MENCARI KABAR MUTAWATIR
Damhuri Muhammad
(Versi cetak artikel ini telah tersiar di harian Kompas, Kamis 15 Maret 2018)
Ribuan tahun silam, nun di Yunani
kuno, filsuf Plato (427-347
SM), menukilkan sebuah kisah yang lazim dikenal sebagai Allegory of The Cave. Tentang sejumlah manusia yang terkurung dalam goa.
Dalam Politeia
(514a-517a)--sebagaimana dikutip A Setyo Wibowo (2010)--Plato menggambarkan satu sisi dari dinding goa itu
memantulkan bayang-bayang dari api unggun yang menyala di belakang orang-orang terkurung
itu. Oleh karena sekumpulan manusia dalam goa itu berada dalam keadaan
terbelenggu--tak bisa menengok ke kiri, ke kanan dan ke
belakang--lalu mereka memercayai bayang-bayang yang memantul
di dinding goa sebagai kenyataaan yang sejati. Hingga suatu saat ada yang
berhasil membebaskan diri, lalu menengok ke belakang, melihat secara langsung
realitas yang lebih asali dari sekadar bayang-bayang di dinding goa.
Dari kisah alegorik itu Plato kemudian merumuskan empat
tingkatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didasarkan pada
bayang-bayang di dinding goa, yang ia sebut pengetahuan konjektural, alias dugaan
belaka. Kedua, sebagaimana
manusia bebas yang telah melihat kenyataan secara langsung, tapi masih
berada di dalam goa, maka pengetahuan inderawi itu masih diselimuti oleh doxa
(opini) atau pistis (kepercayaan). Bagi Plato, bila manusia bebas itu
mau bersusah payah, ia akan mencapai pengetahuan sejati, atau dalam istilah
Plato disebut noetik. Meski begitu, noetik tak mudah digapai,
karena sebelum menggapainya orang terlebih dahulu harus melihat bayang-bayang
sebagai simbol dari pengetahuan analitis dan matematis. Dengan demikian, pada
level inderawi (di dalam goa) atas dasar objek inderawi yang dapat dilihat
(bayang-bayang atau benda ril), manusia memang memiliki semacam pengertian,
tapi hanya dalam arti konjektur dan doxa. Sementara di level intelligible,
di luar goa, manusia dapat meraih pengetahuan rasional.
![]() |
sumber: https://countercurrents.org/2017/01/18/post-truth-is-a-relative-concept-india-experiencing-it-for-years/ |
Alegori platonik itu mengingatkan saya pada lalu-lalang informasi di linimasa media sosial semacam facebook--secara kebetulan juga menggunakan istilah ”dinding” (wall)--yang dapat saya umpamakan sebagai bayang-bayang lidah api di dinding goa, sementara para facebooker adalah orang-orang yang terpenjara di labirin goa. Para netizen begitu lekas menerima setiap kabar yang muncul sebagai pengetahuan. Padahal informasi yang berseliweran itu masih diselubungi doxa. Tak banyak yang bersusah payah untuk membebaskan diri dari kepungan linimasa, akibatnya mutu pengetahuan yang diperoleh tak meningkat ke level intelligible.
Inilah sebuah kurun ketika fakta dan fiksi telah bersenyawa hingga sukar dipilah secara
jernih. Dukungan dari kerumunan orang bisa membuat dusta beralihrupa menjadi
kebenaran. Sebaliknya, kebenaran yang minim pembela bisa terpelanting sebagai bohong
belaka. Berangkat dari dunia yang sedang terkeranda oleh semesta keabu-abuan
itu, tahun 2016 lalu kamus Oxford memilih terminologi post-truth
sebagai Word of the Year. Menurut
catatan Wisnu Prasetya Utomo (2017), jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat
2000 persen bila dibandingkan 2015. Di “dunia pasca fakta”--demikian terjemahan Reza A.A Wattimena
(2017) atas istilah post-truth era--kebenaran tak lagi penting. Yang dicari
adalah kehebohan sesaat. Politisi bisa memenangkan Pilkada bukan karena ia
berpijak pada kebenaran, tapi karena ia mampu menghibur massa dengan kebohongan
dan kehebohan yang dangkal. Oleh karena itu, kata Reza, “fakta dan data tidak
lagi penting. Yang dicari adalah sensasi yang mengaduk-aduk emosi. Berita di
media sosial lebih berpengaruh ketimbang data dan fakta tentang kenyataan. Ini
semua lalu menjadi pembenaran untuk kemalasan dan kedangkalan berpikir”.
