Tubuh Ayah Berwarna Tanah
Damhuri Muhammad
(versi cetak cerpen ini tersiar di harian Kompas, Minggu, 10 September 2017)
Seberapa lama kita sanggup melihat kembali wajah
yang pernah kita kekalkan dalam foto setelah ia meninggal dunia? Tanyamu sambil
mencari potret diri seorang tokoh penting dalam sebuah folder khusus di laptopmu. Seorang teman kolumnis spesialis
obituari menginginkannya, lantaran orang besar itu baru saja dilaporkan telah meninggal
dunia. Bagaimana kalau yang muncul di layar monitor adalah wajah ayahmu sendiri,
yang mungkin pernah kau abadikan sebelum ia pergi untuk selamanya? Kau sanggup menatapnya
lama-lama? Sekadar melakukan olah-digital ringan untuk kebutuhan cetak buku
Yasin dalam acara tahlilan 40 hari setelah kematian, misalnya?
Bagimu, itu pekerjaan paling
mengerikan. Barangkali lebih berbahaya dari upaya keras mendapatkan sebuah
momentum pemotretan dalam situasi yang sedemikian genting. Wajah dalam foto itu
seolah-olah ingin bercakap-cakap denganmu. Bibirnya seperti nyata bergerak.
Tangannya bagai menggapai-gapai memintamu diam sejenak, menyimak
pembicaraannya. Dengan macam-macam ekspresi, ia seperti memohon uluran tanganmu
guna menyampaikan hal-hal yang tak tersampaikan semasa hidup. Ia menyingkap
segala rahasia di hadapanmu, mengakui rupa-rupa tudingan yang semasa hidup mungkin
dibantah terus-menerus. Foto orang yang sudah mati itu seperti rumah virtual
yang dihuni banyak harapan, dan semuanya
dialamatkan kepadamu. “Semestinya bila orangnya sudah almarhum, datanya juga
dikuburkan! Supaya tidak bikin repot,” ungkapmu, ketus.
Itulah yang kemudian membuat kau lebih gandrung mengabadikan
benda-benda mati ketimbang memotret orang-orang hidup. Bila tak bisa mengelak
dari manusia, kau pasti akan memilih manusia yang sudah menelentang di peti
jenazah. Tapi, tentu ada saja saatnya kau tak bisa menolak untuk mengarahkan
mulut lensa ke wajah orang hidup. Masih ingat saat ayahmu tiba-tiba minta
dipotret dengan latar belakang kebun Kangkung yang ia garap dengan sisa-sisa
tenaga setelah bertahun-tahun bekerja sebagai tukang sumur?
“Jangan sibuk memotret orang lain
saja. Bikinlah foto Ayah. Tampakkan hamparan
kebun sayur ini sebagai bukti bahwa Ayah masih bertenaga,” kata ayahmu pada
satu kesempatan pulang beberapa tahun silam.
“Tolong kau atur bagaimana caranya
supaya muka Ayah tidak tampak terlalu tua. Begitu juga tubuh Ayah, upayakanlah
tak terkesan ringkih,” mohon ayahmu, meski usianya saat itu sudah berkepala
tujuh.
“Kenapa masih diam? Lekas siapkan
perkakasmu!”
Permintaan yang bukan saja ganjil,
tapi juga membuatmu terperangah beberapa jeda. Kau tahu, sejak kecil hingga
dewasa, tak ada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tengah rumahmu. Kalaupun
ada, itu hanya foto adikmu saat menerima piala lomba pidato, atau foto-foto
adikmu yang satu lagi, saat ia bersama teman-temannya di SMP, mengikuti lomba cerdas cermat antarsekolah.
Bahkan hingga dari rumah itu sudah terlahir tiga orang sarjana--termasuk dirimu--tak
satu pun terpampang foto wisuda. Tak ada foto ibumu, tak juga ayahmu, apalagi
foto pernikahan mereka. Tapi kemudian, di usia tujuh puluhan ayahmu tiba-tiba
memintamu untuk menyiapkan perkakas pemotretan guna mengabadikan dirinya. Entah
untuk keperluan apa.
