Leon Agusta dan Mantra Hukla
Damhuri
Muhammad
(Versi cetak artikel ini tersiar di harian kompas, Minggu 3 Januari 2016)
Serpihan
kenangan tentang sebuah
peristiwa mungkin sudah tertimbun oleh tarikh dan riwayat baru. Namun, sebuah
bunyi yang pernah bergaung dalam peristiwa usang itu bagai tiada pernah
kehabisan tenaga guna membangkitkan ingatan lama. Sengaja atau tak, begitu
bunyi itu hadir kembali, kesadaran masa kini bagai direnggut untuk mundur jauh ke
masa silam. Bila kurang yakin, cobalah putar sebuah lagu lawas yang pernah Tuan
dengar bersama kekasih masa lalu yang sudah hilang entah di mana. Demikianlah kedigdayaan
bunyi. Ia dapat diredam, tapi mustahil dimusnahkan.
Bila ada hal-ihwal yang berat untuk dibahasakan, bila kata
tidak lagi sanggup menunaikan maksudnya, orang akan bilang: “Biarlah gendang yang
menyampaikan.” Yang tak terlunaskan oleh bahasa verbal, biarlah ditunaikan oleh
bunyi. Dalam kearifan Minangkabau kerap muncul ungkapan: “Saluang sajalah yang mendendangkannya.”
Risau hati, kecamuk rindu, amarah yang mengendap,
kadang-kadang sukar dimaklumatkan dengan perkakas kelisanan. Maka, pilihan akan
jatuh pada gedebuk gendang, gesekan rebab, atau dendang saluang, yang dapat mengabadikan
bunyi. Ia tidak saja kekal dalam ketajaman, tapi juga setia merawat kenangan.
“Hukum kekekalan bunyi” ini menjadi
bagian penting dari pengembaraan puitik dalam Gendang Pengembara (2012) antologi puisi penghabisan Leon Agusta.
Sejumlah sajak dalam buku setebal 235 halaman itu menyuarakan bunyi “Hukla”
sebagai syarat-rukun paling mula. Dalam “Kata Pengantar Pada Hukla” (1977), bunyi
ganjil itu boleh jadi sebuah isyarat tentang trauma akibat perang saudara
(PRRI). Waktu masih kecil/sampai tamat
sekolah menengah/aku sangat suka menyanyi/konon kata orang suaraku bagus
sekali/kemudian datanglah perang saudara/senapan dan meriam gantikan pantun dan
kecapi/aku berhenti menyanyi/aku harus pandai mendengar/kalau bicara mesti
berhati-hati/hingga kini aneka perang saudara tak pernah reda/sengketa demi
sengketa silih berganti/aku sudah lama tak lagi bisa menyanyi. “Hukla”
memang belum tersuarakan dalam kalimat-kalimat itu, tapi judul “Kata Pengantar
Hukla” hendak mengarahkan kita pada musabab lahirnya bunyi itu; dari lantunan
suara yang tertata dan rapi-irama, menjadi lagu yang kacau-nada, sumbang-suara;
Hukla.
![]() |
foto: damhuri muhammad |
Boleh
jadi “hukla” dalam sajak itu tidak hendak ditegakkan sebagai kata sifat, tapi
sebagai pertanda yang sumir perihal mentalitas yang rapuh─lagi-lagi akibat trauma perang saudara─hingga subjek yang sedang
dibincangnya mudah tergelincir menjadi pribadi berperangai bejat: korupsi. Sudah kusia-siakan suaraku yang indah/yang
dikaruniakan Tuhan kepadaku/aku telah korupsi. ya, Tuhan/kini aku ingin bisa
menyanyi kembali/bicara bebas dengan suaraku yang indah dan lepas/tapi
mungkinkah, aku justru semakin berhati-hati/siapakah pelindungku, bila aku
berhenti korupsi/Hukla? Bila tidak trauma akibat perang saudara, tidak pula
menjelaskan gelombang dekadensi, agaknya “Hukla” pada sajak itu masih dapat
disimak sebagai timbangan yang menyama-berat-kan antara situasi perang saudara
yang mengakibatkan tersumbatnya segala mata air bunyi, dengan tertutupnya semua
pintu kejujuran akibat kerakusan hendak mengambil segala yang bukan hak.
