Bila Politik Bertopeng, Sastra Menyingkapkannya
Damhuri
Muhammad
(Kompas, Minggu, 31/08/14)
Akibat sebuah kecerobohan, seorang ahli
kimia molekuler mengalami kecelakaan di laboratoriumnya. Dalam sebuah
eksperimen, wajahnya terbakar. Ia mengalami luka-luka keloid, hingga seluruh jaringan
kulit mukanya rusak, bopeng, remuk tak berbentuk. Sejak itu, ia menjadi anonim,
tak bisa dikenali lagi, terkucil, bahkan dikhianati oleh orang yang dicintainya--istrinya
berselingkuh, tak bisa lagi bersetia pada suami tak bermuka.
Ahli kimia itu kehilangan identitas
yang dulu melekat di raut mukanya. Tak soal bila yang cacat itu tangan atau
kaki, tapi apa jadinya bila ia kehilangan muka? Lalu, ia merancang sebuah
topeng guna menggantikan wajah lamanya.
Ingin terlahir kembali dengan wajah utuh. Hasilnya tak
tanggung-tanggung, dengan perangkat teknologi dan bahan-bahan yang diolahnya
sedemikian rupa, topeng ciptaannya bisa berkeringat, di permukaannya bisa
tumbuh bulu dan jerawat. Namun, alih-alih topeng itu membebaskannya dari
keterasingan, malah membuat ia kian terpuruk dalam situasi keterpelantingan
eksistensial. Jangankan topeng itu, bahkan wajah aslinya yang sudah hancur itu
tetap tidak bisa merepresentasikan kediriannya yang sejati. Ia terus didesak
untuk memercayai bahwa wajah aslinya pun topeng, tak lebih berharga dari topeng
yang telah berhasil mengelabui mantan istrinya. Baginya, tiada sesuatu yang
bisa dipancarkan oleh muka, selain dusta dan kepalsuan. Demikian kisah tragis
yang dinukilkan sastrawan Jepang, Kobo Abe (1924-1993) dalam novelnya The Face of Another (1967).
Personalitas manusia bertopeng semacam
itu juga menjadi perhatian serius dalam teks monolog Wakil Rakyat yang Terhormat karya Putu Fajar Arcana, yang dibukukan
dalam Monolog Politik (2014).
Berkisah tentang seorang wakil rakyat yang merasa hidupnya terpasung di balik topeng.
Ia mengaku telah mengkhianati amanah rakyat, menangguk keuntungan atas nama
rakyat, menimbun kekayaan dengan menghalalkan segala cara, dan menggunakan
muslihat jahat demi mempertahankan kursi di parlemen. Itu semua karena ulah
topeng yang telah meringkus wajah aslinya. Ia menyesal dan ingin mengelupaskan topengnya
hingga kembali menjadi manusia biasa. Celakanya, topeng itu sudah bersenyawa
dengan kulit wajahnya. Dengan segala cara ia membuka topeng itu. Sialnya,
setelah topeng terkelupas, muka aslinya ternyata jauh lebih buruk.
Monolog itu telah dipentaskan di
Bentara Budaya Jakarta, 19 Juli 2014, diperankan oleh aktris kawakan Ine
Febriyanti dan disutradrai langsung oleh Putu Fajar Arcana. Sengaja atau tak, panggung
itu relevan dengan momentum politik, karena penyelenggaraannya hanya dua bulan
selepas Pemilu Legislatif (Pileg) dan beberapa hari setelah Pilpres 2014. Masih
segar dalam ingatan kita, betapa dusta diumbar di mana-mana, fitnah merajalela,
baik politisi maupun simpatisan saling sikut, saling seruduk, guna mendulang
suara. Kontestasi politik yang begitu runcing menjelang Pilpres bagai panggung teater
yang lebih dramatik dari teater paling dramatik sekalipun. Karena berbeda
pilihan Capres, banyak pertemanan berubah menjadi permusuhan, yang hingga kini mungkin
belum terdamaikan. Hubungan atasan-bawahan, mertua-menantu, bahkan suami-istri
retak, hanya karena perbedaan pilihan politik. Maka, tantangan panggung monolog
yang hendak memotret perilaku politik--apalagi personalitas
subyek politik--menjadi
tidak main-main. Ia harus lebih intens, eksperimental, dan lebih dramatik dari
peristiwa politik, yang dalam prolog Putu Wijaya di buku itu, disebut “teater spektakuler yang begitu mencekam.”