Maka,
terbuktilah kiranya apa yang telah diramalkan oleh filsuf Friedrich Nietzsche
(1844-1900) dalam On Truth and Lies in a Nonmoral Sense (1896)
dengan konsep army of metaphors.
Bagi
Nietzsche, yang kita sebut sebagai “kebenaran”
tak lebih dari ilusi tentang sesuatu yang telah dikelupaskan dari diri sejatinya.
Nietzsche menggunakan analogi sebuah koin yang martabatnya telah terdistorsi
sebagai logam, karena simbol dan gambar di permukaan koin itu sudah luntur dan
tak dapat dikenali lagi. Adapun yang mengakibatkan kebenaran terpelanting
menjadi ilusi menurut Nietzsche adalah armada metafora (army of methapors), yang di era digital mungkin dapat diamsalkan dengan cyber army atau pasukan buzzer yang saban hari berkhidmat mendistribusikan
informasi berdasarkan pesanan, guna membangun persepsi atas kepentingan
tertentu. Akibatnya, seperti koin yang hanya tersisa sebagai logam, maka kebenaran
terdegradasi menjadi persepsi dan opini.
Lalu, masih
mungkinkah kita melarikan diri dari goa platonik atau keterbelengguan di
dinding linimasa alam maya? Saya teringat kaji lama semasa di madrasah, nun di
pedalaman Sumatra, khususnya perbincangan intens perihal hadist mutawatir. Makna dasar kata mutawatir sama artinya dengan kata at-tatabu’u,
yakni berturut-turut atau
beriring-iringan. Mahmud Thahhan (2007) menjelaskan, hadist mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh banyak perawi (orang yang
meriwayatkan) pada semua thabaqat
(generasi) yang menurut akal dan adat (kebiasaan) tak mungkin bersekongkol
untuk berdusta.
Dari pengertian ini A. Qadir Hassan (1966) kemudian
merumuskan sejumlah syarat bagi hadist mutawatir.
Pertama, sanad-nya (rangkaian perawi
yang mengantarkan materi hadist sampai ke sumber mula-mulanya; Muhammad SAW) harus banyak. Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan besaran jumlah perawi
tersebut dan pendapat yang terpilih adalah minimal 10 orang. Kedua, ada keseimbangan
jumlah perawi dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Misalnya, jika sanad
di generasi terkini berjumlah 50 perawi,
maka generasi di belakangnya harus berjumlah sama, begitu seterusnya, hingga
generasi sanad yang secara langsung mendengar
matan (materi) hadist dari Nabi. Ketiga, dari semua tingkatan generasi sanad yang sampai kepada sumber pertama,
secara rasional dan secara adat (kebiasaan), mustahil mereka melakukan dusta
bersama. Keempat, sandaran kabarnya
adalah pancaindera alias pengalaman empirik, yang ditandai dengan kalimat ra-ai-na (kami telah melihat) dan sami’na (kami telah mendengar). Artinya,
perawi paling mula sungguh berhadapan
secara langsung dengan sumbernya. Satu saja dari empat syarat itu tak
terpenuhi, derajat kemutawatiran hadist akan gugur seketika.
Tentang mutu kebenaran hadist mutawatir, jumhur ulama telah menyepakatinya dengan nilai dharury,
yakni suatu keharusan untuk mengakui kebenaran informasinya, sebagaimana orang
yang telah menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri. Semua hadist
mutawatir adalah maqbul alias dapat
diterima sebagai dasar hukum. Metode verifikasi yang ketat, terukur, dan sudah
ratusan tahun bekerja di ranah ulumul-hadist
ini sangat berguna dalam memilah dan menyaring setiap kabar yang berhamburan di
jagat maya. Kabar mutawatir dapat menyelamatkan
kita dari kepungan doxa dan armada metafora di rimba raya dunia
pasca fakta…
-->*Artikel ini telah menjadi bagian dari buku berjudul Takhayul Milenial, yang diterbitkan oleh BinaBubuku, Jakarta 2020. Bagi pembaca yang berminat memilikinya, dapat melakukan pemesanan di sini:
Comments