TEMBILUK
cerpen: Damhuri Muhammad
(Kompas, Minggu, 27/Mei/2012)
Di
masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan
yang sedang mendalami ilmu hitam. Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup
abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan
pengujian, agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam
keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan
kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum
penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang
hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak
bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan
kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.
Sembari
menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai,
dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir
kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang
darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya,
tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan
kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor
anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua
makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang
berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.
Puluhan tahun kemudian,
di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan
dengan kerikil jalan. Anjing berkepala manusia dipercayai sedang berkeliling
kampung, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain tubuh. Gemerincing itu mengerikan.
Orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau
sekalipun, bila mendengarnya tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi
ke halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang
terbangun, akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi
itu. “Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi, sebagaimana
anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah hilang selama
berpuluh-puluh tahun.
***
Kenapa mereka hanya
memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu adalah anjing berkepala
manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing yang sudah pula beralih-wujud menjadi
manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di kampung
itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu? Lolongan
yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar bagai isyarat
meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu datang dari mulut
manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu. Mereka menganggap
tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam keramat. Perihal kehilangan
itu, ada dua riwayat yang tertanam di Lubuktusuk.
Pertama, selepas malam celaka itu, tuan
yang setelah diurai silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk.
Mustahil ia bertahan di kampung dengan gelar “anjing” di belakang namanya, dan
lebih tak mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung.
Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa
itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman
belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga
ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa
pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh
Tungkirang, manusia berkepala anjing.
Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak,
melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada
Tungkirang.
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Jaman
itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih
ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan
berlari secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila
malam tiba ia kembali berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu
kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang
kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh
seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang
menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia
mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika tuannya
tertuduh sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila
terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang
diperlukan. Setiap gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah
diendusnya lebih dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari
pengendusan manusia berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia
berlumur dosa, namun tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah
meringkuk di penjara. Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna
menaklukkan Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu.

“Bagaimana
caranya?”
“Bius. Lalu,
culik!”
“Tuan baru
berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari intel paling lihai sekalipun. ”
Dengan kemampuan gaib tingkat
tinggi, peramal dapat menjelaskan asal-mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama
Lubuktusuk. Banyak yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya
keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk berwujud anjing berkepala
manusia.
***
Orang-orang
Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai yang dulu mengancam di
malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah tertangkap. Rantai itu
kini berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang
Lubuktusuk menamainya “manusia rimba”, karena lebih kerap tinggal di hutan
ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke
kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau
bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang
tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang memeras petani-petani karet, atau
sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam menjual getah karet ke luar Lubuktusuk,
ketimbang pada tengkulak induk-semang mereka.
Para jagoan
itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para pengguna ilmu sesat
yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang sanggup meladeni ancaman itu hanya
Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak
ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading,
dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan
mengerahkan kesaktian paling ampuh;
meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh. Keparat pengacau
seketika akan menggigil ketakutan, dan lari terkangkang-kangkang. “Seumur-umur
ia tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.
Ini pula yang
terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang
kampung kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada
suatu petang. Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua,
huaaaaaa, begitu kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat teriakan
Tembiluk mendengar mantra itu bagai sambaran petir yang mematikan. Sejak itu,
di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk
kampung. Begitulah sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala
manusia. Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak
dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia mengatakan
bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari Lubuktusuk, hingga
percumalah segala upayanya selama ini. Anjing berkepala manusia sudah punya
tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing
peliharaan yang saban petang berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah
siap-panjat. Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya
sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama,
hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang
berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing
berkepala manusia itu.
“Masa depan
negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari
mereka.
“Menyerahkan
makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk
sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan.
Uang rakyat terus-terusan dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum
tajam ke bawah. Pemimpin terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat, harus segera
diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila
sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
Anjing
berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa
pergi, meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi
anjing biasa. “Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,”
harap ketua gerombolan.
Mudah bagi
Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari
orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan
di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih
itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat
tentang watak kemaruk. Ketajaman
penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka
bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum
ia menghilang di kedalaman rimba.
tanah baru, 2012
Comments
saya mau tanya tenatang cerpen anda, saya ingin menanyakan apa sih isi dari cerpen tersebut?
maaf menganggu karena saya mempunyai tugas yg berhubungan dengan cerpen anda.
trims.
Wassalammualaikum.
saya ingi bertanya tentang inti dari cerpen bapak karena saya mempunyai tugas yang berhubungan dengan cerpen bapak?
Wassalammualikum.
saya ingi bertanya tentang inti dari cerpen bapak karena saya mempunyai tugas yang berhubungan dengan cerpen bapak?
Wassalammualikum.