Tanpa banyak bertanya-tanya,
lensa-lensa terbaik kau keluarkan dari ransel, lampu-lampu flash off, tripod, dan alat-alat pemantul cahaya, terpasang di area
kebun Kangkung di belakang rumah masa kecilmu itu. Kau biarkan ayahmu berdiri
dengan posisi yang dia sukai, tanpa diarahkan sama sekali. Kau bebaskan saja
ayahmu berbincang-bincang dengan leluasa saat pemotretan berlangsung. Cahaya petang
itu cukup cerah. Suasananya sejuk dan tenang, dengan selingan candaan-candaan
ringan, hingga akhirnya kau berhasil memperoleh 50 frame dari macam-macam sudut pembidikan, dengan ketajaman gambar
dan detail yang sempurna.
“Ayah tak perlu memeriksa hasilnya. Ayah percaya kau
sudah mahir!”
“Satu-dua mungkin perlu kau kirim
pada saudara-saudara Ayah. Sekadar menunjukkan bahwa Ayah masih kokoh. Tak lapuk
digasak penyakit seperti mereka.”
“Selebihnya kau simpan saja. Barangkali kau memerlukannya
nanti.”
Dari raut mukanya, sebenarnya kau mengerti, ia ingin punya
pose berdua denganmu, yang bisa saja kau lakukan dengan menyalakan mode swafoto pada kamera digitalmu. Tapi
ayahmu sungkan menyampaikan keinginan yang mungkin berlebihan itu. Sebab ia
tahu, sejak kecil kau adalah anaknya yang paling getol menolak setiap ajakan
berfoto. Pengalaman pertamamu dengan dunia fotografi
adalah pengalaman menghadapi ketakutan. Masa itu, berdiri beberapa depa di
depan mulut lensa, bagimu bagai pasrah menyambut tembakan mematikan dari
senapan seorang algojo berwajah sangar, meski fotografernya adalah pamanmu
sendiri, adik bungsu ayahmu. Kau merasa terancam setiap kali harus berhadapan
dengan kamera. Mukamu terasa akan dikuliti, telingamu serasa akan digunting, dadamu terasa bakal ditikam.
“Orang yang takut difoto di masa
kecil, kelak bila sudah besar akan menjadi juru foto,” demikian doa pamanmu,
yang tampaknya segera diaminkan oleh ayahmu.
Doa itu terkabul di kemudian hari.
Nasib mengantarkan hidupmu ke dunia foto. Hari-harimu tak pernah lepas dari
kamera. Tak ada yang lebih menarik bagimu selain kegiatan menggambar dengan cahaya,
meskipun bidang keilmuanmu sama sekali tak ada kaitannya dengan fotografi. Namun,
perangaimu tak kunjung berubah. Jangankan di dunia citraan, di dunia nyata pun
kau takut menampakkan diri. Kau selalu mengurangi risiko tampak muka bagi
banyak orang. Kau gemar meniadakan tubuh dari siapapun. Tatkala tidak bisa
menghindar dari keharusan berpose di depan kamera, hasilnya sudah bisa ditebak;
senyum terpaksa, tatapan basa-basi, dan aura gamang yang tak bisa kau dustakan.
Teman-teman menggelarimu sebagai juru foto dengan satu pantangan; difoto. Bila itu terjadi, kata mereka,
reputasimu sebagai juru foto handal akan jatuh. Seperti pendekar yang rahasia
kesaktiannya terbongkar, hingga bertekuk lutut di hadapan musuh.
Satu tahun selepas kau mengirimkan
beberapa frame foto ayahmu pada saudara-saudaranya melalui
surat elektronik, dari kejauhan kau mendengar kabar bahwa ayahmu telah
berpulang. Dari kebun Kangkung itulah tubuh ayahmu dipapah oleh beberapa orang.
Saat itu ia sedang panen, dan hasilnya sudah ditunggu seorang tauke untuk
dibawa ke pasar yang jatuh di hari Kamis. Tiba-tiba ayahmu diserang sesak napas
yang sulit dihadang, hingga ia ambruk dan terkulai lemas di atas pembatang. Ayahmu
terkapar dalam keadaan yang terus melemah selama beberapa bulan, hingga nyawanya
tak terselamatkan.
