Yudi Latif dan Kuliah Umum tentang Keadilan
Damhuri Muhammad
Saya buka catatan ini dengan keributan
kecil yang terjadi antara saya, Tenaga Ahli Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi
Pancasila (UKP-PIP) dengan oknum Sekretariat UKP-PIP di Kantor UKP-PIP, pukul
14.45 WIB, Rabu, 13 Desember 2017. Sebut saja namanya Arum Sari (bukan nama sebenarnya) dengan jabatan Kepala Bagian Keuangan.
Siang itu, saya
hendak mengajukan pencairan anggaran produksi sebuah Festival Seni dalam rangka
sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang akan diselenggarakan di desa Sodongan,
Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (14/12/17).
Penanggungjawab program itu adalah sejawat saya, budayawan Ngatawi Al-Zastrouw
(Tenaga Ahli UKP-PIP), dan rincian pembiayaan produksi festival tersebut telah
diajukan oleh yang bersangkutan 1 minggu sebelumnya. Memorandumnya juga sudah
ditandatangani Kepala UKP-PIP, Yudi Latif. Saya hanya membantu penagihan dalam
bentuk UP (Uang Persediaan) yang sudah didahului oleh kesepakatan antara
Al-Zastrouw dengan Arum Sari. Oleh karena Al-Zastrouw sedang berada di Palopo (Sulsel),
ia meminta bantuan saya untuk menghadap Arum Sari, dan kalau memungkinkan, langsung
membawa dana produksi tersebut ke lokasi kegiatan di Magelang.
Saya bertanya
baik-baik soal kemungkinan pencairan dana UP tersebut kepada Arum Sari. Ia segera
menghubungi seseorang di Sekretariat Kabinet (Setkab), karena anggaran UKP-PIP
masih menumpang pada Setkab. Saya mendengar percakapan Arum Sari secara
langsung bahwa pencairan UP tersebut tak ada masalah, dan Arum Sari sendiri
sudah menyatakan telah menerima dana UP itu dari Bendahara Setkab.
“Coba lihat
anggarannya Pak?” itu pertanyaan pertama Arum Sari pada saya. Tegas saya menjawab,
“Anggaran sudah tertera dalam memo yang sudah diajukan seminggu lalu.” Tak lama berselang, Arum Sari
meminta stafnya untuk mencari berkas tentang Festival Seni tersebut, lalu ia
mempelajarinya di hadapan saya dan dua orang stafnya. “Teman-teman UKP ini
kalau dikasih uang, tak bisa mempertanggungjawabkan!” kata Arum Sari selanjutnya,
dengan nada yang di kuping saya terdengar begitu sinis.
Pernyataan Arum
Sari membuat saya gusar. Betapa tidak? Kalau uang yang dimaksud adalah uang
dalam bentuk UP yang sedang diperlukan dalam produksi Festival Seni tersebut,
maka saya ingin bertanya; Apakah sebelum
saya menghadap, ia sudah pernah memberikan UP untuk produksi festival yang
lain? Siapa yang dia maksud dengan teman-teman UKP yang tidak bisa
mempertanggungjawbkan uang tersebut? Tapi saya masih diam. Saya perhatikan saja
kesibukannya mengoreksi item-item pembiayaan dalam daftar kebutuhan Festival
Seni itu. Sesekali dia mencoret nilai nominal yang menurutnya tak sesuai harga
normal dan Standar Biaya Umum (SBU).
Satu hal yang menarik bagi saya adalah Arum Sari bilang, item pembiayaan honor
pengisi acara kenapa tidak digabung saja dengan sewa-sewa alat musik? Spontan saya
bantah; “Dalam setiap produksi festival yang pernah saya kerjakan, honor
pengisi acara adalah akun sendiri, dan tak bisa digabung-gabung dengan sewa
panggung atau alat musik!”
Arum
Sari mengerti maksud saya. Lalu dia kembali me-review item-item pembiayaan. “Bapak nanti bikin kwitansi begini ya.
Bapak juga bikin ini ya. Bapak juga sertakan CD hasil dokumentasi ya. Bapak lampirkan
pula Surat Setor Pajak dari pemilik perusahaan yang menyewakan barang ini ya, dan
seterusnya, dan seterusnya…” Seolah-olah saya adalah staf keuangan yang saban
hari berurusan dengan kwitansi dan segala macam dokumen yang berhubungan dengan
pertanggungjawaban keuangan dari setiap kegiatan.
