Korupsi Dalam Teks Fiksi
Oleh: DAMHURI MUHAMMAD
(Kompas, 29/5/2011)
TERMINOLOGI “lapan-anam” (86) yang menjadi gairah utama novel karya Okky Madasari ini terpelanting ke dalam tafsir yang pejoratif. Salah satu kata sandi kepolisian─selain 10.2, 813, 871, dan lain-lain─yang digunakan dalam berbagai komunikasi kedinasan itu pada dasarnya berarti dimengerti, dimaklumi, namun di sekujur tubuh novel setebal 252 halaman ini, “lapan-anam” bergeser menjadi sinisme, sekaligus pemakluman terhadap berbagai modus jual-beli perkara di sebuah kantor pengadilan, lantaran sudah menyehari, dianggap lazim, dan sama-sama tahu. Maka, dunia “lapan-anam” adalah dunia yang tidak lagi tabu, tapi dunia yang serba tersingkap, serba dibenarkan. Dunia yang memelintir kejujuran dan kebersetiaan pada kebenaran menjadi cacat-historis. Sebaliknya, kebohongan dan hipokritas berubah menjadi keluhuran yang pantas dipuja-puji.
Pemakluman─lebih tepat disebut pembenaran─semacam inilah muasal nestapa Arimbi, juru ketik putusan perkara yang akhirnya tergoda juga menerima suap. Sebelumnya Arimbi gadis lugu asal Ponorogo yang tidak tahu apa-apa soal dunia “lapan-anam.” Ia PNS yang bekerja sebagaimana pegawai biasa, dan menerima gaji bulanan yang tak seberapa. Namun, lantaran praktik suap-menyuap telah sedemikian banal di lingkungan kerjanya─bermula dari tips-tips kecil, hadiah berupa barang elektronik, hingga amplop berisi uang─mentalitas Arimba berubah 180 derajat. Tak tanggung-tanggung, gadis itu kemudian terobsesi hendak mengubah nasibnya dengan jalan-pintas itu.
Puncak nestapa Arimbi terjadi ketika ia tertangkap tangan oleh petugas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan tuduhan menerima suap guna memenangkan sebuah perkara besar. Waktu itu, Arimbi disuruh menemui seseorang di sebuah restoran. Ia menerima koper berisi uang senilai 2M yang akan diserahkan pada bu Danti. Atasan Arimbi itu “makelar perkara” yang menjembatani pengacara kasus-kasus korupsi dengan oknum hakim nakal yang dapat membebaskan terdakwa. Lagi-lagi ini dunia “lapan-anam.” Dengan uang, semua tuntutan yang memberatkan koruptor dapat diringankan, bahkan dihapuskan. Celakanya, sebagai orang suruhan, Arimbi yang sejatinya beroleh jatah 50 juta, akhirnya digelandang ke tahanan bersama Danti.
Kronologi kisah sejak Arimbi lulus kuliah hingga merantau ke Jakarta, lalu diterima sebagai PNS, terasa linear dan datar, sebagaimana kisah orang-orang yang merantau ke Jakarta yang tervisualisasikan dalam film-film Indonesia tahun 80-an. Cerita berputar-putar di sekitar kepayahan hidup keluarga Arimbi dan orang-orang kampungnya yang selalu ditakar dengan penghasilan berupa uang. Tak ada upaya membangun alegori guna menggambarkan mentalitas yang kronis dan dekaden. Menjadi pegawai negeri bagi manusia-manusia di republik ini nyaris sama derajatnya dengan “masuk-sorga.” Begitu mulia, begitu terpandang. Itu sebabnya banyak orang rela menghamburkan ratusan juta, menyuap sana-sani, guna meraih obsesi menjadi pegawai negeri. Padahal, secara finansial, penghasilan pegawai negeri seperti Arimbi jauh dari memadai. Lalu, apa persoalannya? Inilah yang tidak diselami lebih dalam oleh Pengarang. Okky hanya memperlihatkan fenomena “lapan-anam” dalam praktik suap-menyuap. Dianggap biasa, bahkan hampir tidak dipandang sebagai ketercelaan.
