Tarekat Puasa Bicara


Damhuri Muhammad


(versi cetak artikel ini tersiar di harian  Kompas, Rabu, 14 Juni 2017)



Dalam keseharian kaum urban, saat Tuan berkunjung ke pusat perbelanjaan, mungkin sebelumnya Tuan hanya ingin mengisi waktu luang di akhir pekan, dan tidak berniat untuk berbelanja. Namun, macam-macam barang yang terpajang di etalase toko di pasar berpenyejuk udara itu, amat menggoda, hingga Tuan menyentuhnya. Sepatu model terkini, kemeja berkelas dengan potongan harga 50%,  atau gawai canggih yang menggiurkan. Akhirnya Tuan takluk juga, dan ujung-ujungnya Tuan membawa salah satu barang itu ke meja kasir. Tuan sudah berbelanja sesuatu yang sejatinya tidak Tuan butuhkan.




            
Demikian pula suasana keriuhan dalam karnaval kelisanan di dunia maya. Saat memeriksa kabar penting di linimasa akun media sosial, boleh jadi kita sedang tidak ingin menulis sesuatu, karena memang sedang tak ada yang perlu diperbincangkan. Namun, percakapan yang berhamburan, katakanlah isu yang sedang menjalar ke mana-mana (viral) atau perseteruan panas di antara dua kelompok tentang satu persoalan, sering membuat kita tergoda. Hasrat untuk selekasnya melibatkan diri dalam perbincangan itu, sungguh tak gampang  dijinakkan. Akhirnya, kita takluk juga. Sekadar memutakhirkan status facebook, menyiarkan kicauan ringan, atau bahkan langsung memosisikan diri sebagai penantang. Padahal, belum tentu kita menguasai duduk-perkaranya.
            
Setelah terjun bebas ke dalam sungai kenyinyiran itu, tak jarang kita hanyut terlalu jauh. Perdebatan yang meluas ke mana-mana kerap menimbulkan perseteruan, menyalakan kebencian yang hari-hari ini hampir tegak sebagai kebiasaan. Oleh karena itu, maka godaan yang paling laten di bulan Ramadhan ini, bukan lagi nafsu untuk makan dan minum dalam situasi lapar dan dahaga seharian, tapi bujukan untuk senantiasa berbicara.
            
Maka, laku puasa yang paling esoteris di semesta kelisanan yang nyaris menjadi berhala ini, menurut hemat saya, adalah puasa bicara. Semacam ikhtiar besar-besaran guna menggapai posisi diam, atau yang dalam bahasa Alquran disebut dengan as-sukut dan as-shumt. Terminologi yang saya sebut terakhir dekat sekali bunyinya dengan as-shaum, yang lazim dimaknai dengan ”puasa.” Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna hakiki as-siyam dan as-shaum, tapi setidaknya as-shumt identik sekali dengan sikap diam alias tak nyinyir berkata-kata.
            
Siti Maryam a.s--sebagaimana dikisahkan Alqur’an dalam surat Maryam ayat 26--pernah diperintahkan Tuhan untuk menjalankan tarekat puasa bicara, agar ia tidak terpancing untuk menanggapi berbagai tuduhan yang ditujukan pada dirinya. Aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka, aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini, demikian kata Maryam dalam kisah itu. Menurut ulasan Jalaluddin Rakhmat (2008) dalam Madrasah Ruhaniah, tarekat puasa bicara yang dilakukan Maryam a.s membuat ia mampu mendengarkan suara bayi yang masih berada dalam kandungannya. Bayi itu pulalah yang kemudian menjawab hujatan banyak orang kepadanya. Sufi besar abad 14, Sayyid Haydar Amuli (1319-1385)--sebagaimana dikutip Jalal--berpesan bahwa bila seorang manusia terlalu banyak berbicara, ia tidak akan mampu menangkap isyarat-isyarat gaib yang datang kepadanya. Suara mulut manusia terlalu riuh, sehingga isyarat-isyarat yang datang dari alam malakut tidak dapat ditangkap oleh batinnya.
    