Pada 20 Juli 2014 dipentaskan pula
lakon bertajuk Orgil (Orang Gila), monolog keempat dari lima monolog yang
terhimpun dalam buku tersebut. Diperankan oleh aktor Didon Kajeng, dan
disutradarai Afif Mahfuz. Berkisah tentang pengakuan seorang tokoh kunci dalam
skandal korupsi yang melibatkan banyak petinggi Parpol. Demi keamanan negara
dan nama baik seorang petinggi Parpol yang sedang berkuasa, tokoh kunci itu
diklaim gila, lalu dijerumuskan ke Rumah Sakit Jiwa, hingga kesaksiannya tak
bisa dibenarkan. Lagi-lagi, Arcana
hendak menyingkap personalitas subyek politik, yang pertaruhannya tak tanggung-tanggung.
Bila pencapaian estetiknya tidak sampai, monolog itu akan segera terhimpit oleh
lalu lalang kabar tentang Bupati yang tertangkap tangan oleh KPK, atau mantan menteri
berstatus tersangka, tapi masih bisa tersenyum lebar di layar kaca, seperti
kaum selebritas. Sandiwara yang begitu menakjubkan.
Meski begitu, teks monolog bukan
saja untuk dipanggungkan. Ia juga kesaksian yang berasal dari situasi menyepi. Di
saat politisi jauh dari keriuhan gelanggang politik, kejernihan biasanya
menyembul ke permukaan, kewarasan menghentak-hentak menolak siasat jahat yang
sedang direncanakan. Dari situlah Arcana membangun Monolog Politik-nya. Kelak, teks-teks monolog itu bukan sekadar
pengakuan personal manusia politik yang menjadi panggilan penciptaan seorang
sastrawan, tapi juga pengakuan massal setiap orang dalam jaring laba-laba politik,
atau yang disebut oleh Claude Lefort (1988) sebagai “the political” (le politique). Tokoh imajiner dalam Wakil Rakyat yang Terhormat dan Orgil bukan saja representasi dari politisi
tertentu, tapi juga pengakuan massal--bahkan banal--dari semua subyek politik. Sebab, yang berperangai
politik menyimpang bukan saja elit, rakyat jelata yang menerima amplop sebelum
berangkat ke TPS, sama bobroknya dengan para penggila kursi di parlemen itu.
Kita sadar bahwa kita sedang berdusta, namun kita hanya mengakuinya dalam
kesendirian, saat berbicara dengan diri sendiri, saat bermonolog.
Begitulah semestinya posisi sastra dalam hiruk-pikuk politik
yang tak terpermanai itu. Ia berkhidmat di ranah kesaksian, dan bertahan untuk
tidak terseret arus deras politik. Sebelum Pilpres 2014, dunia sastra dikejutkan
oleh munculnya sejumlah puisi--atau yang setidaknya disebut “puisi” oleh kaum politisi--seperti
Sajak Tentang Boneka, Sajak Seekor Ikan,
Airmata Buaya, Raisopopo, karya penyair-politisi, Fadli Zon.
Puisi-puisi instant yang dirancang atas dasar sinisme pada lawan politik
tertentu. Namun, alih-alih
dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar sebagai slogan. Semacam bahasa
politik yang menyaru ke dalam tubuh puisi. Monolog
Politik karya Putu Fajar Arcana seolah hendak merespon karya sastra yang diperlakukan
sebagai perkakas politik itu. Sastra adalah mata, bukan senjata. Ia bermula
dari kejernihan dan kewarasan, bukan dari kedengkian, apalagi kebencian. Bila
politik gemar membuat topeng, sastra senantiasa akan menyingkapkannya…
Comments