Di Bawah Kuasa Kenangan
Damhuri Muhammad
(versi cetak dari artikel ini tersiar di harian Kompas, Sabtu, 13 Februari 2016)
Jalan
telah dipindah orang datang. Timbangan sudah diganti orang dagang. Begitu dalil yang kerap diulang-ulang saat
kita berhadapan dengan realitas baru yang mengecewakan. Lalu, kita melesat jauh
ke masa silam. Masa-masa gemilang, bergelimang kemajuan, atau semacam era The Golden Age dalam konsep
historiografi modern. Akibatnya, fakta-fakta kasat mata hari ini adalah kemunduruan,
bobrok, dan dekaden. Masa lalu adalah kecemerlangan, keberlimpahan, kemakmuran.
Itu sebabnya ia dikenang, dikonservasi dengan tugu, prasasti, dan tak lupa dicatat
dalam buku sejarah, hingga menjadi teladan bagi generasi masa kini.
Tabiat
ganjil itu juga mudah ditemukan dalam upacara-upacara pemakaman. Rumah duka riuh
oleh lalu-lalang sanjungan guna mengenang budi-baik almarhum. Bila jenazah adalah
seorang birokrat, maka semasa hidup ia pasti birokrat yang melayani, ramah, dan
dermawan. Bila jenazah seorang jenderal, ia jenderal berhati lembut, tulus
pengabdian, dan pundaknya penuh tanda jasa. Bila jenazah adalah preman, atau
sebut saja centeng pasar Ciledug, tentu ia preman baik hati--meski sering keluar-masuk penjara--sayang anak-istri, dan gemar membela
orang-orang kecil. Adalah tabu menyebut aib almarhum dalam peristiwa berkabung.
Tak sopan menggunjingkan kejahatannya di masa lalu. Singkatnya, siapapun yang
telah meninggal dunia, pasti memiliki sisi terpuji dalam hidupnya, dan itu tema
penting yang patut dibincangkan saat ia diantarkan menuju pembaringan
penghabisan.
Demikian pula
ternyata corak kenangan kita pada realitas masa silam, terutama saat kita kecewa
pada kenyataan masa kini. Maka, berhamburanlah rupa-rupa pengharapan terhadap
kejayaan masa lalu. Pada 2012 lalu, seorang seniman mengungkapkan kerinduannya
pada pemimpin seperti Adolf Hitler (1889-1945)--sebagaimana dikutip www.rollingstones.com.
Meski ada sisi negatifnya, Hitler
membangkitkan semangat nasionalisme yang begitu besar. Kita belum punya pemimpin seperti itu, yang ada malah klemar-klemer.
Demikian seniman itu berdalih. Ada pula pemikir yang membela etika Machiavelisme
sebagai paham yang patut dipertimbangkan, terutama bagi iklim politik yang
bobrok di masa kini. Bukankah beberapa tahun saja selepas tumbangnya
kedigdayaan Orde Baru, kita kembali melihat poster berisi foto Soeharto dengan
slogan Piye kabare? Enak Jamanku Toh?
Penulis catatan
perjalanan, Agustinus Wibowo, dalam bukunya Garis
Batas (2011), mengisahkan tentang
Khurseda, laki-laki Tajikistan yang kecewa terhadap hidup yang kian payah,
justru setelah lepas dari kuasa Uni Soviet. Putra sulungnya menganggur di usia
35 tahun. Anaknya yang lain bekerja sebagai pilot di Dushanbe dengan gaji tak
lebih dari 40 Somoni (15 dolar), lalu kemudian hijrah ke Moskow sebagai pekerja
kasar. Di titik kemelaratan yang tak terselamatkan itulah Khurseda kemudian merindukan
Uni Soviet. Masa itu, semua berjalan normal dan teratur. Semua orang tak perlu
pusing memikirkan uang, semua orang bekerja, dan terjamin hidupnya.