Masih
dalam pembicaraan yang sama, tiba-tiba Arum Sari mengamati sebuah item
pembiayaan yang menurutnya kurang lazim. Lalu dia bilang; “Bapak mau
mengembalikan uang ke negara?” Kalimat ini saya dengar sampai tiga kali di
sepanjang percakapan kami. Ini mengingatkan saya pada pembicaraan tanggal 8
Desember 2017 ketika saya mengurus keuangan untuk kegiatan FGD Pancasila dan
Kreator Muda di Bandung (12/12/17). Waktu itu terjadi sedikit perdebatan antara
saya dan Arum Sari perihal nilai nominal honor narasumber. Saya mengajukan
nilai Rp.1.400.000/jam karena narasumber FGD tersebut adalah orang-orang
profesional dengan reputasi dalam dan luar negeri, dan nilai itu tertera pada
lembaran RKKL yang sudah disetujui pihak berwenang. “Silahkan saja Pak. Asalkan
nanti Bapak bisa mempertanggungjawabkan angka itu pada BPK!”
Di kuping saya,
kalimat-kalimat itu terdengar mengandung nada menakut-nakuti, terutama bagi
saya yang tak punya pengalaman dalam urusan pertanggungjawaban keuangan. Oleh
karena saya sudah berkali-kali mendengarnya, maka saya memandang cara-cara seperti
itu sebagai modus agar saya melakukan amputasi nilai honorarium narasumber
untuk FGD yang saya kelola. Dengan kata lain, saya bisa tunduk pada segala
keinginan Kabag Keuangan karena dialah pemegang otoritas pencairan dana. Saya
merasa seperti anak kecil yang dapat ditakut-takuti, hingga saya patuh saja
pada keinginan orang yang menakut-nakuti itu.
Alhasil, saya
tinggalkan ruangan itu dengan segenap kejengkelan yang sukar saya kendalikan.
Saya tak peduli lagi dengan dana UP yang sangat diperlukan untuk membayar ini-itu
di arena kegiatan Festival Seni di Magelang. Saya katakan kepada Arum Sari:
“Yang perlu saudari ketahui adalah, para Tenaga Ahli UKP-PIP, adalah orang-orang
terpilih dengan reputasi yang boleh diuji. Tak elok rasanya saudari
memperlakukan saya seperti anak kecil dengan modus menakuti-nakuti dengan
temuan dan pertanggungjawaban pada BPK.” Saya tetap berangkat ke Magelang dengan uang
pribadi, tanpa membawa UP sepeser pun dari Sekretariat UKP-PIP!
Selepas
keributan kecil itu, yang selalu mengusik pikiran saya adalah, kalau orang
keuangan mengkhawatirkan “temuan,” kenapa mereka tidak mengirim staf terlebih
dahulu sebelum acara dilangsungkan? Itu tak pernah terjadi. Kami, penyelenggara
program, yang seyogyanya berkonsentrasi pada ide dan konsep-konsep agar setiap
kegiatan dapat menghasilkan output
dan outcome yang maksimal, malah
dibiarkan kasak-kusuk mengurus kwitansi dan segala macam tetek-bengek prosedur
administratif laporan keuangan. Celakanya lagi, bila terjadi kesalahan, maka
kesalahan itu ditimpakan bulat-bulat kepada kami. Sebagai satuan kerja, sebagai
supporting system guna melancarkan setiap
kegiatan UKP-PIP, saya ingin bertanya, apa sebenarnya pekerjaan mereka? Bahkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) setiap
program dengan angka-angka yang sangat runyam pun kami yang mengerjakannya. Mereka
terima bersih saja.
Kisah kecil
saya bersama Arum Sari adalah gambaran sederhana tentang pengalaman-pengalaman
besar yang dialami oleh 27 Tenaga Ahli UKP-PIP dari 3 bidang Kedeputian sejak
Juli 2017 hingga Mei 2018. Kami dituntut menyerap anggaran dalam tempo amat
singkat, tapi pada saat yang bersamaan kami tidak beroleh dukungan tata administrasi
yang memadai. Alih-alih dipermudah,
didukung dan dilancarkan, yang terjadi malah keterlambatan pelaksanaan kegiatan
akibat bertele-telenya urusan pengajuan anggaran.
Yang paling
ganjil menurut saya adalah, anggaran untuk penyelenggaraan program ada (meski turunnya terlambat dan prosesnya berbelit-belit) tapi anggaran untuk penyelenggara program
tidak ada. Lalu, siapa yang menjalankan program itu? Tuyul? Sejak Juli 2017 hingga Mei 2018 kami tidak
menerima gaji sepeser pun. Tak jarang para Tenaga Ahli merogoh kantong pribadi
guna membiayai transportasi luar kota, pembayaran uang muka ini-itu, akomodasi
selama kegiatan berlangsung, lantaran keterlambatan pencairan anggaran. Kami
membuat utang di sana-sini dengan harapan setiap program terlaksana sesuai
jadwal. Namun, giliran mengajukan penggantian ke Sekretariat, leletnya
alang-kepalang, alasannya seribu satu, hingga akhirnya kami tanggung sendiri
dan kami relakan saja. Dalam bahasa pimpinan, Yudi Latif pernah mengungkapkan, berurusan dengan birokrasi di UKP-PIP seperti
membentur-benturkan kepala ke tembok gedung UKP-PIP itu sendiri.