Dalam “Hukla Final Pacuan Kuda” (1977),
semula bunyi itu dapat disimak sebagai lantang-teriak para petaruh guna
menghalau kuda jagoan masing-masing, supaya berlari secepat-cepatnya hingga
menjadi kuda pertama yang menginjakkan kaki di garis finish, atau sekadar bunyi
lecutan cambuk para joki lantaran hasrat hendak menjadi nomor satu, yang
lamat-lamat terdengar sampai ke balkon penonton. Tapi “Hukla” agaknya juga sedang
menyembunyikan keresahan bila kuda jagoan pada akhirnya kalah. Ia seperti
hendak menggambarkan wajah-wajah tegang karena bayangan kekalahan, yang tentu
akan memalukan. Maka, “Hukla” dapat pula menjadi bunyi detak jantung yang kian
lama kian kencang, karena rasa takut pada kekalahan.
Tapi, Leon malah menyudahi sajaknya begini; dalam pacuan itu/tak ada pemenang nomor
2/kuda yang dipacu/hanya satu. Riuh gelanggang pacuan senyap seketika.
Begitu pula dengan was-was pada kekalahan. Ini menggugurkan semua dugaan yang
mungkin tentang makna “Hukla”. Ia yang semula menggambarkan hingar-bingar gelanggang
pacuan, tiba-tiba sunyi. Bila hanya ada 1 ekor kuda, mana mungkin ada risau? Mana
mungkin ada kelebat lecutan cambuk joki yang terobsesi hendak menjadi nomor
satu? Kuda tunggal pastilah menang, bahkan sebelum ia turun ke gelanggang. Sampai
di sini, “Hukla” adalah alegori tentang otoritarianisme. Ada isyarat tentang
pemujaan, decak-kagum, pengkultusan. Bukan karena kepantasan, tapi karena
ketakutan yang terus diproduksi oleh penguasa. Dengan begitu, bunyi “Hukla”
ternyata masih mengandung irama yang menakutkan. Di lain waktu, “Hukla” bisa beralih-rupa
menjadi arus kemarahan yang sukar dielakkan. Bukankah rasa takut, perasaan
terancam, dan pedihnya penghinaan, dapat membangkitkan keberanian yang tak terbendung?
Wajah mereka yang selalu takut memang tak
indah/wajah mereka yang selalu cemas memang tak bergairah/tapi mereka bisa
nekad tiba-tiba/Hukla (“Wajah
Mereka,” 1979).
Nun di pedalaman Sumatra, tersebutlah seorang lelaki
pemetik petai rimba bernama Tongkin. Ia dikenal sebagai manusia rimba lantaran
lebih kerap tinggal di hutan ketimbang di rumahnya. Ia turun ke kampung bila
petai hasil penjatannya sudah cukup untuk dijual, atau bila ada
panggilan-panggilan khusus dari tetua kampung lantaran soal-soal genting yang
tak beres. Misalnya, ada centeng dari kampung-kampung lain yang memeras
petani-petani tembakau. Mereka sukar dilumpuhkan karena rata-rata kebal
senjata. Maka, yang sanggup menghadapinya hanya si manusia rimba. Di tangan
Tongkin, tak ada orang yang benar-benar tahan-bacok. Tak bisa ditikam dengan
lading atau belati, dengan ilalang atau butiran padi ia menghabisinya. Bila tak
mempan, tibalah saatnya ia mengerahkan kesaktian paling ampuh. Ia akan meneriakkan
sebuah kata yang tak bisa dipahami artinya, di pangkal kuping centeng itu. Seketika
si begundal akan menggigil ketakutan, lalu lari sekencang-kencangnya. Selepas
itu, dapat dipastikan ia tak akan muncul kembali. Seumur-umur ia tidak akan
berani lagi menginjakkan kaki di kampung ini. Begitu Tongkin menegaskan.
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kering, sapi
peliharaan orang kampung Tongkin kerap menjadi mangsa kawanan harimau yang
turun gunung. Tongkin lagi-lagi
memaklumatkan teriakan keramat di mulut rimba pada suatu petang. Huaaaaaaaaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaa…begitu
kira-kira teriakan Tongkin, sebagaimana dikisahkan oleh tetua kampung. Sejak
itu, pada musim kemarau paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang
berani masuk kampung. Orang-orang percaya, kawanan binatang buas itu tidak saja
dibuat ketakutan, tapi juga punah akibat mantra keramat Tongkin. Menakutkan,
sekaligus mematikan. “Hukla,” bunyi otentik dalam sajak-sajak Leon, mengingatkan
saya pada mantra si manusia rimba. Menusuk-menikam, dan mematikan.
Leon sudah tiada. Ia berpulang pada Kamis (10/12/2015) di
usia 77 tahun. Penyair flamboyan, salah satu penandatangan Manifesto Kebudayaan
(Manikebu), dan alumni International Writing Program, Iowa City, AS (1975) itu telah
pergi, tapi mantra “Hukla” akan terus
menggema di telinga kita. Selamanya…
Comments