Inilah
kuasa kenangan yang membuat kita terbuai oleh glorifikasi, hasrat untuk
mengenang yang indah dan elok, nun di masa silam. Bila kita kecewa lantaran kebijakan
politik pemimpin masa kini bersimpang jalan dengan janji-janjinya di musim
Pemilu, alih-alih mengubah situasinya,
kita malah melarikan diri, bernostalgia dengan romantisme era Soekarno,
misalnya. Oleh karena ada yang menganggap gagasan Trisakti dan program Nawacita
tak berjalan, lalu bangkit lagi ide tentang Pembangunan Semesta Berencana, kembali
ke GBHN, sehingga Presiden kembali menjadi mandataris MPR. “Kenapa tidak
sekalian kembali ke era Manipol-USDEK?” kata peneliti Daniel Hutagalung, dalam
sebuah obrolan ringan di komunitas buku “Halaman Muka” (UI-Depok). Sinisme itu
mungkin hanya guyonan, tapi dapat berakibat pada pemahaman bahwa kenangan terhadap
kegemilangan masa lalu tidaklah sejernih fakta-fakta pada masa itu. Kita
gandrung mengenang yang indah dan nostalgik belaka, tapi abai pada ekonomi yang
payah lantaran inflasi tak terkendali di masa Orde Lama, misalnya. Kita mungkin
juga lupa pada perseteruan yang tak sudah-sudah di panggung politik, hingga
berakibat pada krisis ekonomi yang berbahaya.
Filsuf Perancis
Paul Ricouer (1913-2005) menegaskan bahwa ingatan kolektif, apapun bentuknya, tak
pernah lepas dari distorsi. Bridget Fowler (2007) dalam The
Obituary as Collective Memory--sebagaimana
dicatat oleh Reza AA Watimena (2012)--mencontohkan
gagasan Ricouer, misalnya ingatan masyarakat tertentu terhadap salah satu tokoh
di masa lalu. Setiap pahlawan selalu
digambarkan secara agung, berlebihan, seolah tiada cacat. Bagi Ricouer, karena corak
setiap ingatan selalu distortif, ia tidak dapat mencerminkan sebuah peristiwa
sebagaimana adanya. Kenangan bukanlah kebenaran--apalagi
pembenaran--melainkan
kesadaran palsu yang dalam stadium kekecewaan tertentu, mungkin dapat
memberikan kebahagiaan semu.
Sastrawan muda, Sungging Raga, dalam buku terkininya Reruntuhan Musim Dingin (2016) menyindir
para pemuja kejayaan masa silam dalam cerpen Kompor Kenangan. Tentang perempuan yang tergila-gila pada kompor
gas, setelah ia bercerai dengan suaminya. Ia tak butuh rumah dan segala jenis harta
gono-gini, karena yang berharga baginya hanya kompor buatan Jerman, pembelian
bersama saat cinta mereka masih menyala itu. Mantan suaminya harus membeli
kompor baru untuk menghuni dapur kesendiriannya. Beberapa tahun kemudian, saat
ia bosan dengan kompor itu, lalu mengembalikannya secara cuma-cuma pada pemilik
toko, lelaki itu terperangah. Sebelum ia mengembalikan kompornya, pemilik toko
berkabar, ada seorang perempuan yang juga mengembalikan kompor ke tokonya. Itulah
kompor buatan Jerman. Kompor paling romantis di dapur masa lalu. Kini si perempuan
telah mengganti kompor kenangan itu dengan kompor baru buatan Inggris,
pembelian suami barunya.
Begitulah rapuhnya hubungan kita dengan nostalgia. Kerinduan
pada kebahagiaan masa silam gampang berubah haluan. Di era Presiden SBY, kita mendambakan
swasembada pangan era Soeharto. Di masa Presiden Jokowi, kita merindukan Trisakti,
basis ideologi pembangunan era Soekarno. Begitu seterusnya, hingga riwayat kita
karam dalam arus glorifikasi dan utopia yang tiada berujung. Tak ada ayat
konstitusi yang melarang orang merawat kenangan. Tapi, buku-buku sejarah dapat menjinakkan
kuasanya. Sejarah ditulis untuk menjernihkan, bukan untuk mendulang sanjungan
pada kejayaan yang sudah lapuk, hingga kita dapat menakar dan menimbang, mana
kenangan yang layak jadi pegangan, mana yang patut dibiarkan sebagai fosil yang
tak perlu dinamai, apalagi diberhalakan…
Comments