Dunia Digital dalam Teropong Analog
Damhuri Muhammad
(versi cetak artikel ini tersiar di harian Kompas, Senin 29 Agustus 2016)
Suatu ketika, sahabat saya yang bermukim di
Berlin (Jerman), mengunggah foto satelit Google Maps yang menampilkan jalan
masuk menuju rumah masa kecilnya di Brebes, Jawa Tengah. Entah karena ia sedang
rindu pulang, atau sekadar mengakui betapa sempurnanya Google Maps memetakan
setiap wilayah di seluruh pelosok bumi. Bagai tak ada lagi yang luput dari intaian
mata Google, bahkan hingga jalan setapak menuju kebun bawang tempat ayah bekerja
saban hari, atau sudut dapur tempat ibu menanak nasi saban pagi. “Google
Maps sudah memotret teliti sudut jalan kita. Ini jalan masuk ke rumah saya,”
demikian saya kutipkan caption pendek
dari laman media sosial kawan itu.
Apa
yang bertahun-tahun silam hanya dapat kita saksikan dalam tayangan film-film science-fiction kini betul-betul telah mewujud-nyata.
Teknologi layar sentuh dan perintah suara (SIRI) yang dulu hanya dapat kita
saksikan dalam film Minority Report
(2002) karya Steven Spielberg, kini menjadi bagian yang tak terhindarkan dalam dunia
keseharian kita. Demikian pula dengan komputer tablet dan perangkat lunak
seperti Skype, yang puluhan tahun lalu tiada lebih dari imajinasi Stanley
Kubrick dalam film 2001: A Space Odyssey (1968), tapi di kurun ini telah menjadi perkakas
yang hampir bersekutu dengan tubuh setiap orang. Memiliki gawai di masa kini seperti
memiliki pesawat radio sekitar tiga dekade silam.
Kendaraan tanpa awak yang ditumpangi Arnold
Schwarzenegger dalam film Total Recall (1990), dulu mungkin dianggap
mustahil dan terlalu mengada-ada, tapi tengoklah, kini benda itu nyaris
mendekati kenyataan. Dunia
transportasi mutakhir telah memaklumatkan penemuan spektakuler yang jamak
disebut driverless, alias kendaraan
swakemudi. Saat ini, uji coba mobil otonom besutan Google itu telah mencapai
jarak tempuh 3,2 juta km. Raksasa otomotif semacam Ford, Lexus, Fiat, dan BMW telah
mengambil ancang-ancang hendak “menyesuaikan diri” dengan penemuan itu.
Riset panjang
yang dilakukan Google sejak 2009, telah menciptakan perkakas transportasi darat
tanpa pengemudi. Mobil dilengkapi dengan sistem sensor digital berbasis peta
visual alias Google Maps, Radar, Lidar (Light
Detector and Ranging), yang memungkinkan ia mendeteksi tanjakan berliku,
tikungan-tikungan berbahaya, jarak aman dengan kendaraan lain, pengguna sepeda,
pejalan kaki, dan segala potensi kecelakaan di jalan raya. Pemerintah AS
menyambut baik kehadiran teknologi kelas berat itu dan kini sedang
mempersiapkan regulasi yang relevan guna mempersilahkan mobil-mobil autopilot itu turun ke jalan
mengantarkan para pemiliknya menuju kantor, berbelanja ke supermarket, dan
berbagai keperluan keseharian. Pemerintah Inggris memperkirakan, mobil
swakendara sudah dapat beroperasi secara massal pada 2020.
Bagaimana
sebuah negara berdaulat mesti bersikap tatkala wilayah kekuasaannya bagai
dikapling-kapling, lalu disensor-digital guna memuluskan laju kendaraan
swakemudi? Google tentu tak akan memancangkan rambu-rambu atau marka jalan di
dunia nyata--sebagaimana yang dilakukan Dinas Perhubungan
(Dishub)--tapi memasang sensor pada peta visual
yang lazim dikenal sebagai GPS. Sistem komputer dengan basis teknologi interconnection juga tidak akan membuat
klakson bising, sebagaimana yang saban petang kita hadapi dalam kesembrautan
lalu lintas Jakarta. Ia hanya merancang keterhubungan digital antarkendaraan
otonom, guna menghindari setiap penyebab kecelakaan.
