Jawul Menggerek Bendera

-->Cerpen  Damhuri Muhammad 


“Itu barang berharga, masa kamu lupa?” bentak nyonya Sonia pagi itu.      
        “Coba cari di lemari pakaian bekas, kalau ndak ketemu, cari di gudang! Pokoknya bendera itu harus ketemu. Paham?” sambung nyonya lagi, suaranya sedikit meninggi.
          “Iya Nya, iya…” jawab Sumi, gugup.
         Meski Sumi mengobrak-abrik lemari pakaian bekas atau membongkar tumpukan barang-barang di gudang, ia tidak bakal menemukan barang yang dicari. Sebab, bendera itu kini ada di dalam celana Jawul. Setelah dikibarkan pada hari ulang tahun kemerdekaan tahun lalu, Sumi memang menyimpannya di gudang, tapi  diam-diam Jawul mengambilnya, lalu membawanya ke tukang jahit untuk dibuat jadi  celana pendek. Unik juga hasilnya, celana pendek Jawul memiliki dua warna. Sisi sebelah kiri putih, sisi kanannya merah. Karena serat bahannya kasar dan murahan, setelah hampir setahun dipakai Jawul, celana pendek itu mulai lusuh. Sisi kiri tak bisa disebut putih lagi, kuning juga bukan. Begitu juga sisi kanan, merah tidak, cokelat  pun bukan. Kusam.Lusuh
            “Sampean lihat bendera ndak?” tanya Sumi.
            “Lho, yang nyimpan sampean malah nanya aku,” balas Jawul, pura-pura tidak tahu.
            “Gawat Mas, gawat!”
            “Apanya yang gawat?”          
            “Nyonya bisa marah besar kalau bendera itu ndak ada.”
          “Walah, soal bendera aja kok gawat? Apa susahnya? Beli aja yang baru. Gonta-ganti mobil tiap tahun, masa  beli  bendera aja ndak bisa?”        
            “Tapi Nyonya tahu kalau bendera tahun lalu masih bagus. Mubazir kalau beli lagi, katanya.”
            Sebenarnya Jawul tidak tega melihat Sumi uring-uringan seperti itu. Lagi pula, bila bendera itu tidak ditemukan, yang diomeli nyonya Sonia bukan Sumi saja. Sebagai satpam, tentu Jawul lebih bertanggungjawab dalam urusan pengibaran bendera. Ia bakal kena getahnya juga. Jadi, mau tak mau Jawul harus ikut memikirkan bagaimana caranya agar pada 17 Agustus nanti, bendera mesti berkibar.      Semula Jawul ingin berterus terang saja pada Sumi, tapi setelah ditimbang-timbang dan dipikir-pikir lagi, pengakuannya tidak akan mengubah keadaan, percuma. Kalaupun Sumi tahu bendera yang hilang itu telah disulapnya jadi celana pendek, nasi sudah jadi bubur. Kain bendera sudah jadi celana pendek, dan celana pendek tak mungkin jadi bendera kembali. Parahnya lagi, satu-satunya celana pendek yang dimiliki Jawul hanyalah celana pendek dari bahan kain bendera itu, itupun sudah penuh tambalan di pinggul kiri, paha kanan, pun di bagian selangkangan.
            Jawul dan Sumi agak lega setelah mereka membongkar tumpukan barang-barang di gudang belakang. Mereka menemukan ratusan lembar bendera baru, dan menurut Sumi belum pernah dikibarkan sama sekali. Hanya saja, bendera-bendera itu tidak seperti bendera yang diinginkan majikan mereka. Kombinasi warnanya bukan merah putih, tapi kuning menyala.       
            “Nah, gimana kalau pakai yang ini saja?” tanya Jawul
           Ojo ngawur sampean! Itu bendera milik Bapak. Sisa kampaye bulan lalu. Bukan itu yang kita cari,”  Sumi menggerutu.
            “Siapa tahu nyonya setuju kalau kita pakai bendera kuning ini. Bendera-bendera ini masih baru, belum pernah dipasang pula.”
            “Ndak usah cari masalah! Pokoknya aku ndak mau. Titik!”
            “Lho, asal kamu tau, justru bendera-bendera ini yang bikin jabatan Bapak jadi awet. Dan, kita bisa cari makan di sini. Gitu lho,” jelas Jawul, sok pintar.
        “Tapi yang kita cari bendera merah putih. Ini hari ulang tahun kemerdekaan, bukan musim kampanye, ngerti sampean?”
            Ulang tahun kemerdekaan tinggal satu hari lagi. Sumi dan Jawul makin gelisah, sebab barang yang mereka cari belum kunjung ketemu. Sumi hanya bisa berharap semoga Jawul melakukan sesuatu supaya besok pagi bendera sudah terpasang di halaman rumah majikan mereka.
            “Jika bendera itu tidak ditemukan sampai besok pagi, saya pecat kalian! Mengerti?”  nyonya Sonia mulai naik pitam.
            “Cari sampai ketemu!”
            “Di gudang banyak bendera Nya, tapi warnanya kuning semua,” sela Jawul.
            “Saya mau bendera merah putih. Kalau bendera kuning juga banyak di lemari kamar saya.”
            “Ada apa Ma? Kok ribut-ribut?” sapa Bapak yang baru muncul dari kamarnya.
            “Ini lho pa, kita belum punya bendera untuk dikibarkan besok pagi.”          
            “Bendera bekas tahun lalu hilang.”
            “Sudahlah, beli saja yang baru!”
            “Tolong kamu yang cari Wul!” suruh Bapak pada Jawul sambil memberikan sejumlah uang.
            “Baik Pak!”
***
            