Maka, peristiwa pemotretan yang menghasilkan 50 frame itu adalah perjumpaanmu yang terakhir
dengan ayahmu. Bahkan sekadar mengantarkan ayahmu ke tempat istirahat penghabisan
kau gagal memenuhinya. Pesawat yang kau tumpangi dari Jakarta mengalami
keterlambatan. Yang dapat kau saksikan setiba di kampung halaman hanyalah tanah
pemakaman ayah yang masih merah.
“Hingga kini aku belum sanggup
membuka folder berisi foto-foto
ayahku!” ungkapmu dengan tampang yang semakin gamang.
“Pernah aku tak sengaja membukanya, lalu
aku buru-buru menutupnya. Ayahku hidup dalam foto-foto itu!”
***
Foto-foto dalam folder khusus
di laptop itu belum seberapa menggetarkan dadamu, Kawan. Semasa kita masih
mahasiswa, kau masih ingat pernah mengajakku pulang ke kampungmu? Waktu itu aku
membawa sebuah kamera analog, hadiah yang kuperoleh dari sebuah photo-contest. Dengan kamera itu--tentu dengan kemampuan yang masih amatir dan perkakas
pendukung yang murahan--aku
membuat sebuah pose foto bersama di halaman rumahmu; kau, dua adikmu, dan
ayahmu. Foto itu kini masih utuh dalam arsip yang kuberi nama; dibuang sayang.
Memang sudah lusuh. Warnanya tentu sudah kusam. Tapi,
kenangan yang bersarang di dalamnya, kupastikan tak akan berkarat. Dulu,
setelah negatifnya kita cetak, dengan amat bersemangat kau bilang bahwa ayahmu
masih kokoh. Kau ceritakan pula, saat memperbaiki pintu dapur yang lepas dari
engselnya, ayahmu masih was-was bila tenaga mudamu tak sanggup menggeret daun pintu
itu sendirian, lalu ayahmu tergesa datang membantu, hingga kalian merehab dapur
ibumu bersama-sama. Masa itu ayahmu juga masih tangguh. Sepulang bekerja
menggali sumur di rumah orang, sekujur tubuhnya bergelimang tanah liat. Kau bilang, hanya lidahnya yang tak
berwarna tanah.
"Sepanjang sekop masih beradu
dengan batu-batu di kedalaman sumur, jangan pernah ragu. Ayah akan terus
bergelimang tanah, sementara kalian riang-gembiralah di dunia sekolah,"
begitu ayahmu memompa semangat kalian.
Kau tak bisa merawat ayahmu
sebagaimana ia dengan santai menggendong tubuh kecilmu ke Puskesmas tatkala kau
panas tinggi selepas bermain bola dalam hujan lebat. Kau tak bisa menyuapinya
dengan makanan kegemaran karena ia sudah kehilangan selera. Sementara di masa
kanak-kanak, sepotong Martabak yang nyaris terdorong ke dalam mulutnya ia
renggut kembali, karena ia melihat matamu menginginkan Martabak Terang Bulan
itu.
Kini ayahmu sudah tiada. Kegembiraan
kalian juga sudah lama berlalu. Tapi kau tak akan lupa bau tanah yang telah
bersekutu dengan tubuh ayahmu. Kau tak akan lupa napas kelelakiannya, cara
tertawanya, kekar pangkal lengannya. Merindukan masa bergelantungan di pundak
ayahmu adalah semacam kegembiraan yang tidak lagi akan bersuara. Atau semacam
kesenyapan yang tidak lagi akan terbahasakan di sepanjang hidupmu.
Klise foto itu sudah hilang, Kawan. Tapi,
aku sudah menyelamatkannya dengan mengubah lembaran foto usang itu ke dalam
format digital. Telah kukirimkan berkas lunaknya ke alamat emailmu. Unduh dan
simpanlah baik-baik. Kelak, kau akan memerlukannya…
Depok, 2017
Comments