Atas berbagai
pengalaman yang saya peroleh selama bekerja di UKP-PIP yang sejak Februari 2018
lalu telah beralih rupa menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),
saya merasa patut bertanya, seberapa serius sebenarnya pemerintah pada lembaga
sekelas BPIP? Bagaimana mungkin para TA dibiarkan bekerja dengan supporting-system amburadul dan tata
administrasi yang kusut-masai? Dalam situasi kebimbangan seperti itulah UKP-PIP
berubah menjadi lembaga setingkat kementerian dengan dasar Peraturan Presiden No.7
Tahun 2018. Organisasinya akan sangat bongsor. 9 Dewan Pengarah, Kepala, Wakil
Kepala, 5 Deputi (sebelumnya 3 deputi), Sestama, Direktur, dan Kelompok Ahli.
Dalam sebuah
rapat rutin, Yudi Latif mengaku terperangah dengan postur organisasi BPIP
sebagaimana yang termaktub dalam Perpres tersebut. “Saya tidak membayangkan
organisasinya akan segemuk ini,” katanya di hadapan para TA. Selain itu, postur
organisasi BPIP muncul begitu saja, tanpa melibatkan Yudi Latif dan segenap
jajaran pimpinan UKP-PIP dalam perencanaannya. Tak berselang lama setelah
turunnya Perpres pembentukan BPIP itu, Dewan Pengarah kemudian membentuk Satuan
Tugas Khusus (Satgassus), semacam lembaga ad-hoc
yang bertugas membentuk struktur organisasi BPIP, dimulai dengan rekrutmen
terbuka calon-calon pejabat yang akan menempati posisi-posisi sebagaimana disebutkan
di atas. Yang tampak agak janggal dalam lembaga ad-hoc itu adalah absennya Yudi Latif. Kepala BPIP yang sudah
bekerja sejak dari lembaga bernama UKP-PIP tak dilibatkan dalam Satgassus. Nama
yang muncul sebagai pimpinan Satgassus adalah Prof.Dr.Widodo Ekatjahjana,
Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan Kemenkumham RI. Pertanyaan yang saya
ajukan pada teman-teman Tenaga Ahli kemudian adalah, mengapa urusan transisi
dari UKP-PIP ke BPIP justru dipercayakan kepada orang di luar UKP-PIP? Hingga
kini saya dan kawan-kawan belum memperoleh jawaban yang jernih soal itu.
Sementara
Satgassus mulai bekerja, pada April 2018, Wakil Kepala BPIP dilantik. Jabatan
itu ditempati oleh Prof.Dr.Hariyono yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi 2 (Bidang
Advokasi). Baik Perpres No. 7 Tahun 2018 maupun peraturan turunannya,
mengatur tentang tugas dan kewenangan jabatan Wakil Kepala itu. Ada satu poin yang
saya garisbawahi dari sejumlah butir peraturan tersebut, yakni aturan yang
menegaskan bahwa Wakil Kepala dapat terhubung secara langsung dengan Dewan
Pengarah, tanpa harus melalui Kepala BPIP. Bagian ini tentulah menimbulkan
sejumlah prasangka di antara kami, misalnya apakah aturan tersebut tidak akan
berakibat pada munculnya dualisme kepemimpinan di BPIP? Dalam level yang lebih
ekstrem, saya pernah mengungkapkan, apakah aturan-aturan yang memberi ruang terlalu
lapang bagi Wakil Kepala tidak akan berarti sebagai amputasi terhadap
kewenangan Yudi Latif sebagai Kepala BPIP?
Dalam keriuhan
obrolan kami di ruang kerja BPIP, lalu terbitlah Perpres 42 Tahun 2018 (akhir
Mei 2018) yang mengatur tentang hak keuangan pejabat dan pegawai BPIP yang menggemparkan
itu. Yang beroleh sorotan sedemikian rupa tentulah tokoh-tokoh nasional yang
tercatat sebagai ketua dan anggota Dewan Pengarah BPIP. Sementara twitwar terus berhamburan di linimasa twitter, 27 orang Tenaga Ahli terus
bekerja karena dikejar tenggat sejumlah kegiatan guna menyemarakkan Bulan Pancasila (1 Juni s.d
18 Agustus 2018). Rapat tak henti-henti, persiapan teknis hampir tak mengenal
waktu, pekerjaan menumpuk sementara jumlah TA terbatas, hingga kami tak punya
banyak waktu mengikuti kegemparan yang berlangsung akibat isu “Gaji Jumbo”
Dewan Pengarah BPIP itu.