Dalam keriuhan
kabar tentang kembali berjatuhannya “korban” pasal karet Undang-Undang ITE,
pikiran udik saya membayangkan, kelak bila mobil otonom sudah dijual-bebas di
Indonesia (ditambah pula dengan kegandrungan kita mengoleksi mobil pribadi),
apa lagi faedahnya rambu-rambu dan marka jalan, UU Lalu Lintas, dan Bapak-Ibu Polantas
yang budiman? Bagaimana masa depan sopir-sopir pribadi? Akan gulung tikarkah perusahaan-perusahaan
asuransi? Selanjutnya bagaimana caranya hukum mengatur aktivitas warga yang
hampir semuanya telah dikemudikan dari medan digital? Masih mumpunikah risalah
hukum dunia nyata dalam meringkus begundal-begundal dunia digital?
Atas berbagai
persoalan serius hari-hari ini, dunia maya (khususnya media sosial semacam facebook, twitter, instagram, dan
sejenisnya) ditunjuk atau “dikambing-hitamkan” sebagai penyebabnya. Disebut-sebut
pemerintah sedang melakukan kajian mendalam tentang akibat-akibat massifnya. Tapi,
sepanjang negara masih melihat dunia digital dengan teropong analog dan cara
berpikir manual, lalu menghadang keliaran yang terus bergentayangan itu dengan
Undang-Undang konvensional, maka kerumunan di jagad maya dengan rupa-rupa soal
yang mereka perbincangkan, tiada bakal terbendung. Di media sosial, aktivitas
berbelanja celana dalam di sebuah mall kemarin petang, atau keributan kecil
dengan tetangga sebelah rumah lantaran kucing piaraannya menerobos masuk dapur
misalnya, dengan gampang menjadi pergunjingan ramai, menjadi konsumsi publik.
Hal-ihwal pribadi menjadi santapan banyak orang. Sebaliknya, urusan publik
menjadi sekadar urusan seorang.
Barangkali di
sanalah pangkal-soalnya. Puji dan maki, ikhlas dan dengki, sabar dan amuk,
senantiasa berputar dalam lingkaran setan yang tiada ujungnya. Bertengkar,
damai, bertengkar lagi, begitu seterusnya. Bersetuju, menyangkal, bersetuju
kembali. Memfitnah, insyaf, minta maaf, memfitnah kembali. UU ITE dan edaran Hate Speech hanya mampu meringkus
segelintir pelaku, itupun setelah terjadi kasus-kasus besar seperti demonstrasi
anarkis, konflik SARA, dan semacamnya. Bagaimana dengan ribuan bahkan jutaan
akun yang hampir setiap aktivitasnya adalah hasutan, provokasi, dan perang hoax?
Bila negara benar-benar
ingin melakukan intervensi, hadirlah di dalam dunia digital itu sendiri.
Pancangkan infrastruktur digital di mana ada kedaulatan negara di situ. Jago-jago
IT melimpah-ruah di republik ini. Mereka siap bekerja untuk itu. Pengawasan, sanksi,
bahkan pengadilan, dapat digelar secara digital. Bila ada yang melanggar, misalnya
mengumbar ujaran kebencian, atau mengunggah pernyataan adu-domba, secara
otomatis sistem akan menghapusnya, lalu menjatuhkan sanksi awal dengan mengunci
akun misalnya. Risalah UU ITE, kitab Ujaran Kebencian, dan ancaman blokir
situs, hanya perkakas manual yang hendak mengatasi persoalan di dunia nyata,
padahal sumbernya berasal dari ruang digital. Alam maya tak bisa sama dan
sebangun dengan alam kasat-mata. Dunia digital tak bisa diringkus, apalagi
dikuasai, oleh cara berpikir analog…
Comments