 
Bukan hanya Siti Maryam a.s, Alquran juga mengisahkan tarekat puasa bicara yang pernah ditempuh oleh Nabi Zakaria a.s. Peristiwa itu berlangsung ketika Zakaria a.s akan dikaruniai seorang anak, setelah ia bertahun-tahun menunggu datangnya keturunan, hingga usianya renta. Dalam surat Maryam ayat 8 diceritakan bahwa Zakaria a.s sukar mempercayai kabar tentang kehadiran anak yang kelak bernama Yahya a.s itu, karena usianya waktu itu sudah sangat tua, sementara istrinya adalah seorang perempuan mandul. Apa tandanya ya Allah, demikian Zakaria bertanya. Lalu, Allah menjawab, tanda bagimu adalah kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam (QS.Maryam 19: 10).
            
Ayat itulah dalil yang kemudian dipegang oleh Zakaria a.s sebagai perintah Tuhan untuk menjalankan puasa bicara, guna mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Di kemudian hari, kisah penting ini menjadi etos kultural dalam kehidupan setiap keluarga muslim. Kepada para suami yang istrinya sedang mengandung, disarankan untuk tidak terlalu banyak berbicara. Jika seorang suami menjalankan tarekat puasa bicara selama istrinya  mengandung, dipercayai ia akan dianugerahi seorang anak seperti Yahya a.s,  yang cerdas, arif, berhati lembut, dan bertaqwa kepada Allah SWT (Jalaluddin Rakhmat, 2008).
            
Tarekat puasa bicara adalah laku berpuasa yang dijalankan oleh pribadi-pribadi muslim yang telah melampaui fase awwam dalam beribadah. Prof. Nasaruddin Umar (2014) menyebut puasa bicara ini sebagai ciri puasa khawas al-khawash (sangat khusus). Laku berpuasa dalam derajat yang sangat khusus ini bukan sekadar menjauhkan diri dari segala bentuk pembicaraan kotor dan membuang jauh-jauh keinginan untuk mempergunjingkan orang lain--yang di jaman ini dapat dilakukan hanya dengan memencet tombol-tombol huruf di layar telpon pintar--tetapi juga menahan diri sekeras-kerasnya untuk tidak nyinyir membicarakan hal-ihwal yang tidak perlu.
           
Tapi di sinilah tantangan itu semakin mengeras. Kita sedang berada dalam kepungan jaman yang setiap saat mengundang banyak orang untuk terus-menerus berbicara. Dalam pergaulan di media sosial, orang yang tidak terlalu gencar berbicara akan dianggap sebagai pengguna akun yang pasif, tidak gaul, dan sangat rentan di-unfollow, atau bahkan dihapus dari daftar pertemanan. Di dunia maya, prinsip yang berlaku adalah saya bicara, maka saya ada. Itu sebabnya di bulan Ramadhan ini, alih-alih kenyinyiran sedikit mereda, arus kelisanan yang mengalir dari pagi hingga pagi kembali, justru semakin banal dan tak terkendali.  Makian, sumpah-serapah, dan rupa-rupa bahasa kedengkian meningkat tajam, karena aktivitas berselancar di dunia maya diperlakukan sebagai kegiatan ngabuburit, sembari menanti waktu berbuka tiba. 
            
Akibatnya, banyak persoalan yang sesungguhnya tidak dapat dibahasakan secara jernih, tetap meluncur dari mulut kita, dengan segenap risiko kesalahpahaman, bahkan perseteruan yang tiada berkesudahan. Terhadap apa yang tak dapat kita bicarakan, mungkin sebaiknya kita diam, demikian kata filsuf Ludwig Wittgeinstein (1889-1951). Semakin banyak berbicara semakin banyak sesat-pikir yang mengemuka. Semakin banyak aib yang tersingkap, semakin marak fitnah dan kebencian yang diakibatkannya…


*artikel ini telah menjadi bagian dari buku kolom budaya bertajuk Takhayul Milenial (2020). Pembaca yang ingin memiliki buku tersebut, dapat melakukan pemesanan di sini: 








Comments

Popular Posts