Tapi
ndak usah kuatir! Ini sudah jadi bendera. Malam ini juga akan kupasang. Biar
mereka puas. Ndak punya celana pendek
juga ndak apa-apa, asal bendera tetap berkibar,” ketusnya lagi.
****
Sepagi ini, nyonya Sonia dan
suaminya sudah bangun. Mereka melakukan senam ringan sekadar menghangatkan
badan sebelum menghadiri upacara peringatan hari kemerdekaan di halaman kantor
Gubernur. Diam-diam Sumi mengintip dari balik jendela dapur. Ia masih berharap
agar Jawul datang membawa bendera. Jika tidak, apa boleh buat, mereka berdua akan
angkat kaki dari rumah itu. Dipecat hanya gara-gara bendera. Sumi terus
memerhatikan gerak gerik nyonya. Belum tampak tanda-tanda nyonya bakal marah
besar. Hanya beberapa meter dari tiang bendera di halaman rumah itu, nyonya
berdiri sambil menengadah. Ia lega setelah melihat bendera sudah terpasang dan
berkibar ditiup angin sepoi pagi itu.
“Ma,
bendera kita kelihatannya lusuh amat?”
“Lusuh? Kemarin Papa yang nyuruh si Jawul beli
bendera baru. Bendera baru kok dibilang lusuh?”
“Merahnya
kurang menyala, seperti bendera bekas. Sisi atas dan sisi bawah kurang imbang,
agak senjang.”
“Ah,
yang penting kita sudah mengibarkan bendera, besok juga sudah diturunkan.”
Jawul
datang agak telat, nyonya Sonia dan suaminya sudah berangkat saat ia tiba.
Sebelum masuk ke dapur untuk memesan segelas kopi panas pada Sumi, sejenak ia berhenti
di depan pos satpam, menghadap ke tiang bendera. Dengan sikap sempurna, tegap
dan berwibawa, Jawul memberi hormat pada bendera itu.
Jakarta, 2008
foto bendera: http://kausarkhoirr.blogspot.com
foto bendera: http://kausarkhoirr.blogspot.com
Comments