Ketegangan baru terasa pada peristiwa-peristiwa yang dialami Arimbi selama di penjara, khususnya hubungan ganjil antara Arimbi dengan sejawat sesama napi bernama Tutik. Dikisahkan, Tutik janda beranak satu, pembantu rumah tangga yang tertuduh melakukan percobaan pembunuhan majikan, meski kenyataannya ia membela diri saat dicelakai majikan. Tak berselang lama setelah Danti dan Arimbi datang, Tutik dipercaya menjadi pelindung, sekaligus pelayan semua kebutuhan Danti, napi yang beroleh perlakuan istimewa. Ia punya ruangan khusus, dengan fasilitas mewah sebagaimana hotel berbintang. Tutik tidak pernah tahu bahwa Arimbi adalah staf Danti, dan Arimbi pun merahasiakannya. Di balik perhatian Tutik pada Arimbi ternyata ada maksud tersembunyi. Lantaran merasa berhutang budi, Arimbi akhirnya pasrah ketika Tutik memperlakukannya sebagai pasangan lesbian. Lagi-lagi muncul fatsoen “lapan-anam.” Semua biaya rumah sakit ibu Arimbi ditanggung Tutik, maka wajar Arimbi melunaskan hasrat seksual Tutik. Namun, suspensi perihal rahasia Arimbi-Danti tidak menjadi perhatian novel ini. Okky lebih terdorong membangun militansi Arimbi dalam mempertahankan hidup dan keluarganya di saat-saat genting. Ia bahkan nekad menjadi pengedar narkoba demi membiayai pengobatan orangtuanya di kampung. Arimbi juga merelakan suaminya menjadi pengedar sabu-sabu demi akumulasi laba yang bakal membuat hidupnya sejahtera selepas menjadi napi. Maka, novel ini bergelimang dengan angka-angka, nominal rugi-laba, dan berbagai hitungan matematis-ekonomis lainnya.
Fenomena korupsi, pejabat negara yang tertangkap tangan, jual-beli perkara, perlakuan khusus terhadap napi kelas kakap, bisnis narkoba di lembaga pemasyarakatan, adalah fakta-fakta yang setiap hari berhamburan di televisi, sejak beberapa tahun belakangan ini. Peristiwa-peristiwa yang sedemikian dramatik dan sinetronik, lebih dramatik dari prosa paling dramatik. Tengoklah betapa dramatiknya pemberitaan tentang anggota parlemen yang tertangkap tangan oleh KPK di sebuah hotel berbintang. Lihat pula perlakuan khusus terhadap Artalyta Suryani di tahanan, yang bukan rahasia lagi. Kalau begitu, boleh jadi novel “86” yang mengetengahkan serba-serbi peristiwa tersebut, akan kalah dramatik dari kejadian sebenarnya. Sinyalemen ini dibenarkan oleh novelis Afrika, Njabulo Ndebele (1998), bahwa kesulitan terbesar para novelis abad ini adalah menemukan metafora dari kehidupan sehari-hari yang sudah sedemikian mengerikan.
Prosa bukan sekadar fiksionalisasi dari peristiwa-peristiwa saban hari yang berseliweran di koran, majalah, dan tabloid gosip. Kompetensi artistik semestinya menggiling fakta-fakta keras menjadi realitas baru, yang dalam konteks novel ini, dapat memunculkan tafsir baru perihal watak korup, yang hingga kini belum terpecahkan. Pengarang dapat membangun ironi, atau memancangkan alegori tentang mentalitas korup, tanpa harus habis-habisan memperlihatkan bagaimana praktik-praktik suap itu berlangsung dengan berbagai modus dan siasat. Bila tidak, maka teks sastra akan terpelanting menjadi feature atau sejenis reportase, yang bila tidak “diprosakan” pun, pembaca sudah “lapan-anam” lebih dulu.
Waktu penceritaan linear dan corak realisme yang dipertahankan pengarang dari awal hingga akhir memang cukup jitu menyingkap praktik suap-menyuap serinci-rincinya, meski dalam kerja kreatif ada wilayah sumir dan samar yang hendaknya tersisa bagi pembaca. Tapi, corak serba-terang macam ini barangkali memang sedang dibutuhkan oleh penyuka prosa masa kini. Di belahan dunia lain, novelis Chili, Isabel Allende, dalam The Art and Craft of The Political Novel (1989) menegaskan, bahwa “dunia ketiga memerlukan ketersingkapan realitas serinci mungkin, ketimbang eksperimentasi bentuk yang membuat sastra kehilangan gairah perlawanannya.” Jadi, “lapan-anam” lah…
DATA BUKU
Judul : 86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 252 halaman
Comments