            Jawul sudah mendatangi lapak-lapak pedagang kaki lima yang menjual atribut-atribut partai di setiap penjuru kota, begitu juga toko-toko bahan pakaian di pasar inpres,  tapi  ia belum mendapatkan bendera itu.
            “Kenapa Bapak ndak menjual bendera? Kan banyak yang butuh,” tanya Jawul pada seorang pedagang.
            “Bukan tidak mau Mas, sulit mendapatkan bahan kain warna merah dan warna putih.”
            “Maksudnya?”
            “Stok kain warna putih dan warna merah itu katanya sudah habis untuk bikin bendera partai.”
            “Lalu, di mana saya bisa dapatkan bendera merah putih itu?”          
            “Saya cuma butuh satu bendera saja.  Sangat butuh!”
            “Coba cari di pinggir-pinggir jalan utama!”
Jawul menelusuri ruas-ruas jalan utama, pelataran-pelataran trotoar, halte-halte pemberhentian bis kota, sisi kiri dan sisi kanan traffic light. Tapi, tak seorangpun pedagang bendera yang menggelar dagangan di sana.
            “Di jalan ini dilarang jualan bendera. Merusak keindahan kota, katanya. Udah lama tidak ada pedagang bendera di sini, Mas,” begitu jawab tukang tambal ban di pinggir jalan ketika ditanya Jawul. “Tahu pindahnya ke mana?” Orang itu menggeleng.
          Jawul makin cemas. Karena ulah bendera itu ia terancam bakal kehilangan pekerjaan. Ia mampir di sebuah warung, tak jauh dari tempat tukang tambal ban tadi. Melepas lelah sambil menyumpal perut yang mulai keroncongan. Setelah menggasak sepiring nasi ditambah dua buah tempe bacem, saat menjangkau serbet yang tergantung di pojok warung itu, Jawul tersentak kaget. Kain serbet yang masih dipegangnya ternyata selembar bendera. Meski kotor, ia yakin kalau serbet itu pasti dulunya bendera. Sisi sebelah bawahnya hitam karena daki tangan, tapi warna merahnya masih lumayan kinclong. “Nah, ini dia.” Jawul membatin.
         “Apa sampean ndak punya serbet lain? Ini kan bendera, kok dijadikan lap  tangan?” tanya Jawul.
           “Udah syukur saya jadikan serbet, dulu saya temukan di tong sampah. Lalu saya rendam pakai deterjen dan lumayan kan? Masih bisa jadi lap tangan. Masih bermanfaat,” jawab pemilik warung itu.
            “Brengsek!” maki Jawul dalam hati.
            “Kalau saya beli, situ mau jual ndak?”          
            “Ntar saya nggak punya serbet lagi dong?”
            “Situ kan bisa beli serbet baru dengan uang saya ini.”
            “Nggak lah Mas. Lap tangan nggak perlu bagus-bagus amat. Ini aja udah cukup.”
            “Kualat sampean!”
            Jalan mulai lengang. Deru mesin kendaraan tak terdengar lagi. Jawul nyaris hilang harapan untuk memperoleh bendera. Tak bisa ia membayangkan betapa paniknya suasana di rumah nyonya Sonia, karena saat ini jam sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB, sementara ia belum juga datang membawa bendera. Jawul tak mungkin kembali tanpa bendera itu. Dengan langkah gegas, tersengah-sengah, setengah berlari ia melesap pulang ke rumah kontrakannya.
            Setiba di rumah, langsung saja Jawul melucuti seragamnya, mencopoti baju dan celana, dan sudah pasti menanggalkan celana pendek itu. Dibelahnya kedua sisi celana pendek kesayangannya itu, lantas dijahitnya dengan jarum tangan sekenanya hingga utuh jadi bendera. Meski sisi atas yang berwarna merah lebih kecil dari sisi bawah yang  berwarna putih. Timpang.
            “Mau dibawa ke mana Mas?” tanya Lastri, istrinya.
            “Aku ndak mau dipecat hanya gara-gara bendera celaka ini.”
            “Dipecat gimana Mas?”
            “Masa kalau ndak ada bendera sampai besok pagi, aku dan Sumi akan dipecat  nyonya?”
            “Tapi ndak usah kuatir! Ini sudah jadi bendera. Malam ini juga akan kupasang. Biar mereka puas. Ndak punya celana pendek juga ndak apa-apa, asal bendera tetap berkibar,” ketusnya lagi.

