Keriangan yang Punah


Damhuri Muhammad


(versi cetak artikel ini tersiar di harian Kompas, Selasa 12 Desember 2017)



Jangan bergegas menuju dewasa. Tak perlu tergesa menuju tua. Sebab, puncak kegembiraan ada di masa kanak-kanak




Demikian pesan seorang ayah kepada anaknya dalam sebuah obrolan ringan akhir pekan. Sekilas terdengar ganjil dan barangkali dapat menimbulkan banyak pertanyaan. Sebab, lazimnya orangtua menginginkan anaknya lekas besar, segera matang, hingga secepatnya pula menggapai cita-cita.


Sumber ilustrasi: www.dailymail.co.uk



           Saya membayangkan kegembiraan yang dimaksud oleh nasihat di atas. Jauh sebelum game online merajalela, anak-anak masa silam hanya mengenal permainan mobil-mobilan dari kulit Jeruk Bali. Bodi utamanya terbuat dari satu belahan simetris kulit Jeruk. Lalu, bagian atapnya diambil dari belahan simetris yang lain dalam ukuran lebih kecil. Empat roda dibentuk dari bahan yang sama, dengan perkakas sederhana hingga ukurannya sulit untuk dibikin persis sama. Rangka penghubung antara bodi, atap, dan empat roda hanya memerlukan beberapa bilah bambu ukuran kecil. Mobil Kulit Jeruk segera meluncur di jalan setelah dihubungkan dengan tali rapia hingga dapat dihela ke mana suka.
          Satu-dua hari kulit Jeruk Bali tentu akan layu dan lisut, hingga mobil berjalan egol-egol lantaran putaran rodanya tak imbang lagi. Selain itu, warnanya juga akan berubah. Tapi anak-anak masa lalu masih menyeretnya ke mana-mana. Bahkan masih digasak di gelanggang balapan dengan anak-anak lain hingga akhirnya semua mobil itu hancur berantakan di jalan berbatu. Tak usah kuatir, sebab persediaan Jeruk Bali melimpah. Mereka akan kembali membuat mobil baru esok hari, untuk kemudian dihancurkan kembali. Di sanalah kegembiraan tumbuh. Membuat mainan dengan tangan sendiri, meminjam pisau dari dapur ibu, saling meledek karena hasilnya mungkin terlalu jauh dari bentuk mobil sebenarnya, tertawa terpingkal-pingkal, lalu main bersama hingga tiba waktu senja.  
Anak-anak masa silam juga terbiasa bermain Meriam Bambu. Terbuat dari dua ruas bambu tua yang mereka tebang dari rumpun aur sendiri. Bagian pangkal ruas pertama dilubangi sebagai pintu untuk memasukkan minyak tanah dan kain bekas. Perlu sebilah bambu ukuran kecil sebagai pemantik api yang akan disulutkan ke lubang di pangkal Meriam. Setelah itu, terdengarlah suara dentuman yang saling berbalas di antara satu kampung dengan kampung lain. Kadang-kadang Meriam Bambu juga digunakan sebagai senjata dalam perang-perangan. Biasanya dilakukan di tengah sawah selepas panen. Satu kelompok anak-anak dengan 5 Meriam berposisi saling berhadap-hadapan dengan kelompok anak-anak lain dengan jumlah Meriam yang sama, dalam jarak 150 meter. Sebelum saling menyerang sesuai aba-aba, di ujung setiap Meriam dipasangkan tempurung kelapa terlebih dahulu. Dentuman yang bertubi-tubi makin semarak oleh tempurung kelapa yang beterbangan. Tak ada ukuran baku guna menentukan pemenang dari perang itu, tapi yang menarik dari permainan itu adalah bulu mata para operator Meriam yang gundul akibat lidah api yang menyembul di lubang penyulut. Panas tinggi dari ruas bambu mengakibatkan cipratan api. Sekali lagi, di situlah keriangan menyala. Kedua pasukan terbahak-bahak melihat muka sahabat-sahabatnya belepotan arang dan bulu mata yang gundul lantaran jilatan api Meriam Bambu.
Siapa tak kenal Petak Umpet? Tak ada wilayah Indonesia yang tidak memiliki permainan ini, meski nama dan cara bermainnya berbeda-beda. Permainan popular ini telah menyisakan banyak kegembiraan yang mustahil diulang setelah kita beranjak dewasa. Manakala sekelompok anak-anak sudah bersembunyi di ceruk-ceruk yang paling sukar ditemukan, ternyata anak yang bertugas mencari, pulang diam-diam. Berjam-jam mereka meringkuk di persembunyian, sementara si pencari tak kunjung tiba. Ketika hari beranjak sore, yang muncul di lokasi justru teriakan seorang ibu yang merasa kehilangan  anaknya. Begitu mereka keluar dari persembunyian, meledaklah kekecewaan, juga tawa karena mereka telah tertipu secara berjamaah.  Meski begitu, esok hari mereka bermain kembali.