Dalam kesibukan
demi kesibukan, kami tergoda juga untuk sekadar menerka-nerka tentang bagaimana
kelanjutan kisah hak keuangan kami yang sudah terlantar 9 bulan, bagaimana kami
bakal mengasapi dapur, terutama menjelang mudik lebaran di mana tuntutan
kebutuhan rumah tangga kian gencar. Diam-diam saya berharap, semoga ada yang
sudi dan berkenan menyebut-nyebut tentang nasib 27 Tenaga Ahli BPIP. Meski kami
bukan siapa-siapa, hanya gumpalan debu yang menempel di terompah tuan-tuan
guru, tapi kami telah bekerja dan menunjukkan dedikasi dalam waktu cukup lama.
Kami tahu, kami sedang bekerja di lembaga yang sangat mulia, dan tak elok
rasanya menghitung-hitung kucuran
keringat dalam pengabdian untuk Pancasila. Tapi kami adalah juga manusia, yang
punya tanggungjawab pada keluarga. Maka jujur saja, kami ingin hak keuangan itu
dipenuhi.
Harapan itu rupanya
disambut dengan upaya yang terukur dari pimpinan. Baik Wakil Kepala maupun
Kepala, bahu-membahu berikhtiar agar hak keuangan 27 TA dapat dibayarkan
menjelang cuti lebaran. Tapi tampaknya, upaya tersebut lagi-lagi berbenturan dengan tebalnya tembok birokrasi dan
mekanisme yang bertele-tele, hingga apa yang semula membuat kami
girang-gemirang kemudian berujung dengan kenyataan yang terasa begitu pahit. Upaya
pimpinan tak membuahkan hasil. Bahkan sekadar permohonan pimpinan kami kepada
lembaga yang berwenang untuk mencairkan 1 bulan saja dari 9 bulan gaji kami, pun
tak dapat dikabulkan.
Dalam rencana
mudik yang tak terlalu menggembirakan, di awal masa cuti lebaran, media sosial
kembali gempar oleh kabar tentang mundurnya Yudi Latif sebagai Kepala BPIP.
Saya terperanjat bukan main dan merasa kehilangan seorang pemikir kebangsaan
yang begitu tekun merambah banyak jalan bagi pengarusutamaan nilai-nilai
Pancasila di republik yang sedang terguncang ini. Di forum rapat rutin yang
lain, jauh sebelum heboh gaji jumbo Dewan Pengarah dan gempar jagat maya karena
kemunduran Kepala BPIP secara mengejutkan,
Yudi Latif pernah menegaskan bahwa ia siap mundur, melepas jabatan, bila
itu dapat mempercepat proses pencairan gaji 27 orang Tenaga Ahli. Dan, rupanya
janji itu bukan isapan jempol belaka, tapi benar-benar ia penuhi dengan segenap
kerelaan. Bahwa ada indikasi kewenangannya dilucuti dengan kemunculan Perpres
pembentukan BPIP dan beberapa peraturan turunannya, itu bukan soal besar bagi
Yudi. Sebab, yang jauh lebih penting baginya adalah etos kegotongroyongan dalam
tim BPIP. Ijinkan saya mengutip pernyataan wartawan senior Dhia Prekasha Yoedha,
sejawat sesama Tenaga Ahli BPIP, yang mengatakan bahwa perspektif kepancasilaan
yang hendak ditegakkan oleh Yudi latif dan tim adalah Pancasila yang tumbuh-berakar
sebagai civic culture (budaya
kewargaan) dalam keseharian masyarakat Indonesia. Bukan Pancasila formal dan
kaku yang dinujumkan melalui kuasa aparatus negara.
Bagi Yudi
Latif, segigih dan setulus apapun para pegawainya bekerja dalam menyemai
nilai-nilai Pancasila, mereka tetap manusia yang juga harus bertanggung jawab
menafkahi anak-istri. Dengan begitu, dalam pengamatan saya, salah satu penyebab
ia mundur adalah karena merasa gagal memperjuangkan keriangan kami bersama
keluarga di hari lebaran. Bagi intelektual sekelas Yudi, urusan gaji pasti
bukan perkara genting, tapi memartabatkan dan memanusiakan orang-orang yang
sudah bekerja di bawah kepemimpinannya selama 9 bulan adalah bagian penting dari pengamalan sila 5 Pancasila,
yang selama ini telah ia suarakan di mana-mana.
Atas dasar itulah
saya merasa perlu menulis catatan ini. Saya hendak berterimakasih atas
keberanian dan kerelaan Yudi Latif melepaskan jabatan tinggi demi para pekerja di
BPIP. Yudi pamit karena perwujudan keadilan bagi para pegawainya berjalan mundur.
Kepada para pegawai itu, juga kepada khayalak banyak, Yudi sesungguhnya sedang
menyampaikan Kuliah Umum tentang keadilan…
Damhuri Muhammad
Sastrawan
Mantan Tenaga Ahli BPIP
Comments