****

         Sepagi ini, nyonya Sonia dan suaminya sudah bangun. Mereka melakukan senam ringan sekadar menghangatkan badan sebelum menghadiri upacara peringatan hari kemerdekaan di halaman kantor Gubernur. Diam-diam Sumi mengintip dari balik jendela dapur. Ia masih berharap agar Jawul datang membawa bendera. Jika tidak, apa boleh buat, mereka berdua akan angkat kaki dari rumah itu. Dipecat hanya gara-gara bendera. Sumi terus memerhatikan gerak gerik nyonya. Belum tampak tanda-tanda nyonya bakal marah besar. Hanya beberapa meter dari tiang bendera di halaman rumah itu, nyonya berdiri sambil menengadah. Ia lega setelah melihat bendera sudah terpasang dan berkibar ditiup angin sepoi pagi itu.
            “Ma, bendera kita kelihatannya lusuh amat?”           
         “Lusuh? Kemarin Papa yang nyuruh si Jawul beli bendera baru. Bendera baru kok dibilang lusuh?”
         “Merahnya kurang menyala, seperti bendera bekas. Sisi atas dan sisi bawah kurang imbang, agak senjang.”
            “Ah, yang penting kita sudah mengibarkan bendera, besok juga sudah diturunkan.”
         Jawul datang agak telat, nyonya Sonia dan suaminya sudah berangkat saat ia tiba. Sebelum masuk ke dapur untuk memesan segelas kopi panas pada Sumi, sejenak ia berhenti di depan pos satpam, menghadap ke tiang bendera. Dengan sikap sempurna, tegap dan berwibawa, Jawul memberi hormat pada bendera itu.

Jakarta, 2008
foto bendera: http://kausarkhoirr.blogspot.com

Comments

Popular Posts