Kini, keriangan demi keriangan itu adalah barang langka, baik di desa, apalagi di kota-kota besar. Suatu kali di masa liburan sekolah, saya mengajak anak-anak saya mudik ke pedalaman Sumatra. Saya hendak memperkenalkan Adu Jangkrik, permainan masa kecil yang saya gemari. Sebelum kami bertolak ke areal bekas kebun cabai guna mencari beberapa ekor Jangkrik jantan, saya bertanya pada seorang anak tetangga, perihal di mana Jangkrik jantan mudah diperoleh. Ia menggeleng tanpa beban. Bukan saja karena ia tidak bisa menunjukkan sarang Jangkrik, tapi juga karena ia betul-betul tidak mengenal makhluk bernama Jangkrik itu. Telapak kaki anak-anak kampung masa kini ternyata tidak lagi bersentuhan dengan pematang sawah. Sepulang sekolah, mereka duduk berdesak-desakan, bermain game elektronik di tempat-tempat penyewaan PlayStation (PS). Atau bila penyewaan PS sedang penuh, mereka akan terpaku berjam-jam di kamar, bermain game online di telpon pintar. Dalam permainan digital itu mereka terhubung oleh koneksi internet, tapi tidak saling berjumpa, meski berada di kampung yang sama.
Kecanduan gawai yang sedang menjangkiti generasi “Kids Jaman Now” telah membuat mereka malas bergerak, dan tak gandrung bercengkrama di alam terbuka. Michael Rich (2015), peneliti Center on Media and Child Health di Boston Children’s Hospital, mensinyalir bahwa pada 2013, 70% anak usia 8 tahun ke bawah sudah menggunakan perangkat gawai seperti smartphone, tablet, dan iPod. Padahal, pada 2011 datanya masih berada di angka 38%. Hasil riset yang dilansir www.uswitch.com (2014) juga melaporkan lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia memiliki komputer genggam sebelum usia mereka genap 8 tahun. Hasil survei dari lembaga yang sama mencatat, satu dari 3 anak bahkan mulai menggunakan smartphone ketika berumur tiga tahun. Laporan ini menunjukkan bahwa jutaan anak telah mengalami kecanduan gawai.
Bila Tuan dan Puan meragukan kabar ini, periksalah tingkah anak saat mereka ketinggalan gawai dalam sebuah perjalanan piknik, atau saat jaringan Wifi di rumah sedang bermasalah. Mereka akan uring-uringan, gelisah tiada tentu arah. Sebab, kebiasaan bermain di dunia virtual, adalah nyawa kedua mereka. Lalu di mana Gundu, Congklak, Lompat Tali, Gobak Sodor, Pletokan, Engklek, dan rupa-rupa permainan anak-anak Nusantara yang hingga kini belum terhitung jumlah pastinya? Seorang blogger telah menginventarisir tak kurang dari 50 permainan tradisional anak-anak masa silam, kini terancam punah.   
Boleh jadi beberapa jenis permainan itu telah mengalami digitalisasi hingga dapat dimainkan melalui aplikasi digital, tapi proses kreatif saat memproduksinya, persentuhan fisik dengan kawan-kawan sebaya, kekompakan dalam permainan kolektif, dan keriangan yang dapat digapai bila permainan itu digelar di dunia nyata, tiada bakal tergantikan oleh histeria dunia maya. Alih-alih dapat meraih keriangan dalam kebersamaan, generasi “Kids Jaman Now” justru karam di liang-liang keterasingan… 

***artikel ini telah menjadi bagian dari buku bertajuk "Takhayul Milenial" (BinaBuku, 2020). Sahabat pembaca yang berminat memilikinya, dapat melakukan pemesanan di sini: 



   

Comments

caraseo said…
Mantap

Popular Posts